Sunday 17 February 2013

Resensi: Di Serambi Makkah



Resensi
Di Serambi Makkah
Oleh Dewi Erita

  
Sebuah novel tentang tanah rencong, , ,

aceh kehilangan kapal,
dipenghujung abad 20
aceh kehilangan rasa
bumi bergetar sunyi
kata silang sengketa
nyawa tidak bernilai
aceh kehilangan  nakhoda
ada kepiluan terselip
dalam kebisuan menggigit
dipenghujung abad 20
ketakutan menjelma dendam
aceh kehilangan jiwa
memandang aceh
terbayang manusia
kehilangan harga
(Din Saja, Banda Aceh, 1999)

Bermula dari impian, dua orang anak asal Dusun Wono berbagi cerita harapan masa depan. Tentang laut dan angin. Kehidupan berjalan, mereka terpisah, jauh dari kampung halaman. Sebuah titik waktu tak terduga mempertemukan mereka kembali lewat udara.

Maruta seorang penulis sekaligus wartawan mencurahkan perhatiannya pada kondisi Aceh. Fokusnya ini bermula sejak bangku perkuliahan. Awalnya pemikiran itu begitu ekstrem menganggap bahwa sikap rakyat Aceh benar dan pemerintah salah. Roda berputar. Dalam perjalanan waktu, kematangan pribadi dan keluasan pikiran membuatnya semakin arif dalam menyikapi suatu permasalahan, termasuk tentang Aceh. Dia berusaha berbuat sesuatu untuk negerinya melalui pembuatan novel tentang tanah rencong dengan sudut pandang berbeda sebagai seorang pegiat jurnalisme damai.

Samudra, teman masa kanak-kanak Maruta, kini menjadi TNI yang ditempatkan di Aceh. Marinir ini bertugas mengamankan Aceh dari cengkeraman GAM. Tali udara terlempar jauh dari Sabang ke tempat Maruta berada di Pulau Jawa. Sekawan ini bertemu lagi berwujud suara dan pesan singkat. Mulai dari obrolan-obrolan manis dan hangat sampai diskusi pahit dan beku  tumpah dalam bingkai persahabatan, mengalir jernih lewat percakapan udara.

Banyak yang bisa rekan-rekan dapat dari novel ini. Sinopsis bisa dilihat dalam lautan blog di luar sana. Saya akan tuang sedikit di sini agar rekan-rekan bisa mencicipi sedikit rasanya. Mariiiiii , , ,

1.       Secara de jure ini adalah novel. Namun, de facto-nya seperti autobiografi dengan tambahan diari dan catatan perjalanan. Semuanya dengan modifikasi sana sini (sok tahu, ho ho).

2.       Bagi rekan-rekan yang mengambil konsentrasi menulis tentang per-novel-an, ini adalah salah satu buku rekomendasi. Di sini tergambar bagaimana membuat “ruh“ cerita panjang. Modal utama seorang novelis sekaligus menentukan qualified tidaknya sebuah novel (hanya sekedar berpendapat, mungkin lain lagi menurut sastrawan ^_^).

3.       Ciri khas dari dua novel yang saya baca dari penulis yang sama adalah adanya percakapan bulu tangkis. Bayangkan sebuah kok dilempar oleh atlet (Taufik Hidayat misalnya) dalam sebuah kejuaraan. Kemudian di-smash oleh pemain lawan dengan tenaga dan kecepatan penuh. Dan disambut lagi oleh raket Taufik. Sesaat sebelum kok mendarat, dilempar lagi oleh pemain lawan. Tergambar berapa kali kepala penonton tengok kanan kiri dengan mulut sedikit terbuka saking terpesonanya melihat tak tok tak tok itu.

4.       Ciri kedua yaitu permainan rasa (emosi). Pandai nian meramu resepnya. Terkadang kita bisa berucap “oh“ dengan panjang huruf “o“ beberapa sentimeter. Kemudian tersenyum beberapa detik. Lalu tertawa beberapa kali. Terakhir, ber“hmm“ diakhir cerita.

5.       Ciri ketiga adalah ending mirip pola komik Detective Conan. Tidak terduga (dan penuh misteri tentang masa depan pelaku). Pembaca dipaksa membuat cerita bersambungnya dengan pikiran masing-masing.

6.        Ciri keempat, secara keseluruhan banyak terselip pemikiran-pemikiran penulisnya yang disampaikan secara secara (sangat) halus dan mudah dicerna otak. Kata perkata dibuat sesederhana mungkin. Namun, pendalaman maknanya sangat dalam dan hakiki.

7.       Ciri terakhir tentang posisi sebagai diri, cara “melihat“, mengambil “rasa“, dan ber-act. Hampir semua kita (saya dan penulis, munkin juga rekan-rekan) sama.

Melihat potret kehidupan di tanah para pejuang dalam buku ini (Lhokseumawe, Bireuen, dan Muara Batu) membuat hati turut berempati. Kehidupan yang begitu kontradiktif dengan masyarakat kebanyakan Pulau Jawa. Di sana, udara yang tercium adalah  bau khawatir, harum takut, dan semerbak ketidakpastian.

setiap hari ada saja orang-orang memikul keranda
mengusungnya ke dalam kuburan yang dangkal
dengan hati yang cemas tanpa doa dan tabur bunga
karena setiap nyawa sangat berharga
setiap orang kini menyimpan dendam
untuk suatu ketika tumpah menjadi darah
lalu apa arti kehidupan berbangsa dan bernegara
lalu apa arti kebersamaan dan kasih sayang
apabila doa tidak lagi mampu meredam peperangan
apa artinya jeritan dan teriakan yang dilontarkan
kata-kata telah kehilangan makna
setiap orang memandang penuh curiga
aceh yang dibangun dengan doa dan peradaban
dengan perjuangan jihad menumpas kebiadaban
kini telah menjadi laut darah yang memilukan
setiap orang dibantai sampai ke dalam rumahnya
hari-hari berlalu dengan genangan air mata
setiap jiwa gelisah dalam ketakutan
bencana, bencana, bencana, dan bencana
duhai, inikah peradaban yang dikatakan itu?
(Din Saja, Banda Aceh, 2000)

 
Perjuangan menumpas kebiadaban pernah di ukir oleh Cut Nyak Dien pada akhir abad 19 sampai awal abad 20. Kisah hidup beliau dalam menumpas kaphee Ulanda (kafir Belanda) mencapai puncak saat suaminya, Teuku Umar, gugur tahun 1899. Pahlawan wanita berusia 51 tahun itu langsung memimpin pasukan gerilya untuk berperang melawan kolonial pimpinan Joannes Benedictus van Heutsz. Tahun-tahun awal perjuangan cukup membuat pasukan penjajah kewalahan. Waktu bergulir. Penyakit usia tua (encok dan rabun), persedian makanan yang menipis, adanya pengkhianat, dan prajurit musuh yang semakin beradaptasi dengan alam Aceh membuat pasukan Cut Nyak Dien menipis. Rasa iba terhadap kondisi pemimpinnya dan harapan agar kesehatannya membaik memicu pengkhianatan Pang Laot (panglima perang pasukan gerilya) untuk menyerahkan Cut Nyak Dien. Sampai saat penangkapan, dengan kondisi yang begitu memprihatinkan, beliau tetap melawan dengan rencong ditangannya. Tahun 1905 di Beutong Lhee Sagoe menjadi akhir perjuangan gerilya beliau. Sampai akhir hayatnya Cut Nyak Dien menolak apapun bantuan dari pemerintah kolonial yang sudah membakar masjid besar di Lampadang tahun 1873, tempat tinggalnya dahulu.  

Tanggal 26 Maret 1873
Kerajaan Belanda memaklumkan perang
kepada Kerajaan Aceh.
Perang yang berkecamuk terus menerus
selama puluhan tahun
adalah perang terlama & terpanjang
dalam sejarah Kolonial Belanda.
(Tjoet Nja‘ Dhien, PT. Kanta Indah Film, 1988)

Siapkan dirimu untuk membangun negeri !

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya . . .
(8:60)
Who’s next?

Cimahi, 17 Februari 2013_6 Rabiul Akhir 1434


Pustaka
Eros Djarot. 1988. Tjoet Nja‘ Dhien. PT. Kanta Indah Film   
(Film terbaik Festival Film Indonesia 1988 , film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes tahun 1989)

Manggeng, AA, dkk. 2003. Aceh dalam Puisi. Bandung: Syaamil

Tasaro. 2005. Di Serambi Makkah. Bandung: DAR! Mizan   
(Buku terbaik Adikarya IKAPI 2006)