Friday 6 February 2015

Resensi Surat-Surat 1943 - 1983

Resensi
SURAT-SURAT
1943 - 1983
oleh Dewi Erita



Pertama kali mendengar nama H.B. Jassin (Hans Bague Jassin) adalah saat membahas periodesasi sastra di FLP (Forum Lingkar Pena) Bandung. Periodesasi Sastra terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. H.B. Jassin (1917-2000) mengalami sendiri tiga masa itu, mulai dari Pujangga Baru sampai Angkatan ’66.
               
Buku ini berisi 246 surat Jassin yang ditujukan kepada lebih dari seratus orang, baik dalam maupun luar negeri. Beliau menulis dalam kedudukannya sebagai redaktur majalah, editor buku, kritikus sastra, dokumentator sastra, dosen kesusastraan, sahabat, dan kepala rumah tangga.

Sekilas buku ini berisi bacaan “berat”. Apa-apa yang ditulis membuat pusing kepala di beberapa bagian. Namun, meski begitu kata-katanya indah. Rumit tapi indah. Tidak terlalu mengerti tapi nyaman dibaca.

“Kata-kata kesusastraan ialah kata-kata yang indah, kata saya. Indah sebagai kata-kata sepatah-sepatah, ataupun dalam rangkaian, tapi yang mesti, dalam hubungan seluruhnya. Indah adalah soal perasaan, dapat menggetarkan perasaan. Demikianlah mestinya kata dan rangkaian kata di dalam kesusastraan, beda dengan di dalam ilmu pengetahuan. Di situ kata-kata menjalankan pikiran, tapi biasanya tidak menggetarkan rasa. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan disebut hambar oleh orang yang tidak semata-mata bisa hidup dengan pikiran.” (hal. 14)

Di sini penulis mengenal sosok Jassin sebagai seorang yang rajin dan teliti, pandai beberapa bahasa. Lancar membaca buku berbahasa Indonesia dan Belanda, namun buku berbahasa Inggris dan Jerman masih memakai kamus. Tahun-tahun mendatang banyak lagi bahasa dari berbagai negara yang dikuasainya. Suatu kemampuan berbahasa yang luar biasa pada masa itu.
H.B. Jassin adalah seorang kritikus kesusastraan yang sangat hebat. Beliau bersama kawan sastrawan baik dalam maupun luar negeri mengasuh sastra Indonesia sehingga dikenal dunia.

 “Sejak 1940, jadi sudah sembilan tahun yang lalu, perhatian saya terarah pada kesusastraan, khususnya kesusastraan Indonesia, dan selama waktu itu saya mengumpulkan baik-baik buku-buku, majalah, guntingan koran, dan segala apa yang bertalian dengan kesusastraan. Dan saya mempunyai kebiasaan untuk menyimpan segalanya menurut subyeknya dalam map-map untuk memudahkan penggunaannya. Dengan demikian, saya telah mengumpulkan hampir lengkap semua sajak Chairil Anwar, juga naskah-naskah yang ditulis dengan tangan. Map-map itu tambah membengkak setelah saya juga menyimpan buku-buku pengarang. Saya hendak mengusahakan koleksi ini sekomplit mungkin, sehingga terlahir semacam museum kesusastraan.” (hal. 53)

“Selanjutnya untuk jangka waktu 10-15 tahun ke depan ini saya merencanakan untuk mempelajari kebudayaan Barat dan Timur, dimulai dengan kebudayaan orang Yunani kuno dan selanjutnya kebudayaan Romawi sampai Abad Pertengahan, Renaissance sampai ke zaman modern sekarang ini dan sekaligus sejajar dengan itu India kuno dan Tiongkok kuno sampai sekarang, semua itu sebisa-bisanya berdasarkan hasil-hasil kesusastraan dan filsafat dari zaman ke zaman. Sungguh bukan pekerjaan kecil. Sekarang saya baru menerobos Homeros dan Socrates (via Plato), dan beberapa drama Yunani dengan berpedomankan buku Jakob Burkhardt Kulturgeschichte Griechenlands dan sekarang saya sedang membaca jilid ketiga Mahabharata yang terdiri dari sebelas jilid, tiap jilid tebalnya 600-700 halaman. Dan saya rasa tidak akan selesai dalam 15 tahun, kecuali jika saya membatasi diri pada bacaan karya-karya yang paling penting. Mahabharata saya anggap penting untuk menjelajahi seluruh alam pikiran dunia Timur. Mahabharata sekaligus pula merupakan ensiklopedi alam pikiran India. Dan keuntungan akhir daripada studi ini ialah kemungkinan bahwa pada suatu waktu saya akan menulis sejarah kesusastraan dunia di masa depan yang jauh.” (hal. 47-48)

Berinteraksi dengan sastrawan asing terlebih dari Belanda memang sangat tidak nyaman pada awalnya. Namun hal ini disikapinya dengan bijak.

“Apakah sebabnya saya bersikap begitu tertutup terhadap Saudara?—Saya ingin bersih di tengah segala kesibukan politik itu, namun tetap memilih pihak di mana saya harus berdiri. Saudara tahu sendiri bagaimana Saudara di dalam semangat Saudara yang menggebu-gebu barangkali tanpa sadar berkali-kali membuktikan diri berlainan pendapat dengan kami  sebagai putera-putera Indonesia yang sedang berjuang.” (hal. 43)

“Kolonialisme alhamdulillah sekarang sudah mati berkat revolusi kami dan perjuangan kami. Kolonialisme yang barusan kami hancurkan tidak boleh hidup kembali dalam hati kami sendiri terhadap orang lain. Untuk mengusir kolonialisme dalam diri kita sendiri ini, kita saling memerlukan. Inilah tugas humanisme … “ (hal.56)

H.B Jassin adalah sosok pembelajar sejati. Dia bekerja, belajar, dan mengajar dengan hati yang lapang. Bahkan pernah pula beraktifitas di lima tempat sekaligus.

“Saudara lihatlah, semua bisa dikerjakan sekali jalan. Apa yang saya kerjakan untuk disertasi, termasuk tugas saya sebagai pegawai LBB (Lembaga Bahasa dan Budaya), dan bisa pula  dipergunakan untuk kuliah-kuliah yang saya berikan pada Universitas Indonesia. Enak bukan? Ada harapan bahwa saya akan dijadikan lektor penuh pada Fakultas Sastra UI, tapi dalam pada itu diperbantukan pada bagian Kesusastraan LBB sebagai pemimpin bagian seperti sekarang ini. Jadi tidak ke mana juga, tetap di lapangan kesusastraan. Rasanya seperti ikan di dalam air, ke mana pun pergi dunianya juga.” (hal: 138)

“Saya bekerja di lima tempat sekaligus, pertama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak juga mencukupi dan kedua karena memang semuanya pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan saya.” (hal. 247)

Dalam melakukan kritik beliau sangat jujur.

“Mengenai cerita pendek Saudara, ‘Rosita’, yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.” (hal. 97)

Masalah yang beliau hadapi memang banyak. Tetapi, beliau tetap semangat bahkan saat dirumahkan karena diduga terlibat dalam upaya sesuatu yang tidak baik.

“Saya sekarang kerja di rumah saja. Menarik diri dari Fakultas Sastra UI dan berhenti dari LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan), tapi tiap saat dipergunakan. Saya dalam lima bulan ini mengerjakan terjemahan The Spirit of Islam (Api Islam) … “ (hal. 253)

“… dan saya sangat berterima kasih atas teguran Saudara yang merupakan stimulans baru bagi kegiatan dan semangat saya yang kadang-kadang terasa mengendor.” (hal. 242)

Penulis sempat mengira keadaan ekonomi yang buruk dan sistem yang kacau hanya ada di zaman sekarang. Ternyata tidak begitu.

“Nampaknya penerbitan tambah sukar, sebab ongkos cetak naik terus. Penerbit-penerbit terancam bangkrut. Buku-buku yang saya terjemahkan tempo hari dan yang saya perbaiki bahasanya sampai sekarang, belum ada yang terbit. Dan saya sendiri tidak ada ketenangan karena terus menerus dikejar oleh kebutuhan dapur. Untunglah saya masih terus dapat pekerjaan terjemahan dari Kedutaan Belanda yang bisa meringankan sekadarnya beban hidup.” (hal. 264)

“Perhatian orang terhadap majalah Sastra dingin lagi, disebabkan kejadian-kejadian belakangan ini dan terutama karena ongkos cetak yang melambung tidak terbayar lagi. Kita terpaksa bersabar lagi.” (hal. 265) 

“Mengenai hak cipta ‘Gempa’ saya setuju diselesaikan, supaya ada kejernihan hak pengarang. Tapi dengan melalui prosedur gugatan hukum apakah tidak akan berlarut-larut dan banyak makan ongkos saja? Sungguh terlalu banyak hal yang harus diluruskan dalam negara kita yang kacau ini.” (hal. 277)

Masalah dalam urusan rumah tangga juga ada.

“… karena terutama belakangan ini saban hari mendengar keluhan naiknya harga-harga. Pagi ini istri saya menjerit-jerit karena beras sudah naik 400 seliter dan semua harga lain membubung.” (hal. 255)

“Hannibal duduk di kelas III STM dan insya Allah tahun depan dapat masuk ITB, Mastinah duduk di kelas II SMP, tahun ini tidak naik, karena terlalu banyak nonton televisi dan bermain dengan teman-temannya.” (hal. 278)

H.B. Jassin tidak berkutat dengan urusannya sendiri. Saat menjadi pembimbing skripsi, beliau juga mencetak kader-kader sastra karena apa yang beliau cita-citakan butuh waktu dan tenaga profesional yang handal. Tidak mudah melakukan itu semua sekaligus, pasti ada saja orang-orang yang salah paham terhadap tindakan beliau.

“Tentang kebesaran dan kediktatoran yang Saudara sebut-sebut, apakah yang harus saya jawab? Saya tidak pernah merasa “besar” dan ingin jadi diktator; itu hanya orang lain saja yang menganggap. Saya bicara dan muncul di depan umum saja tidak berani, karena merasa tidak punya kemampuan dan apa yang telah saya berikan sungguh belum berarti apa-apa. Karena itulah saya membentuk kader-kader yang saya harap akan bisa melaksanakan apa yang saya inginkan lebih baik dan lebih sempurna. Sikap seorang diktator tidak memungkinkan diktator-diktator lain di sampingnya. Sebab kalau demikian, dia bukan diktator lagi. Saya bukan diktator dan tidak ingin menciptakan diktator-diktator. Saya inginkan pribadi-pribadi yang berperikemanusiaan. Bahwa Saudara melihat apa yang Saudara sebut diktator-diktator, saya tidak merasa bertanggung jawab telah menciptakannya.” (hal. 237)  

Surat-Surat 1943-1983 karya H.B. Jassin menggambarkan seorang manusia yang hebat dan apa adanya. Membaca buku ini sempat membuat hati merasa ciut. Dengan sesuatu yang secukupnya mampu menciptakan hal yang luar biasa. Ketekunan adalah pupuk beliau. Ada rasa bangga di hati. Kita, bangsa Indonesia, pernah memiliki sosok yang begitu berharga.

“Barusan saya terima kabar baik: Prins Bernhard Fonds telah menetapkan H.B. Jassin sebagai pemenang Hadiah Martinus Nijhoff untuk tahun 1973, buat terjemahan Max Havelaar karangan Multatuli. Pemenang yang lain ialah Peter Verstegen. Upacara penyerahan hadiah akan diadakan di Balai Kota Den Haag tanggal 26 Januari 1973. Besarnya hadiah  5000 gulden, tapi yang lebih penting bagi saya ialah kehormatan bagi negeri kita….

Hadiah Martinus Nijhoff diberikan oleh Prins Bernhard Fonds sejak tahun 1955 untuk terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya.” (hal.339)

Bagaimana beliau menjadi sosok yang begitu berprestasi?

“Kita memang harus memaksa diri untuk mengadakan waktu buat sesuatu yang kreatif, kalau tidak kita tidak akan pernah bikin apa-apa. Tempat di mana kita berada sebenarnya tidak penting. Yang perlu ialah self discipline.” (hal. 291)

Siapa yang akan meneruskan jejak pendahulu-pendahulu kita?

Kitakah?



Depok, 6 Februari 2015_17 Rabiul Akhir 1436 H


Pustaka
Jassin, H.B. 1984. Surat-Surat 1943 – 1983. Jakarta: PT Gramedia