Thursday 30 July 2015

Resensi Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak



Resensi
Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak
Oleh Dewi Erita


Cuplikan Memo yang Tercecer adalah bab lampiran dalam buku Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Tulisan pada bagian ini dapat mengundang senyum, tawa, haru, bangga, dan sedih menjadi satu. Tergambar bagaimana pribadi peneliti menyikapi permasalahan yang muncul dari masyarakat sekitar serta internalisasi pembelajaran kehidupan dalam dirinya. Bukan, bukan kehidupan manusia biasa pada umumnya, tetapi sisi dunia lain. Sekumpulan orang yang ingin diperlakukan seperti manusia.

“Jakarta, 22 Juli 2010. Lima belas tahun sejak saya menyelesaikan penelitian di Kramat Tunggak. Selama ini sering saya teringat pada lokasi bersejarah itu, pada banyak perempuan yang berjuang mengukur malam demi malam lewat dandanan tebal dan tawa kepalsuan. Namun ingatan itu tak pernah membuat kaki melangkah kembali ke tempat tersebut.”

Buku ini merupakan hasil disertasi Bu Endang R. Sedyaningsih yang melakukan penelitian pada tahun 1995 berjudul “Determinants of the STD/AIDS-related behaviors of female commercial sex workers in Kramat Tunggak, Jakarta, Indonesia”. Beliau yang saat itu telah menjabat Menteri Kesehatan RI selama sembilan bulan meninjau Kramat Tunggak secara incognito (penyamaran). Islamic Center menggantikan lokalisasi Kramat Tunggak yang ditutup tahun 1999.

 
“. . . berhenti tepat di depan masjid. Saya turun dari mobil. Memandang dengan kagum ke bangunan masjid yang megah. . . Saya berjalan berputar, perlahan, mengukur langkah demi langkah mencoba meraba lewat imajinasi. Namun, saya sungguh tak mampu lagi mengenalinya. Amat sulit memetakan ‘cetak bitu’ dalam ingatan ke dalam alam nyata yang kini terbentang di hadapan saya.

Informan mengatakan, lokasi ini dulu bagian belakang yang disebut kompleks Kramat Tunggak baru. Saya mengeleng-gelengkan kepala, terheran-heran. Sungguh tidak sedikit pun bekas tersisa yang masih dapat saya kenali. Cukup banyak hari telah saya habiskan di tempat ini, keluar masuk kafe, bertemu dengan puluhan PSK, germo dan petugas, serta mewawancarai  hingga mengenali setiap sudut Kramat Tunggak. Bahkan dengan segenap keberanian saya pernah menginap di salah satu rumah bordilnya! Namun tetap saja semua itu tak banyak membantu malam ini. . . ” 

Kramat Tunggak adalah tempat pelacuran berbasis bordil, di mana orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu dapat menjalankan usaha bordil dengan mempekerjakan beberapa perempuan pelacur alias menjadi germo. Status Kramat Tunggak diperjelas dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/54/72 tanggal 17 Juli 1972 tentang Status dan Pengurusan Kompleks Lokalisasi Wanita Jakarta Utara. SK ini diperbaiki dengan SK Gubernur bernomor 1491 tahun 1992.

“Semenjak kompleks Kramat Tunggak resmi ditutup, tampaknya kafe-kafe tersebut bermunculan dan kian marak. Selain itu, siapa dapat menyangka bila di seputar wilayah Kramat Tunggak  sendiri, tepat di seberang Islamic Center yang megah dan agung, ketika waktu menunjuk pada pukul sepuluh malam hingga dini hari, masih dapat dijumpai wanita-wanita bedandan menor  duduk di samping gerobak minuman. Sesekali mereka menggoda lelaki yang lalu lalang, menawarkan minuman sekaligus ‘kesenangan’ bila terjadi kesepakatan harga. . . Saya mengangguk-angguk, berpikir: ‘Yah, ini mirip yang terjadi apabila sebuah pembuluh darah tersumbat. Tubuh akan giat membentuk pembuluh-pembuluh darah baru (kolateral) agar aliran darah dapat terus mengalir.”

Saat ini lokalisasi Kramat Tunggak memang sudah tidak ada. Namun, aktivitas transaksi seks masih berjalan. Melebarkan sayap tak terkendali. Menyatu dengan masyarakat umum di rumah-rumah penduduk, warung dan kafe pinggir jalan, kolong jembatan, tempat nelayan menyimpan peralatan menangkap ikan, bahkan di tenda-tenda dadakan samping rel kereta yang hanya ada pada malam hari. Nama tempat bisnis pun ada yang tersamarkan, misalnya panti pijat.

“ . . . estimasi Kemenkes RI tahun 2009 bahwa jumlah pelanggan pekerja seks mencapai 3,17 juta pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari 214.000 perempuan pekerja seks, maka para laki-laki pelanggan itu sangat berpeluang menjadi penyebar Infeksi Menular Seksual (IMS) dan virus HIV ke dalam rumah tangga. Artinya satu pekerja seks kemungkinan dikunjungi oleh 14-15 laki-laki pelanggan.
. . . berpotensi menularkan penyakit kepada 1,97 juta orang perempuan yang menjadi istri atau pasangan tetapnya . . . Bahkan, jika perempuan yang sudah menikah itu digabungkan dengan jumlah pekerja seks, jumlahnya hanya 2.184.000 orang, tetap lebih kecil dibanding laki-laki pembeli jasa seks . . . Berarti peran pelanggan ini sangat besar dan potensial sebagai mata rantai penularan penyakit.”

Pekerja Seks Komersial (PSK) sering dianggap sebagai kambing hitam penyebar penyakit HIV/AIDS. Padahal sebenarnya laki-laki yang ‘jajan seks’ yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK. Siapakah sebenarnya pekerja seks (PS) itu? Apakah mereka bahagia menjalani pekerjaan sebagai PS?

“Mereka yang menjadi pelacur karena merasa terpaksa oleh keadaan sebanyak 16 orang (dari 30 orang perempuan Kramat Tunggak yang diwawancarai secara mendalam). Perempuan-perempuan ini tidak punya sumber penghasilan lain yang cukup, padahal mereka harus  menanggung biaya hidup orangtua, anak, ataupun adik-adiknya. Sebagian besar dari mereka (11 orang) berusia lebih dari 25 tahun, bahkan sekurangnya tiga orang baru mulai menjadi pelacur setelah berumur lebih dari 30 tahun . . . Pada umumnya mereka punya target yang jelas mengenai jangka waktu mereka akan meneruskan pekerjaannya. Misalnya mereka akan bekerja di Kramat Tunggak sampai anak tertua mampu mencari nafkah, atau sampai modalnya buat mendirikan toko sudah cukup.”

“Perempuan yang bekerja di Kramat Tunggak karena ikut arus (6 diantara 30 partisipan), menjadi pelacur dengan hati yang relatif tanpa beban. Menurut mereka kenapa mesti terbebani? Teman-teman sedaerahnya  banyak di situ, bahkan banyak yang datang diantar oleh orangtua sendiri. Germonya pun sudah dikenal lama. Dengan ringan mereka bisa menceritakan pengalaman di Kramat Tunggak. Target mereka tidak senyata perempuan-perempuan yang dipaksa oleh keadaan. Kebanyakan menjawab bahwa mereka di Kramat Tunggak tidak akan lama, menunggu ‘insaf’ atau menunggu sampai ada orang yang mau ‘mengangkat’ mereka dari situ, alias bertemu jodoh. Tidak masalah apakah mereka akan jadi istri pertama, kedua, atau ketiga, asalkan istri tuanya setuju saja.
Sebagai perempuan muda, mereka pun banyak yang terbawa arus, merokok dan minum alkohol untuk gaya. . . Pengetahuan mereka mengenai masalah IMS, AIDS, dan kondom sangat kurang.”

“Golongan yang saya sebutkan sebagai ‘terdorong frustasi’ berjumlah delapan orang dari partisipan wawancara. Umumnya cerita mereka tentang bagaimana sampai masuk ke Kramat Tunggak cukup membuat bulu kuduk berdiri. Seperti perempuan yang ikut arus, semua partisipan berusia kurang dari 25 tahun. . .
Dalam hal kesehatan, mereka paling tidak peduli. Hampir semuanya senang minum alkohol, beberapa merokok, lima orang biasa minum obat terlarang dan tiga orang sering mengiris-iris diri sendiri . . . bercerita bahwa ia selalu mengiris-iris lengan atau paha dengan silet kalau sedang marah. ‘Pusing rasanya kalau lagi marah. Musti lihat darah dulu, baru pusingnya ilang,’ katanya. . .
Kebanyakan dari perempuan ini tidak bahagia dengan takdirnya sebagai pelacur. Mereka pada umumnya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dengan jelas menyatakan bahwa menjadi pelacur adalah dosa besar. Dalam hal ini ada perbedaan yang cukup menonjol dengan perempuan yang merasa dipaksa oleh keadaan, yang dapat membenarkan tindakan mereka  dengan alasan berkorban demi keluarga. Perempuan-perempuan yang terdorong frustasi  hanya punya alasan bahwa mereka marah, sangat marah kepada laki-laki dan dunia. . .”

“Beberapa perempuan di antara 30 partisipan yang diwawancarai menunjukkan kecenderungan yang menarik. Apapun alasan mereka ketika pertama datang ke Kramat Tunggak, sekarang mereka berupaya agar dapat berbuat yang terbaik dalam kondisi yang ada. Mereka rajin menabung, rajin menjaga kesehatannya, walaupun belum tentu sesuai dengan ilmu kedokteran modern. Terutama, mereka tidak terlalu kejam menghakimi diri sendiri, misalnya merasa diri melakukan pekerjaan kotor atau merasa diri sampah masyarakat. Jumlah mereka tidak banyak hanya tiga orang.”

Saat penelitian, sekitar dua ribu perempuan Kramat Tunggak bekerja sebagai PS. Pekerjaan melacur seperti pekerjaan lainnya mengandung risiko, baik risiko yang berhubungan dengan keuangan, keamanan, maupun kesehatan. Mereka tidak selalu memperoleh pelanggan. Usia, penampilan wajah dan tubuh, tata cara pelayanan, keberanian, lokasi dan suasana bordil mempengaruhi kunjungan pelanggan. Selama tahun 1993-1995, pembunuhan terjadi tiga bulan sekali. Biasanya pengunjung terbunuh akibat perkelahian antar mereka sendiri. Bisa juga korbannya perempuan PS dengan motif merampok, cemburu, atau memaksa transaksi seks. Gaya hidup di Kramat Tunggak juga kurang menunjang kesehatan. Kehidupan malam dengan suara musik yang melebihi daya tahan kuping manusia, membuat germo dan PS memiliki gejala ‘kurang dengar’. Darah mereka yang tadinya bersih dari desa, dengan cepat bercampur dengan berbagai racun yang  berasal dari rokok, alkohol, serta obat-obatan terlarang.

“Selain sarat racun di dalam tubuh, pikiran mereka sarat dengan kebingungan-kebingungan akan nilai-nilai hidup. Tidak semuanya, tentu. Banyak di antara mereka yang tidak berpengetahuan cukup, sekadar ikut arus, malahan dapat menjalani hidup kelam di Kramat Tunggak dengan tenteram. Sebagian lain, karena yakin yang dilakoninya itu pengorbanan untuk orang-orang tersayang, juga dapat dengan tabah melewati hari-hari yang sulit. Namun, tidak sedikit jumlahnya yang didera perasaan berdosa dan dipenuhi kecamuk berbagai pikiran yang saling bertentangan. Mereka inilah yang terancam bahaya gangguan kejiwaan. Terungkap dari satu-dua perempuan yang kelihatan seperti orang bingung. Mereka memakai seluruh perhiasannya, dan menatap dengan mata kosong. . . Satu lagi ririko kesehatan bagi perempuan pelacur.”

Pelacuran adalah ‘profesi’ tertua di muka bumi. Zaman Hindia Belanda saat Nusantara masih dijajah, tempat plesiran menjadi lokasi ‘jajan’ seks. Perempuan-perempuannya berasal dari berbagai negara. Wanita Jepang adalah primadona dan mendapat bayaran tertinggi karena kecantikannya. Penjajah Belanda dan pribumi yang memegang jabatan biasanya memiliki gundik (selingkuhan) dari gadis-gadis desa pribumi. Gadis malang ini dijual/ dipaksa dijual oleh orang tuanya sendiri kemudian tinggal bersama pembelinya dalam satu rumah tertentu.

“Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi, maka supply akan selalu mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, maka lokasi pelacuran pun pindah ke kafe-kafe di jalan besar (Jalan Enggano) yang tak jauh dari Kramat Tunggak. Padahal di sepanjang jalan tadi, kafe-kafe semacam itu tidak (boleh) ada pada masa Kramat Tunggak masih berjaya.
Suplai pekerja seks atau praktik prostitusi mustahil berhenti jika hanya dibendung di hilir dengan merazia para perempuan pekerja seks dan menutup lokalisasi pelacuran tanpa digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan yang menjadi pemasok para perempuan pekerja seks. Selama kemiskinan struktural masih melilit sebagian (besar) warga masyarakat kita, jangan harap suplai PSK akan berkurang.”

Kemiskinan merupakan salah satu masalah pembangunan bangsa. Ukuran pencapaian hasil pembangunan suatu negara adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator IPM yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

“Perempuan Kramat Tunggak banyak yang telah menyadari risiko pekerjaan mereka, yaitu tertular IMS. Sayangnya, IMS pada perempuan sering tidak menimbulkan gejala dan penderita perempuan tidak menyadari bahwa dirinya sakit. . . Biasanya, seorang perempuan curiga dirinya sakit IMS bila ia keputihan, merasa nyeri, panas waktu buang air kecil, atau merasa sakit pada perut bawah. Namun, gejala-gejala seperti itu tidak selalu muncul pada setiap penderita IMS. Kalaupun ada, sangat ringan sehingga tidak dikenali sebagai gejala IMS oleh si sakit. Memang sulit mengenali gejala-gejala tersebut karena perempuan yang bukan pelacur pun sering mengalami keputihan, misalnya sebelum atau sesudah datang bulan (haid), atau karena jamur akibat kebersihan yang kurang terjaga. Sedangkan nyeri perut bawah dapat terjadi pada saat ovulasi (‘bertelur’) yang juga dialami sebulan sekali oleh setiap perempuan usia subur.”

Kesehatan masyarakat melakukan pendekatan dengan cara mencegah infeksi. Salah satunya yang bersumber dari hubungan seksual, IMS.

“Pemeriksaan berkala untuk HIV pada kelompok berisiko tinggi, yaitu perempuan yang bekerja di bar, pelaut, narapidana, dan juga pelacur di DKI Jakarta sudah dimulai tahun 1988, namun baru pada 1993 mulai ditemukan adanya kasus HIV positif di Kramat Tunggak.”

Penyakit menular sangat penting pengaruhnya terhadap beban penyakit global. Tahun 2001, terhitung sebanyak 40% beban penyakit berada di negara berpenghasilan menengah ke bawah. Per tahun, HIV/AIDS membunuh sekitar 1.8 juta manusia, TB 1.7 juta, diare 1.5 juta, dan malaria 1 juta. (Skolnik, 2011)

IMS mempermudah masuknya virus HIV ke dalam tubuh. Dalam penanggulangan penyakit menular seksual, khususnya AIDS di Indonesia, ada tiga pendekatan yang dilakukan. Pertama, supply reduction untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks dilakukan dengan razia PSK dan penutupan lokalisasi pelacuran serta razia terhadap pembuat/pengedar/pengguna narkoba/napza (lewat jarum suntik). Kedua, demand reduction untuk menekan penularan HIV lewat hubungan seks adalah kampanye ‘Jauhi Zinah’ atau ‘Say No to Free Sex’. Di kalangan penyalahgunaan narkoba/napza dengan kampanye ‘Say No to Drugs’. Pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand reduction) belum cukup. Ada pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction) yang melengkapi yaitu pemakaian kondom.
Prinsip penanggulangan  AIDS menggunakan rumus ABc. Abstinence dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum pernikahan. Be Faithful dengan setia melakukan hubungan intim hanya dengan istri. Dan condom, memakai pelindung saat berhubungan badan dengan PS bagi golongan laki-laki yang tetap suka ‘jajan’ seks dengan berbagai kondisi permasalahan hidupnya.
Di luar sana atau bahkan di sekitar kita, banyak laki-laki yang kebutuhan biologisnya berlebih (tidak puas berhubungan intim dengan istrinya/ ingin merasakan ‘daun muda’), tidak punya tempat menyalurkan ‘hajat’ karena istrinya meninggal dan usianya kini tua renta, ingin mencoba pengalaman seks (bagi anak muda) dengan alasan ingin membahagiakan istrinya kelak, dan berbagai alasan lainnya. Tidak hanya masyarakat umum dengan penghasilan pas-pasan, pejabat berseragam pun ada yang hobinya ‘jajan’. Mereka semua mengancam 1,6 juta perempuan yang telah menikah.
Ibu rumah tangga baik-baik dapat tertular dari suaminya yang suka selingkuh/ memiliki masa lalu dengan PS yang terinfeksi. Bayi dapat tertular virus tersebut dari ibunya. Coba bayangkan, ibu dan bayi dengan HIV/AIDS akan dijauhi masyarakat dengan stigma perempuan dan manusia kotor. Padahal mereka tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dalam hidupnya. Maka jangan heran apabila saat ini tren HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga naik.
Harm reduction, pendekatan kesehatan masyarakat dengan menggunakan kondom dalam setiap transaksi seks dapat mengurangi peningkatan HIV/AIDS di Indonesia. Menekan dampak buruk yang terjadi. Di sisi lain, sebagian masyarakat memandang bahwa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan mempromosikan perzinahan dan seks bebas. Bagaimana pendapat Anda? Adakah solusi lain yang lebih baik untuk saat ini?


Pemicu penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa pembeli jasa seks komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK.
(Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH)

Depok, 30 Juli 2015_14 Syawal 1436 H

Pustaka
Sedyaningsih, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Skolnik, Richard. 2011. Global Health 101 (Second Edition). USA: Jones & Bartlett Publishers.

Friday 6 February 2015

Resensi Surat-Surat 1943 - 1983

Resensi
SURAT-SURAT
1943 - 1983
oleh Dewi Erita



Pertama kali mendengar nama H.B. Jassin (Hans Bague Jassin) adalah saat membahas periodesasi sastra di FLP (Forum Lingkar Pena) Bandung. Periodesasi Sastra terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. H.B. Jassin (1917-2000) mengalami sendiri tiga masa itu, mulai dari Pujangga Baru sampai Angkatan ’66.
               
Buku ini berisi 246 surat Jassin yang ditujukan kepada lebih dari seratus orang, baik dalam maupun luar negeri. Beliau menulis dalam kedudukannya sebagai redaktur majalah, editor buku, kritikus sastra, dokumentator sastra, dosen kesusastraan, sahabat, dan kepala rumah tangga.

Sekilas buku ini berisi bacaan “berat”. Apa-apa yang ditulis membuat pusing kepala di beberapa bagian. Namun, meski begitu kata-katanya indah. Rumit tapi indah. Tidak terlalu mengerti tapi nyaman dibaca.

“Kata-kata kesusastraan ialah kata-kata yang indah, kata saya. Indah sebagai kata-kata sepatah-sepatah, ataupun dalam rangkaian, tapi yang mesti, dalam hubungan seluruhnya. Indah adalah soal perasaan, dapat menggetarkan perasaan. Demikianlah mestinya kata dan rangkaian kata di dalam kesusastraan, beda dengan di dalam ilmu pengetahuan. Di situ kata-kata menjalankan pikiran, tapi biasanya tidak menggetarkan rasa. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan disebut hambar oleh orang yang tidak semata-mata bisa hidup dengan pikiran.” (hal. 14)

Di sini penulis mengenal sosok Jassin sebagai seorang yang rajin dan teliti, pandai beberapa bahasa. Lancar membaca buku berbahasa Indonesia dan Belanda, namun buku berbahasa Inggris dan Jerman masih memakai kamus. Tahun-tahun mendatang banyak lagi bahasa dari berbagai negara yang dikuasainya. Suatu kemampuan berbahasa yang luar biasa pada masa itu.
H.B. Jassin adalah seorang kritikus kesusastraan yang sangat hebat. Beliau bersama kawan sastrawan baik dalam maupun luar negeri mengasuh sastra Indonesia sehingga dikenal dunia.

 “Sejak 1940, jadi sudah sembilan tahun yang lalu, perhatian saya terarah pada kesusastraan, khususnya kesusastraan Indonesia, dan selama waktu itu saya mengumpulkan baik-baik buku-buku, majalah, guntingan koran, dan segala apa yang bertalian dengan kesusastraan. Dan saya mempunyai kebiasaan untuk menyimpan segalanya menurut subyeknya dalam map-map untuk memudahkan penggunaannya. Dengan demikian, saya telah mengumpulkan hampir lengkap semua sajak Chairil Anwar, juga naskah-naskah yang ditulis dengan tangan. Map-map itu tambah membengkak setelah saya juga menyimpan buku-buku pengarang. Saya hendak mengusahakan koleksi ini sekomplit mungkin, sehingga terlahir semacam museum kesusastraan.” (hal. 53)

“Selanjutnya untuk jangka waktu 10-15 tahun ke depan ini saya merencanakan untuk mempelajari kebudayaan Barat dan Timur, dimulai dengan kebudayaan orang Yunani kuno dan selanjutnya kebudayaan Romawi sampai Abad Pertengahan, Renaissance sampai ke zaman modern sekarang ini dan sekaligus sejajar dengan itu India kuno dan Tiongkok kuno sampai sekarang, semua itu sebisa-bisanya berdasarkan hasil-hasil kesusastraan dan filsafat dari zaman ke zaman. Sungguh bukan pekerjaan kecil. Sekarang saya baru menerobos Homeros dan Socrates (via Plato), dan beberapa drama Yunani dengan berpedomankan buku Jakob Burkhardt Kulturgeschichte Griechenlands dan sekarang saya sedang membaca jilid ketiga Mahabharata yang terdiri dari sebelas jilid, tiap jilid tebalnya 600-700 halaman. Dan saya rasa tidak akan selesai dalam 15 tahun, kecuali jika saya membatasi diri pada bacaan karya-karya yang paling penting. Mahabharata saya anggap penting untuk menjelajahi seluruh alam pikiran dunia Timur. Mahabharata sekaligus pula merupakan ensiklopedi alam pikiran India. Dan keuntungan akhir daripada studi ini ialah kemungkinan bahwa pada suatu waktu saya akan menulis sejarah kesusastraan dunia di masa depan yang jauh.” (hal. 47-48)

Berinteraksi dengan sastrawan asing terlebih dari Belanda memang sangat tidak nyaman pada awalnya. Namun hal ini disikapinya dengan bijak.

“Apakah sebabnya saya bersikap begitu tertutup terhadap Saudara?—Saya ingin bersih di tengah segala kesibukan politik itu, namun tetap memilih pihak di mana saya harus berdiri. Saudara tahu sendiri bagaimana Saudara di dalam semangat Saudara yang menggebu-gebu barangkali tanpa sadar berkali-kali membuktikan diri berlainan pendapat dengan kami  sebagai putera-putera Indonesia yang sedang berjuang.” (hal. 43)

“Kolonialisme alhamdulillah sekarang sudah mati berkat revolusi kami dan perjuangan kami. Kolonialisme yang barusan kami hancurkan tidak boleh hidup kembali dalam hati kami sendiri terhadap orang lain. Untuk mengusir kolonialisme dalam diri kita sendiri ini, kita saling memerlukan. Inilah tugas humanisme … “ (hal.56)

H.B Jassin adalah sosok pembelajar sejati. Dia bekerja, belajar, dan mengajar dengan hati yang lapang. Bahkan pernah pula beraktifitas di lima tempat sekaligus.

“Saudara lihatlah, semua bisa dikerjakan sekali jalan. Apa yang saya kerjakan untuk disertasi, termasuk tugas saya sebagai pegawai LBB (Lembaga Bahasa dan Budaya), dan bisa pula  dipergunakan untuk kuliah-kuliah yang saya berikan pada Universitas Indonesia. Enak bukan? Ada harapan bahwa saya akan dijadikan lektor penuh pada Fakultas Sastra UI, tapi dalam pada itu diperbantukan pada bagian Kesusastraan LBB sebagai pemimpin bagian seperti sekarang ini. Jadi tidak ke mana juga, tetap di lapangan kesusastraan. Rasanya seperti ikan di dalam air, ke mana pun pergi dunianya juga.” (hal: 138)

“Saya bekerja di lima tempat sekaligus, pertama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak juga mencukupi dan kedua karena memang semuanya pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan saya.” (hal. 247)

Dalam melakukan kritik beliau sangat jujur.

“Mengenai cerita pendek Saudara, ‘Rosita’, yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu perkataan: jelek.” (hal. 97)

Masalah yang beliau hadapi memang banyak. Tetapi, beliau tetap semangat bahkan saat dirumahkan karena diduga terlibat dalam upaya sesuatu yang tidak baik.

“Saya sekarang kerja di rumah saja. Menarik diri dari Fakultas Sastra UI dan berhenti dari LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan), tapi tiap saat dipergunakan. Saya dalam lima bulan ini mengerjakan terjemahan The Spirit of Islam (Api Islam) … “ (hal. 253)

“… dan saya sangat berterima kasih atas teguran Saudara yang merupakan stimulans baru bagi kegiatan dan semangat saya yang kadang-kadang terasa mengendor.” (hal. 242)

Penulis sempat mengira keadaan ekonomi yang buruk dan sistem yang kacau hanya ada di zaman sekarang. Ternyata tidak begitu.

“Nampaknya penerbitan tambah sukar, sebab ongkos cetak naik terus. Penerbit-penerbit terancam bangkrut. Buku-buku yang saya terjemahkan tempo hari dan yang saya perbaiki bahasanya sampai sekarang, belum ada yang terbit. Dan saya sendiri tidak ada ketenangan karena terus menerus dikejar oleh kebutuhan dapur. Untunglah saya masih terus dapat pekerjaan terjemahan dari Kedutaan Belanda yang bisa meringankan sekadarnya beban hidup.” (hal. 264)

“Perhatian orang terhadap majalah Sastra dingin lagi, disebabkan kejadian-kejadian belakangan ini dan terutama karena ongkos cetak yang melambung tidak terbayar lagi. Kita terpaksa bersabar lagi.” (hal. 265) 

“Mengenai hak cipta ‘Gempa’ saya setuju diselesaikan, supaya ada kejernihan hak pengarang. Tapi dengan melalui prosedur gugatan hukum apakah tidak akan berlarut-larut dan banyak makan ongkos saja? Sungguh terlalu banyak hal yang harus diluruskan dalam negara kita yang kacau ini.” (hal. 277)

Masalah dalam urusan rumah tangga juga ada.

“… karena terutama belakangan ini saban hari mendengar keluhan naiknya harga-harga. Pagi ini istri saya menjerit-jerit karena beras sudah naik 400 seliter dan semua harga lain membubung.” (hal. 255)

“Hannibal duduk di kelas III STM dan insya Allah tahun depan dapat masuk ITB, Mastinah duduk di kelas II SMP, tahun ini tidak naik, karena terlalu banyak nonton televisi dan bermain dengan teman-temannya.” (hal. 278)

H.B. Jassin tidak berkutat dengan urusannya sendiri. Saat menjadi pembimbing skripsi, beliau juga mencetak kader-kader sastra karena apa yang beliau cita-citakan butuh waktu dan tenaga profesional yang handal. Tidak mudah melakukan itu semua sekaligus, pasti ada saja orang-orang yang salah paham terhadap tindakan beliau.

“Tentang kebesaran dan kediktatoran yang Saudara sebut-sebut, apakah yang harus saya jawab? Saya tidak pernah merasa “besar” dan ingin jadi diktator; itu hanya orang lain saja yang menganggap. Saya bicara dan muncul di depan umum saja tidak berani, karena merasa tidak punya kemampuan dan apa yang telah saya berikan sungguh belum berarti apa-apa. Karena itulah saya membentuk kader-kader yang saya harap akan bisa melaksanakan apa yang saya inginkan lebih baik dan lebih sempurna. Sikap seorang diktator tidak memungkinkan diktator-diktator lain di sampingnya. Sebab kalau demikian, dia bukan diktator lagi. Saya bukan diktator dan tidak ingin menciptakan diktator-diktator. Saya inginkan pribadi-pribadi yang berperikemanusiaan. Bahwa Saudara melihat apa yang Saudara sebut diktator-diktator, saya tidak merasa bertanggung jawab telah menciptakannya.” (hal. 237)  

Surat-Surat 1943-1983 karya H.B. Jassin menggambarkan seorang manusia yang hebat dan apa adanya. Membaca buku ini sempat membuat hati merasa ciut. Dengan sesuatu yang secukupnya mampu menciptakan hal yang luar biasa. Ketekunan adalah pupuk beliau. Ada rasa bangga di hati. Kita, bangsa Indonesia, pernah memiliki sosok yang begitu berharga.

“Barusan saya terima kabar baik: Prins Bernhard Fonds telah menetapkan H.B. Jassin sebagai pemenang Hadiah Martinus Nijhoff untuk tahun 1973, buat terjemahan Max Havelaar karangan Multatuli. Pemenang yang lain ialah Peter Verstegen. Upacara penyerahan hadiah akan diadakan di Balai Kota Den Haag tanggal 26 Januari 1973. Besarnya hadiah  5000 gulden, tapi yang lebih penting bagi saya ialah kehormatan bagi negeri kita….

Hadiah Martinus Nijhoff diberikan oleh Prins Bernhard Fonds sejak tahun 1955 untuk terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya.” (hal.339)

Bagaimana beliau menjadi sosok yang begitu berprestasi?

“Kita memang harus memaksa diri untuk mengadakan waktu buat sesuatu yang kreatif, kalau tidak kita tidak akan pernah bikin apa-apa. Tempat di mana kita berada sebenarnya tidak penting. Yang perlu ialah self discipline.” (hal. 291)

Siapa yang akan meneruskan jejak pendahulu-pendahulu kita?

Kitakah?



Depok, 6 Februari 2015_17 Rabiul Akhir 1436 H


Pustaka
Jassin, H.B. 1984. Surat-Surat 1943 – 1983. Jakarta: PT Gramedia