Saturday 4 August 2012

Untukmu, Pewaris Darah Para Pejuang . . .


Resensi ARUS BALIK Pramoedya Ananta Toer
Oleh Dewi Erita


Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara. Tetapi zaman berubah . . .
Arus berbalik – bukan lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara  ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara . . . Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya.

Lembar per lembar tumpukan kertas ini bercerita tentang permulaan Peranggi dan Ispanya (Portugis dan Spanyol) menduduki Bandar Malaka, pusat perdagangan rempah-rempah antara wilayah Nusantara dan Negeri Atas Angin, pada tahun 1511 yang dipimpin oleh Kongso Dalbi (Alfonso Alburqueque). Munculnya Peranggi membuat kapal-kapal dagang Nusantara tidak bisa berdagang karena Peranggi menumpas semua kapal dengan alat yang canggih bernama meriam. Peranggi bermaksud menjadi penguasa perdagangan seluruh dunia dengan menaklukkan negeri-negeri selatan. Hal ini berpengaruh pada seluruh Bandar di Nusantara. Bandar Tuban salah satunya.

Saat kerajaan Majapahit runtuh, Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta menjadi raja wilayah tersebut. Berbeda dengan Majapahit, kekaisaran benua yang banyak urusan, Adipati Tuban memilih bertenang-tenang dimasa tuanya dan hanya mengembangkan perdagangan dan mengurus wilayah sendiri tanpa meluaskan kekuatan ke laut.

Awis Krambil, salah satu desa di Kabupaten Tuban, menjadi titik awal cerita. Galeng dan Idayu, sosok orang muda yang rajin datang pada pertemuan desa. Suatu perkumpulan yang diisi oleh seorang guru pembicara dan seluruh penduduk desa. Galeng beberapa tahun lebih tua dari Idayu. Idayu sendiri berusia sekitar 15 tahun. Jiwa muda mereka menangkap pesan suci yang disampaikan oleh seorang guru-pembicara, bahwa kejayaan Majapahit harus dibangun kembali, lawan kemerosotan dengan memanggil kejayaan dan kebesaran  masa silam pada guagarba hari depan.

Keikutsertaan Galeng dan Idayu dalam pesta lomba seni dan olahraga menggiring mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Kerajaan Tuban. Beberapa saat setelah menikah dengan Idayu, karena kelebihannya dalam olahraga gulat, Galeng diangkat menjadi Syahbandar-muda Tuban dan bergelar Wira sehingga namanya menjadi Wiranggaleng. Tugas utamanya adalah menjaga Syahbandar Tuban.

***

Laksamana armada dari Tiongkok adalah Dampo Awang, gelarnya Ceng Ho. Armada itu mengaku telah diusir dari negerinya dan minta perlindungan Majapahit. Mereka datang bukan untuk menaklukkan  negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya tetapi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka menempati daerah rawa-rawa Semarang dan membuatnya menjadi bandar perdagangan dengan nama Sampo Toa-Lang (Lao Sam). Majapahit runtuh, kekhawatiran terhadap rusaknya perlindungan, membuat mereka melantik sebuah kerajaan baru. Kerajaan benteng Sampo Toa-ang, Demak.

Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak armada Ceng Ho, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa. Liem Mo Han adalah sahabat Wiranggaleng, dan sering bekerjasama dengannya dalam memerangi Peranggi.

Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara, membuat armada gabungan yang terdiri prajurit-prajurit Aceh-Demak-Jepara-pelarian Malaka-Tuban untuk mengusir Peranggi dari Malaka dan dipimpin langsung oleh Putra Mahkota Kerajaan Demak, Laksamana Adipati Unus. Armada gabungan itu sendiri dipecah menjadi Gugusan-I dan Gugusan-II. Pertempuran sengit terjadi antara armada gabungan dengan Peranggi. Perang itu berakhir dengan kekalahan. Kekalahan ini bukan kekalahan perang, namun kekalahan mengatur kekuatan.Hal yang seharusnya tidak terjadi. Ketidakseriusan pandai-pandai Blambangan dalam membuat cetbang (senjata api pada kapal perang Majapahit), Pemimpin armada Gugusan-I, Kantommana, yang menyalahi perintah, Aceh yang bermaksud menguasai Malaka sendiri, dan Gugusan Tuban yang menyalahi janji diduga sebagai penyebab kekalahan armada gabungan. Adipati Tuban memang tidak menyukai perang sehingga dengan sengaja membuat Gugusan Tuban terlambat datang, hal yang diketahui Wiranggaleng beberapa saat kemudian.

Pekerjaannya sebagai Syahbandar-muda, perjalanan menjadi telik ke Bandar Jepara dan Demak, dan menjadi pemimpin-muda Gugusan Tuban untuk perang melawan Peranggi, menjadikan Wiranggaleng semakin kaya akan pengetahuan dan pengalaman. Impiannya untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa depan mulai timbul secara nyata.

***

Tahun 1518 Masehi, Khalifah pertama di Jawa, Sultan Syah Sri Alam Akbar al-Fattah atau Raden Patah, wafat dan digantikan oleh anaknya, Adipati Unus. Setelah pengangkatannya, Sultan Demak kedua menyatakan harus dibuat armada gabungan yang perkasa dan mengajak raja-raja di Jawa dan Nusantara untuk menggabungkan daya upaya. Beliau juga menyatakan bahwa siapapun raja-raja yang bersahabat dengan Peranggi harus ikut ditumpas. Raja-raja dan bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan menyatakan bergabung dengan Demak. Para ahli dan pekerja didatangkan dari seluruh penjuru Nusantara.

Peranggi merasa takut. Unus sebelum memiliki kerajaan sudah hampir mengalahkan mereka di Malaka, apalagi sekarang setelah menjadi Sultan Demak. Peranggi menjauhkan kapal-kapalnya dari pesisir pulau Jawa dan pelayaran-pelayaran harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sejak saat itu, perdagangan Nusantara kembali lancar. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara hidup kembali. Arus memantai Pulau Jawa, Sumatera Selatan, mencapai Sumatera sebelah barat menuju Teluk Bayur. Bandar yang menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara menjadi ramai kembali. Para saudagar dan nahkoda Nusantara mengakui bahwa Unus berlidah api. Baru ucapan saja, pelayaran Nusantara sudah hidup, apalagi tindakannya. Mereka juga seperti terlupa bahwa kata – kata itu keluar dari mulut seorang yang cacad, terkena serpihan cetbang saat pertempuran pertama melawan Peranggi dan tidak mungkin menjadi Laksamana untuk kedua kalinya.

Kerajaan Hindu, Pajajaran dan Blambangan, mencium aroma bahaya dari Demak dan semakin berusaha untuk bersahabat dengan Peranggi. Peranggi sendiri tidak menggubrisnya dan hanya menjadikan mereka sebagai mata-mata untuk mengetahui perkembangan Demak.

***

Kesibukan Bandar Jepara dalam membuat armada tidak diikuti oleh Tuban. Kota itu sedang mengalami perang melawan perusuh yang dipimpin oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Sunan Rajeg sendiri adalah mantan Syahbandar Tuban, dia berusaha membalaskan dendamnya pada Adipati yang telah memecatnya. Pengetahuannya tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, seberang, dan Atas Angin membuatnya memiliki banyak pengikut. Cemburunya yang besar terhadap Demak, kerakusan, dan sifat kikir memberangus semua kelebihannya. Wiranggaleng yang saat itu menjadi Senapati, berhasil mengalahkannya dengan kemenangan mutlak untuk Balatentara Tuban.

Keserakahan terhadap kekuasaan mutlak, kebencian tehadap pesaing non-ningrat, dan ketakutannya pada pergeseran kedudukan sebagai Adipati, membuat Wiranggaleng terusir dari Tuban. Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah Almasawa, sebagai pengkhianat semakin membuka celah masuknya Peranggi menguasai Tuban. Ketakutan Adipati Tuban pada perang dan lihainya Syahbandar dalam berbicara membuat begundal Peranggi tersebut tetap aman tinggal disana, meskipun seluruh penduduk Tuban membencinya.

***

Tahun 1521 Masehi, serpihan laras cetbang yang masih menancap membuat Sultan Demak-II semakin sakit, kemudian wafat. Penggantinya adalah Trenggono, adik Unus, setelah melangkahi bangkai abang-kandungnya, Pangeran Seda Lepen. Sultan Demak-III tidak memiliki perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, apalagi Malaka. Nusantara berkabung sementara Peranggi berpesta anggur karena penantang satu-satunya telah meninggal. Gusti Ratu Aisah, ibunda Unus dan Trenggono, pergi menuju Jepara. Gusti Ratu berpihak pada sikap dan pendirian Unus. Beliau kecewa terhadap anaknya yang tidak ada niat menyerang Peranggi.
 
Ditengah-tengah kondisi itu terjadi persekutuan rahasia antara Ratu Aisah, Aji Usup-pembantu utama Unus, dan Liem Mo Han. Mereka bermaksud menghidupkan kembali armada gabungan Nusantara dan melakukan penyerangan kedua ke Malaka. Liem Mo Han menyarankan Wiranggaleng sebagai pemimpin Gugusan dari Jawa. Ajakan terhadap pembentukan armada gabungan hanya dibalas oleh Kerajaan Aceh di Semenanjung dan Kerajaan Bugis-Makasar. Raja-raja dan para bupati sudah tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap Demak yang dipimpin Trenggono. Mereka merasa dikhianati.

Mampukah Wiranggaleng dan pasukannya mengalahkan Peranggi? Sementara dia mengetahui, Adipati Tuban hanya mengirimnya untuk mati? Bisakah dia melawan arus balik setelah runtuhnya Majapahit?


Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak diantara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak?

Cimahi, 15 Ramadhan 1433 H _ 4 Agustus 2012

Thursday 2 August 2012

^^ Sebuah Catatan Perjalanan ^^


Esai: Cerita Pendek Berhikmah
Oleh Dewi Erita

Udara panas berebut menyambut jejak pertamaku di kota ini. Hanya potret asing yang tertangkap saat pandang kutebar. Di Kota Hawa Panas ini, aku mulai menebar langkah. Mengambil apa yang terambil. Menebar benih tersisa. Untuk satu alasan, menyempurnakan bangunan ikhtiar.   

Matahari di atas kepala sudah condong ke barat beberapa derajat. Kuperlukan datang menemui rekan kenalan di kota ini. Petunjuk yang ada adalah alamat tinggal dan rute perjalanan. Angkot berhenti di perempatan. Dari sini tenaga otot dipakai. Rasa bahagia berkesempatan menjelajah negeri orang menutupi lelah kaki yang terasa sepanjang satu kilometer itu. 

Kampung Griya berisi rumah tembok dengan gaya arsitektur khas perumahan, sederhana tapi indah. Nama-nama jalan khas tumbuh-tumbuhan. Mesjid di tengah kompleks berdiri cukup besar dan mencolok. Sekilas terlihat di teras, kumpulan orang melingkar, membahas sesuatu. Kura-kura peliharaan menyambutku di rumah itu. Hewan pemalu, masuk ke dalam saat kusentuh. Tuan rumah membantuku dengan senang hati. Beliau menghubungi beberapa rekanan medis di kota ini, bertanya dan meminta saran. Aku mendapat tiga tempat dari beliau. Jazakillah khairan katsiran Ummi.

Tempat tujuan pertama berada dekat dari kampung ini bahkan sempat berpapasan. Namun perjalanan yang seharusnya mudah dan singkat itu menjadi panjang karena aku kurang teliti dan salah persepsi lokasi. Tersasar berputar bolak balik sampai ke daerah Timah. Ujung terjauh bertemu bangunan baru SD Fikri. 

“Pak, mau tanya, Klinik Fikri di sebelah mana?”, bapak satpam menghentikan tilawah Qur’an dan menyambutku dengan senyum hangat. Ah, indahnya pemandangan itu. 

“Oh, dari sini teteh lewat Jalan Situ”, jawabnya ramah.

“Sudah Pak, tadi baru dari sana, tapi tidak ketemu.”

“Ada teh, agak jauh sekitar 1,5 Km dari sini, mungkin tadi terlewat”, sarannya dengan raut muka kasihan melihat mukaku dengan peluh dan lelah.

Menyesal karena keteledoran. Tiga kilometer kutempuh tanpa hasil, benar-benar menguras tenaga dan waktu. Ashar sampai di lokasi.

***

Dalam perjalanan pulang, pemandangan makanan berbuka terlihat dimana-mana. Kuliner yang dijajakan bervariasi, beberapa diantaranya belum pernah kulihat di kotaku. Beberapa ojeg menawari jasa antar. Dana yang terbatas, membuatku menolaknya. Jarak tempuh angkot menuju pondok  singkat, namun kelalaian mencatat alamat membuatku kembali tersasar. Hampir satu kilometer berjalan menyusuri jalan raya mencari gang masuk pondok. Subhanallah, lelah. Bayangan istirahat di pondok menyemangati sisa perjalanan itu.

Satu jam menjelang berbuka akan kuhabiskan untuk tilawah. Tapi … . Tidaaaaaak. Qur’an tertinggal di depan wc mesjid saat ashar tadi. Betapa teledornya. Ya Allah, terbayang olehku, harus kembali berjalan bulak balik dua kilometer menjemput qur’an di mesjid tadi. 

***

Rangkaian perjalanan kaki delapan kilometer yang melelahkan sehari itu gugur setelah mandi. Kota Hawa Panas ini unik. Berjalan beberapa langkah cukup untuk memeras keringat dalam tubuh. Air hangat pun didapat siang malam tanpa harus merebus air. Dahsyat, hemat kompor gas, hemat BBM. 

Hal unik lain di kota ini berlanjut. Saat tarawih, aku tak henti-hentinya mengusap muka dan mengibas-ngibaskan baju depan belakang untuk mendapat angin dan mengurangi hawa panas tiap selesai dua rakaat. Bahkan dalam diam shalat pun, badan berbulir banyak keringat. Benar-benar menyiksa. Astagfirullah, betapa sulit untuk tenang shalat di kota ini. 

Sehabis tarawih, aku melihat …. deg … . Dia, Anna Althafunnisa. Kupalingkan wajahku. Takut.  Aneh, grogi melihat artis. Padahal kita satu usia, seharusnya bisa mengobrol sesama orang muda. Tapi mungkin lain waktu. Secepat kilat kubalikkan wajah saat dia melihat ke arahku, dalam usaha melihat dia untuk yang terakhir kali. Insya Allah, suatu saat nanti, di suatu tempat, suatu waktu, kita bertemu lagi. Bercerita, bertukar ide dan pengalaman. Dan aku pun tersenyum senang.

Esoknya, pagi menjelang siang aku teruskan perjalanan. Bergerak menuju arah selatan. Turun dari angkot dan mulai mencari tempat pertama. Nomor yang tidak beraturan membuatku mondar mandir di daerah jalan itu. Baru beberapa menit mencari, keringat sudah banjir, lemas badan terasa lebih dari kemarin. Jalan menjadi lambat seperti keong.

Kudapatkan tempat yang kucari, Klinik Name. Tengok kanan kiri mencari percetakan untuk melengkapi arsip. Dalam pencarian, badan semakin lemas, kehausan yang sangat mulai terasa. Ya, Allah, kuatkan. Dalam beberapa langkah, jalanku sudah seperti orang sakit dalam perawatan yang kabur dari rumah sakit. Tidak kuat dengan lemasnya badan, ku sandarkan punggung ditiang batu sebuah gang. Rasa hausnya benar-benar sangat terasa. Aku jadi seperti anak kecil sedang belajar shaum. Kekuatanku terkuras, badan lemas, rasa haus yang tak tertahankan, dan percetakan yang belum terlihat benar-benar membuat semangatku turun. Aku mulai berpikir untuk membatalkan shaum. Dan memang ada alasan, shafar (dalam perjalanan). 

Teringat kisah Rasul, saat beliau dan kaum muslimin memenangkan banyak perang besar saat Ramadhan. Bulan shaum, menang perang, perang besar, di gurun pasir dengan panas berlipat-lipat. Ah, betapa memalukan diri ini jika harus batal. Astagfirullahal’adzim. 

***

Masih bersandar sambil berdiri, aku menemukan mesjid diterusan gang itu untuk istirahat. Aku tenangkan diri, mengatur nafas, berharap rasa haus berkurang. Ya Allah, kuatkan, kuatkan, kuatkan. Sambil mengaso, aku tanyai ibu-ibu tempat percetakan daerah ini dan rute tempat tujuan kedua. Percetakan tidak jauh dari sini, semangatku muncul lagi. Beberapa menit duduk cukup, aku paksakan diri berjalan lagi, tidak nyaman lama bersantai sedangkan pencarian masih panjang. Berjalan lambat tapi pasti, kutemukan percetakan. Arsip kumasukkan ke klinik dan pencarian kedua dimulai.

Tempat kedua kutemukan dengan sedikit nyasar saat naik angkot. Beberapa orang kutanyai alamat rumah. Sampai di depan rumah tujuan, aku tidak langsung masuk tapi duduk dibangku keramik dibawah pohon. Lemas masih menggerogoti. Setelah dirasa cukup kuat, aku masuk.

***

Perjalanan ke arah utara menuju tempat tujuan ketiga. Tiga jalur angkot dengan jarak yang cukup jauh. Letak tujuan ketiga memang berada diluar Kota Hawa Panas, tepatnya di bagian timur Kota Ibukota. Selama di angkot, masih terngiang dikepalaku, kata-kata perempuan paruh baya di tempat kedua tadi.

“Oh gitu, ibunya pulang nanti malam sekitar jam setengah delapan. Lagian disini sudah ada saya asistennya, saya Bidan. Terus anak beliau juga Bidan. Coba ke Bidan sebelah sana, disana belum ada siapa-siapa”, sambil memasang senyum.

Ah, senyum itu. Pernah kulihat dan kurasakan dua tahun yang lalu. Bukan senyum dari hati, bukan senyum lip service, mendekati senyum menjatuhkan. Aku memang tidak terlalu menanggapi isi kata-katanya, hanya senyum itu yang masih teringat. Astagfirullah, mungkin rasa haus, panas, dan lemas yang membuatku berprasangka buruk.

Sampai pondok pukul tiga kurang, langsung berkemas. Hawa panas dan rasa lelah yang menumpuk sejak pagi membuatku ingin cepat-cepat pulang, menangguhkan istirahat sejenak di pondok. Lewat sepuluh menit dari pukul tiga masih di jalan gang antara pondok dan jalan raya, hanya beberapa meter. Aku menunggu bus biru lewat. Perkiraan bila berangkat saat ini, maghrib sudah sampai di Kotaku.

Detik demi detiknya benar-benar terasa. Panas dan lelah membuatku tidak bisa diam dengan tenang. Berjalan mondar mandir, berdiri dalam diam sejenak, mondar mandir lagi, lelah terus menerus berdiri, duduk melipat lutut dengan punggung tetap tegak, berdiri lagi, mondar-mandir, begitu terus pada menit-menit berikutnya. Mata tetap terpancang melihat kejauhan tempat bus biru akan datang. Kepala kurebahkan pada bendera bambu, tangan tergenggam kuat pada tiangnya. Badan terasa berat, rasa tidak nyaman menjalar ke seluruh bagian tubuh, nafas pendek-pendek, perasaanku mulai kacau saking lelahnya. Berusaha menyabarkan diri menunggu bus, kuatur nafas sebisanya. Setelah agak tenang, berjalan beberapa meter sepanjang jalan raya, kucari tempat agar bisa duduk. Dalam diam, rasa tidak nyaman itu muncul lagi, badan seperti terbakar lelah dan panas, lelah badan dan lelah menunggu, pikiran dan perasaanku juga kembali kacau. Kutahan sedemikian rupa agar air dipelupuk tidak jatuh. Sedemikian rupa kutenangkan diri, mengatur nafas, dan menggerak-gerakkan kaki. Kembali agak tenang. Dan beberapa menit kemudian, perasaan itu muncul. Tenang kembali. Begitu seterusnya. Aku benar-benar tersiksa. Satu jam berlalu, aku sadar bus pukul tiga sudah terlewat dari tadi sebelum menunggu dan kini yang kutunggu adalah bus pukul empat.

Bus itu besar, panjang, berwarna biru, mencolok dari kejauhan, didalamnya ada AC dan kursi nyaman yang siap mengusir panas dan lelah ini. Aku bersiap, berdiri dipinggir jalan, senang siksaan itu akan berakhir. Seperti tersedot, pandangan sopir dan kenek bus terpaku ke kanan jalan, tidak memerhatikan calon penumpang di bahu kiri jalan. Dan bus itu lewat begitu saja, masih tertangkap olehku, ada penumpang yang menyadari aku ingin naik bus itu. Kutunggu bus yang tetap melaju itu menepi sambil berjalan. Seakan tidak peduli, bus itu tetap pada pendiriannya, makin jauh. Kupercepat jalan, mencoba menyusul. Bus berhenti di stopan, terlalu jauh, tidak terkejar. Bus melaju lagi. Nekat. Kucoba kejar dengan motor. 

“Pak, boleh minta tolong, anter kejar bus itu.”

“Maaf Neng, saya juga lagi nunggu orang.”

Berjalan lagi mencari motor. Naik ojeg, dimana. Kulihat bus sudah tidak terlihat. Masih berharap menyusul.

“Pak, ojeg?“ aku tahu bukan, tapi pertanyaan itu yang keluar.

“Bukan Neng”, ingin kulanjutkan, pak tolong kejar bus itu, saya mau pulang. Tapi tenggorokanku tercekat. Tidak jadi.

Berjalan cepat lagi, merasa bus itu sudah jauh, mungkin masuk tol. Tidak mungkin menyusul bus yang sudah masuk tol. Pandanganku lurus kaku masih menatap kejauhan. Ya Allah. Aku ingin pulang. Pulang. Tidak kuat berlama-lama di kota ini. Panas. Bayangan perjuangan menghadapi derita dari pagi bermunculan cepat di otak: menyabar-nyabarkan diri dari haus dan lemas yang sangat, tertolak, perjalanan angkot yang jauh lintas kota, satu jam penuh siksaan, dan yang terakhir tertinggal bus. Kakiku menepi, menuju dinding perbatasan toko. Kusandarkan bahu dan kepalaku ditiang listrik yang menempel pada dinding toko sambil berdiri. Kututup wajahku dengan jaket. Kulepaskan semua, dan hujan pun turun dengan lebatnya, tidak kuat menahannya lagi. Kubebaskan semua rasa kesal, marah, sakit hati, lelah, panas, cape. Tidak peduli pada pengendara jalan raya, pejalan kaki, ata penghuni toko yang mungkin akan melihat aneh tingkahku terpaku ditiang listrik. Ya Allah, belum cukupkah rasa sabar dan ikhlasku seharian ini? Masih kurangkah untuk mengundang rahmat-Mu? 

Rangkaian ujian belum berakhir. Allah masih mengharapkan aku bertahan lagi. 

“Kenapa Neng?”, terdengar penghuni toko bertanya khawatir. Aku tidak kuasa menjawabnya. Masih deras.
Belum beranjak dari ditiang listrik, perlahan jongkok, lelah berdiri.

Mulai reda, gerimis. Kucoba hentikan seluruhnya. Kukatakan lantang dalam hati. Ok, bila bus biru itu tidak mau berhenti didepanku, akan kukejar kau ke terminal. Kusebrang jalan dan naik angkot dengan langkah pasti. Perubahan ketebalan mata memang terasa tapi tidak mencolok bila terlihat orang. Aku tidak peduli. 

***

Aku pulang dengan bus pukul lima. Haaaaaah, lega. Terduduk lemas dikursi jendela. Segala penderitaan menghilang perlahan seiring dengan laju bus. Benar-benar rindu kotaku, Kota Hawa Dingin.

Roda bus terus berputar di kawasan tol Kota Ibukota. Kami para penghuni bus berbuka shaum dengan tenang dan damai. Sampai di Kota Hawa Dingin, aku berbahagia. Rindu udaranya yang sejuk dan bersahabat, airnya yang dingin, jalan-jalannya, suasananya, semua. Alhamdulillah.

Satu hal yang kulewatkan di Kota Hawa Panas. Menjelajah Sekolah Tinggi terbaik se-Indonesia, dengan aula berdinding kaca, dan taman air yang terlihat dari dalam. Indah … , meski baru mendengar ceritanya. 

***

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Qs. As-Saffat: 106)
Satu hal kupahami. Ujian itu akan tiba pada saatnya, tanpa tahu kapan, dimana, dengan siapa, dan dari arah mana. Pengaruhnya terasa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jiwa, pikiran, dan hati ikut terlibat. Dia sudah siapkan semua pertanyaan dan kunci jawabannya untuk kita. Satu hal yang pasti. Mampukah kita bertahan dan lulus?

  Cimahi, 13 Ramadhan 1433 H_2 Agustus 2012