Friday 20 January 2012

KK6: Proses Kreatif Karya Sastra (Cerpen: Hiking to Tangkuban Parahu)

Liburan . . . libur . . . libur . . .

    Hari – hari pertengahan liburan anak – anak SD, SMP, dan SMA yang berlangsung selama 2 minggu menyisakan macet di jalan raya tempat – tempat wisata. Hari Senin, hari terakhir pekan sunyi kampus Universitas Pendidikan Indonesia juga masih terhitung sepi. Sebagian  kecil mahasiswa yang sudah pulang ke kosan masing – masing akan menjalani UAS besok, sisanya minggu depan lagi. Jam – jam terakhir di hari Senin dimanfaatkan belajar SKS (Sistem Kebut Sehari/ Semalam), wajar. Lho?
Senin yang menyenangkan juga dimanfaatkan untuk refreshing fisik/ pemanasan sebelum UAS besok. Hiking ke Gunung Tangukuban Parahu menjadi pilihan. Penasaran cerita selanjutnya? Teruskan membaca,,
Road to Tangkuban,,

    Angin pagi nan segar menyentuh kulit, membelah udara di sepanjang jalan lurus gerbang gate satu menuju gate dua BNI UPI, nikmat bermotor menembus udara menyapu wajah sampai terlihat teh Santi dan teh Neli berboncengan, menyamai lajunya untuk bertegur sapa, untuk kemudian disusul menuju parkiran. Tepat pukul enam kurang empat, beberapa menit sebelum waktu berkumpul tiba.

Santi: “Yang lain mana wi?”

Dewi: “Mungkin belum pada dateng Teh.”

Neli: “Assalamu’alaikum, Neli.” Sambil salaman pipi ketemu pipi. Senyum manis

Dewi: “Wa’alaikum salam, Dewi, temen Teh Santi ya.” Balas senyum manis.

    Beberapa menit kemudian berdatangan satu per satu, Rati Ningrum, disusul Norma Rahmi Maryam,  Syifa Fauziah, Sarah Nurtin Halimah dan dua orang akhwat berboncengan, teman teh Santi.

Rati: “Putri Gading yang ikut siapa aja?”

Ami: “Kita aja, berenam sama temen Teh Santi lima orang, Ares mau ikut, tapi hari ni dia UAS.”

Rati: “Hah, hari ini?”

Ami: “Entahlah.”

Rati: “Yang lainnya mana?”

Ami: “Syifa disitu, lagi makan cemilan.”

Kemudian muncul lagi dua orang akhwat berboncengan melewati gerbang gate dua tempat kita berkumpul. Di sisi lain gerbang,

Dewi: “Sarah kenapa duduk disini?”, terlihat Sarah duduk selonjoran di aspal tempat motor keluar.

Sarah: “Sakit perut Mbak, lagi nahan.”

Dewi: “Oh.” Sarah terlihat mengkhawatirkan.

    Mobil pengantar kami, angkutan kota St.Hall-Lembang,  datang. Celoteh – celoteh ringan dan obrolan mengisi perjalanan menuju Sukawana. Dari mulai cerita UAS, persiapan tadi pagi, sampai ke cerita – cerita unik dan aneh pada camping, outbond, rihlah, hiking yang pernah diikuti beberapa waktu lalu. Kelompok mengobrol terbagi antara teman teh Santi dan anggota Putri Gading, belum saling kenal dekat.
Syifa: “Ada yang mau?”, sambil menawarkan roti hijau dan susu. Percaya atau tidak, sebagian besar dari peserta hiking sedang sarapan susu dari merek yang sama dengan berbagai rasa. Benar – benar kompak, sehati.

Ami: “Ga, sok aja. Besok UAS, sekarang hiking, mantep, ga pa pa refreshing, ha ha ha.” Sambil tertawa khas Ami.

Rati: “UAS apa?”

Ami: “Lopen.”

Dewi: “Apa tuh, mata kuliah cinta? Trus kenapa banyak yang UAS-nya minggu depan, jadwalnya minggu ini kan?”

Ami: “Heu, bukan love tapi lopen, pengelolaan pendidikan. Minggu ini UAS-nya MKDU (mata kuliah dasar umum) dan mata kuliah tentang pendidikan, jadi mahasiswa yang non pendidikan, kebanyakan minggu depan.

Syifa: “Sarah tidur.” Sarah duduk di ujung dekat pintu, kepala direbahkan di pangkuan kaki sehingga yang terlihat hanya punggung dan bagian belakang kepala.

Dewi: “Sakit perut.”

Santi: “Tadi terlambat beberapa menit, biasanya setengah jam atau satu jam.”

Dewi: “Alhamdulillah ada kemajuan.”

    Masuk daerah Villa Istana Bunga. Bangunan – bangunan berarsitektur indah kelas elite berdiri rapi menghiasi tempat itu. Dari mulai bentuk luar rumah yaitu, dinding, pintu, jendela, halaman sampai perabot pelengkap, semua tertata dengan kerapihan dan keindahan yang luar biasa. Sampai di ujung perumahan, kami turun. Pemanasan dilakukan bersama melingkar. Ta’aruf antar orang menjadi pembuka senam sendi. Nelly Novianti yang tadi pagi berboncengan dengan teh Santi, Fathya Nur Fadhila berkerudung coklat, Lustiana Anwar mengenakan jaket panjang berkerudung ungu, Dede Muharti, dan Ina Muslimah berjaket biru  donker panjang, semua teman teh Santi berjumlah lima orang, anggota Putri Gading UPI enam orang, total sebelas. Perkenalan untuk saling menjaga saat hiking berlangsung.   

    Usai pemanasan, kami berjalan melewati pintu kecil menuju perkebunan sayur warga Sukawana, berhenti sejenak, mempersilakan beberapa orang untuk pergi ke toilet menuntaskan kebutuhannya masing - masing.
Dewi: “Sarah tadi makan apa sampe sakit perut?”
Sarah: “Biasa Mbak, kena angin pagi suka kayak gini.”

    Sarah sudah mulai terlihat bahagia seperti biasa, raut wajah penuh senyum kemenangan, seolah telah melewati perjuangan yang amat berat selama perjalanan tadi.

 
Satu . . . Dua . . . Tiga . . . langkah menuju Tangkuban Parahu

    Tanah lembab, berair dan ada genangan di beberapa tempat. Kanan kiri banyak jenis tumbuh – tumbuhan sayur. Dua sampai tiga nenek tekun bekerja di sekelilingnya. Beberapa kali lewat pejalan kaki, pekerja kebun tersebut. Kami terus berjalan di jalan setapak, memanjang ke belakang, seperti main ular – ularan.
Tiba di perkampungan penduduk. Jalan sudah beraspal. Rumah – rumah masih sederhana, ada yang dindingnya masing dari bilik bambu. Warung penjual makanan ringan dan lauk pauk terlihat disamping rumah. Lewat depan pintu pabrik yang terbuka, tampak potongan kayu – kayu bertumpuk di satu sisi dan sisi lain terlihat api menyala. Beberapa meter dari sana ada tempat mesin – mesin kayu berjejer rapi. Berjalan lagi, ada mesjid. Di halaman depan berdiri selompok anak muda dengan pakaian yang warnanya sudah mirip tanah, sepertinya mereka baru saja mandi lumpur.
Sampai di perkebunan teh, jalan – jalan berbatu, agak lebar, kami berjalan berjajar 2 – 3 orang. Dalam perjalanan, kami sering berjumpa dengan orang – orang berpakaian penuh tanah lumpur, satu, dua, sampai sekitar lima orang. Awalnya setiap kali berpapasan dengan mereka tidak ada sesuatu yang ganjil. Tapi setelah berpapasan lagi dengan orang – orang itu di beberapa kesempatan,
Dewi: “Sarah, kok tadi teteh nyium bau kencing?”
Sarah: “Iya Mbak sama, he he he”

    Berpapasan lagi,
Dewi: “Yang ini bau keringat.”
Sarah: “Iya, ha ha ha.” Sambil mengipas – ngipas udara di depan hidungnya.

    Lagi,
Sarah: “Yang tadi juga Mbak.”
Dewi: “Nggak kerasa.”

    Ujung jalan itu kami menemukan bukit kecil berselimut teh, polanya seperti obat nyamuk bakar, melingkar dari atas sampai bawah. Di sekitar bukit itu, daun teh tersusun berpetak – petak. Di salah satu jalan setapaknya kami berjalan satu – satu setelah sebelumnya istirahat dan merasakan minum langsung air dari selang yang ada disana. Itu bukan air mentah, tapi berasal dari mata air. Rasanya seperti air mineral. Pengalaman pertama meminum air langsung dari alam tanpa dimasak, seperti di televisi.

    Beberapa menit sampai di bawah di bukit yang agak tinggi. Kami naik ke atas, memotong jalan. Menembus rumput tinggi sepinggang, seperti berenang. Kanan kiri penuh tumbuhan, badan kami seperti tenggelam saat berjalan naik, menembus daun, berjalan dengan langkah besar. Sampai di atas, masih terus berjalan dan kami menemukan jalan setapak lagi.

    Berjalan menyusuri jalan setapak, tetap dikelilingi perkebunan teh. Dari sana kami berbelok untuk kemudian naik ke atas, jalan mendaki. Dari sini mulai terasa apa itu hiking. Seperti naik tangga digunung dengan permukaan tanah, panjang, jauh, lebar agak sempit kadang sedang. Istirahat sejenak dipertengahan tangga, kemudian naik lagi. Tangga istiqamah nampaknya merupakan nama yang pantas. Begitu sampai di atas kami istirahat lagi, melihat pemandangan. Disana ada kolam ikan.

    Tantangan berikutnya adalah melewati jalan setapak yang amat kecil. Yang hanya muat untuk kaki. Sehingga dari lutut sampai pinggang bahkan sampai leher, badan kami dipaksa untuk bersenggolan dengan tumbuh – tumbuhan yang tinggi. Sebalah kanan ada bukit yang tinggi, sedangkan disebelah kiri terhampar perkebunan teh yang luas. Seolah berjalan ditepi kolam renang kebun teh. Beberapa jalan kami lewati dengan santai, tapi dibeberapa tempat, kami harus benar – benar mendorong tubuh untuk bisa melewati tumpukan batang semak yang membanjiri jalan. Terkena sapuan puluhan semak benar – benar biasa di jalan itu. Di akhir jalan itu, baju terlihat basah bergaris – garis, terkena ratusan ranting yang berembun sepanjang jalan itu.

    Kami istirahat di ujung jalan itu. Melihat pemandangan teh, membuat mata terasa segar. Hal – hal yang membuat otak ini tenang dan fresh ketika kita melihat sesuatu yang berwarna hijau. Itu adalah salah satu terapi menenangkan pikiran sehingga membuatnya otak lancar, memangkas seluruh kepenatan. Ini yang dibutuhkan orang – orang ketika setelah lama bermain dengan asap kota dengan segala hiruk pikuknya, lebih khusus untuk beberapa orang yang besok UAS. Setelah satu minggu belajar, mengerjakan tugas, memakai otak untuk bekerja, berpikir, tubuh benar – benar telah diisi dengan perjuangan yang melelahkan, terutama di bagian kepala. Belajar adalah kebutuhan otak, dan menggerakkan tubuh adalah kebutuhan badan. Semua harus seimbang. Bukankah cukup, membayar enam hari untuk memanaskan otak dengan satu hari untuk kebutuhan fisik? Tidakkah itu seimbang, memenuhi semua hak tubuh?

    Perjalanan dilanjutkan, dari sini tidak ada lagi jalan menanjak. Area hiking saat ini adalah hutan dengan jalan berbatu. Jalan yang amat panjang namun menyenangkan. Di sini kami menemukan banyak tanaman, bahkan memakannya mentah – mentah. Pertama kami bertemu tanaman Honje, bentuknya lonjong mirip tunas, berwarna merah. Kemudian daun pegagan, hijau dan berbentuk  love dengan belahan ditengahnya. Daun ini adalah tanaman herbal, rasanya cukup enak, tidak ada rekayasa rasa, alami. Arbei berwarna orange, agak asam tapi segar. Banyak lagi yang kami coba, bagai wisata kuliner gratis, dan menyehatkan tentunya.

    Beberapa kali berhenti. Terus berjalan lagi, sampai akhirnya kami menemukan salah satu kawah Tangkuban Parahu. Subhanallah, rasanya perjuangan kami dengan segala kelelahannya tidak terasa, terbayar sudah, bahkan lebih dari itu. Kami lahap semua pemandangan itu.

    Di arena ini, kami makan siang, hanya ada beberapa orang lewat, selebihnya hanya kami berdua belas. Makan dengan lalab daun yang di ambil dari alam, namanya Poh Pohan. Rasanya seperti mangga, tapi setelah dikunyah lebih lanjut rasanya menjadi seperti jambu batu.

    Lama istirahat makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke kawah berikutnya, melewati hutan lagi, jalannya mendatar, dan terasa seperti berjalan di selokan hutan. Beberapa menit, sampai di tower, berjalan lagi. Kembali berjalan di badan hutan, jalannya menurun, seperti turun tangga. Tantangan berikutnya. Jalan menurun ini penuh liku, akar pohon jadi beberapa tangga. Undakan tanah menurun, berpegangan ranting dan akar pohon, melewati gua, turun pakai tali, kanan kiri batu koral, hampir terpeleset, benar – benar hiking.

    Ujung jalan kami menemukan kawah dengan pagar dari batang pohon. Menyusuri jalan, mulai ada banyak orang. Tantangan terakhir, naik turun batu koral putih. Beberapa koral yang tinggi, kadang harus berpegangan saat menuruninya dan langkah yang tinggi dan panjang untuk menaikinya. Sampai di koral terakhir, disana sudah ada ribuan orang hilir mudik, mobil terpajang berderet memenuhi lingkungan wisata Gunung Tangkuban Parahu. Penjaja makanan dan souvenir berjejer disisinya. Nampaknya ini akhir dari hiking kami hari ini.

    Perjalanan yang sangat menyenangkan, perjuangan selama enam jam berjalan terbayar dengan kenikmatan yang berlipat – lipat. Puas rasanya berwisata di Tangkuban Parahu setelah hiking sebagai pembuka. Lebih terasa nikmat mendapat sesuatu bila terlebih dahulu kita melewati perjuangan yang amat menguji fisik dan mental tentunya.

    Tulisan di atas bisa di anggap sebagai cerpen pada awalnya. Ini adalah bentuk realisasi dari hasil Kuliah Kepenulisan Ahad kemarin. Proses kreatif karya sastra adalah dengan membuat pertanyaan dan merangkaikan cerita. Pertanyaan tentang kondisi sekitar kita, kenapa ini bisa terjadi, apa yang diperbuat orang itu, kapan terjadinya kejadian menarik, kemudian kita rangkaikan semua jawaban tersebut adalah kunci dari tulisan. Itu adalah Itu adalah kesimpulan hasil kuliah selama dua jam . Dan tulisan ini adalah langkah awal untuk berlatih proses kreatif itu.



Review Proses Kreatif Karya Sastra_8 Januari 2012_Dewi Erita
Proses Kreatif Karya Sastra_1 Januari 2012_Yus R. Ismail

No comments:

Post a Comment