Saturday 27 October 2012

RESENSI: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma


Resensi: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Oleh Dewi Erita


Sastra tidak dibawa malaikat dari langit.
Sastra tidak datang begitu saja.
Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial-budaya zamannya.
Maka, membaca karya sastra pada hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu.
Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga.
(Maman S. Mahayana)

Mengikuti jalannya Kamisan FLP Bandung pada tanggal 18 Oktober 2012 yang membahas cerpen “Ave Maria”, salah satu karya Idrus dalam buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” yang dijelaskan oleh Imas Saripah, membuat penulis tertarik untuk membaca seluruh cerita.

          Kumpulan karya Idrus dalam buku ini terdiri dari periode zaman Jepang dan sesudah 17 Agustus 1945 serta periode antara dalam bab Corat-Coret di Bawah Tanah.


Zaman Jepang
Cerpen “Ave Maria” dan Drama “Kejahatan Membalas Dendam” bercerita tentang kisah percintaan. Meskipun begitu, nuansa perjuangan sangat kental dan menjadi dasar adanya alur cerita. Ave Maria berkisah tentang Zulbahri, seorang suami yang baru beberapa bulan menikah, namun mengalami kegellisahan tentang masa depan rumah tangganya. Sumber keretakan itu datang. Zulbahri yang sadar bahwa dari awal dia adalah perebut kekasih orang, merelakan istrinya bersama pasangan masa lalunya. Setelah menghilangkan diri, Zulbahri menjadi kacau pikirannya. Yang menarik dari cerita ini adalah sejak dia membaca cerpen dalam berbagai majalah, kondisi pikiran dan jiwanya menjadi baik. Dia juga sadar bahwa selama ini hanya mementingkan diri sendiri. Akhirnya, untuk membaya kesalahan masa lalu dia bergabung dengan kelompok pembela tanah air.

Demikianlah hendaknya semangat pengarang Indonesia semua. Tidak ada kertas, tulis dimana saja. Jangan pikiran terbelenggu oleh yang kecil-kecil. (Asmadiputera)

Kejahatan Membalas Dendam memiliki kerangka percintaan, padat akan perjuangan, dan lengkap dengan variasi kejiwaan tokoh. Ishak, seorang pengarang, mengisi hari-harinya dengan menulis. Dia berusaha mengubah pola pikir masyarakat agar mereka sadar bahwa kebebasan tanah air harus diperjuangkan. Konflik timbul saat sahabat baiknya berusaha menghancurkan hidupnya.  Dalam kondisi yang serba sulit, Ishak tetap konsisten menulis dan menghasilkan karya yang luar biasa.

Lebih baik menulis kebenaran satu halaman dalam sebulan daripada membohong berpuluh halaman dalam sehari. (Ishak)


Corat-Coret di Bawah Tanah
                Kumpulan cerpen dalam bab ini benar-benar memilukan. Kita diajak melihat gambaran masa itu, saat nenek moyang kita diperlakukan seperti binatang. Disiksa, dipukul, dihilangkan anggota badannya, bahkan nyawanya. Kejahatan seksual mudah sekali dilakukan seperti membeli makan siang di warung makan, bersama siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Makanan juga sulit sekali didapat, layaknya membeli emas. Hal-hal menonjol lainnya yaitu: 

1.       Pengkastaan manusia
Nippon (orang Jepang), Belanda, Belanda Indo, dan Tionghoa menduduki kasta atas dan penduduk asli adalah kasta bawah. Orang Indonesia diperlakukan seperti budak, kecuali orang-orang yang memiliki jabatan dan uang. Rasa kemanusiaan pun hampir tidak ada.
Seorang anak muda melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya lambat-lambat, “Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakannya saja, seperti binatang saja diperlakukannya.” (hal. 77)

2.       Kondisi Pangan
Makanan seperti batu mulia, hanya orang-orang kaya saja yang mendapatkannya. Sisanya makan makanan sisa orang, makanan hewan, bangkai ayam, atau bangkai orang. Parahnya, ada juga yang melakukan onani sebagai pengganti makanan.
Mereka mengemis meminta sisa makanan orang. Akan tetapi, mereka tidak saja memakan makanan orang, juga makanan anjing sudah sedap pula  oleh mereka. (hal. 82)
Jika ada bangkai ayam atau bangkai orang hanyut, tergesa-gesa ia turun ke kali itu, diangkatnya bangkai ke tepian dan … dimakannya. (hal. 83)
Mereka semua pucat. Mereka melakukan onani … untuk menghilangkan lapar. (hal. 83)

3.       Kondisi wanita
Sulitnya mencari uang dan makanan membuat rakyat liar. Apapun mereka lakukan demi menyambung hidup. Pelacuran menjadi pekerjaan yang paling menjanjikan.
“Beribu-ribu anak-anak gadis melamarkan diri untuk menjadi perempuan jalang. Mereka ini mencari uang, uang … untuk pembeli beras, buat sanak saudara. (Hal. 83)

4.       Kondisi transportasi
Trem adalah angkutan umum masa itu. Jumlahnya sedikit sehingga penumpang harus rela berdesakan, keadaannya sangat kotor dan bau.
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing, dan ayam. Hari panas, orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam Trem susah bernapas, tetapi orang merokok juga. (hal. 76)

5.       Keluguan orang Indonesia
Orang Indonesia sedikit yang bersekolah, itupun hanya sampai tingkat dasar. Ini yang menjadi akar dari masalah-masalah kecil berefek besar. Misalnya dalam keadaan serba sulit, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa pertimbangan termasuk judi yang berakibat pada kematiannya sendiri. Ada juga yang salah mengajukan pertanyaan, akhirnya dipenjara. Yang mengenaskan adalah seseorang yang rajin bekerja, namun karena tidak mengerti arti dari suatu jabatan, tewas pula.
Sebagai terpaku duduk seorang-orang Indonesia, kurus seperti tonggak telepon, menghadapi meja rolet. . . . Yang diketahuinya hanya bahwa ia harus meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa helai uang kertas. Begitu berturut-turut . . . Beberapa hari sudah itu terdengar kabar angin, di kampung anu, si anu telah menggantung diri, karena … kalah rolet. (Hal. 88-89)
Hanya radio umum yang selalu bicara kepadanya, tentang pecah sebagai ratna, pengangkatan sanyo. Tidak ada yang dapat dimengerti oleh Kadir, seakan-akan radio umum itu orang asing baginya . . . “Dari sekarang aku mesti mengetahui arti sanyo. Dipertakutnya saja aku dengan perkaraan itu. Siapa tahu sanyo itu orang biasa saja. Tukang catut misalnya.” . . . “Yang hendak saya tanyakan ini, Tuan. Apa sanyo itu tukang catut?” Laki-laki itu terkejut dan marah katanya, “Apa katamu? Engkau jangan menghina Dai Nippon, ya. Engkau tahu siapa ini? Mata-mata ini. Ayo mari ke kantor polisi. Jahanam.” (hal. 90-93)
“ . . . Kau kira aku suka engkau jadi Heiho? Sehelai rambut pun aku tidak rela. Jika engkau mati, siapa yang akan mengembalikan engkau kepadaku, Nippon?” Kartono terkejut mendengar perkataan Miarti itu. Sangkanya Miarti akan bergirang hati betul. Bingung jawabnya, “Kan aku hendak membela tanah air.” “Tanah air? Mana tanah airmu? Engkau tahu apa arti Heiho? Kalau dalam rumah tangga Heiho itu dinamakan jongos, tolol!” Pukul 8 malam Kartono sudah ada di asrama dan 8 bulan sudah ia meninggal dunia di Birma. (hal. 108-109)

6.       Egoisme tinggi
Padi rakyat panen tiap tahun, tapi seluruhnya diangkut ke Jepang. Penduduk hanya diberi seperlima liter per keluarga, bahkan kurang dari itu.
Dengan lemah lembut ia berkata, “Nyonya Sastra, seperlima liter kan tidak sampai. Dari mana dicari tambahnya? Suami saya tidak dapat bekerja lagi” . . . “Tolonglah saya , Nyonya. Anak saya dua sedang kuat makan.” Semua anggota merasa kasihan. Dengan tegas Nyonya Sastra berkata, “Nyonya Salim, saya tidak dapat menolong. Sudah ditetapkan begitu.” (hal. 96)

7.       Korupsi
Inilah sifat negatif yang terus berkembang, berlanjut ke masa reformasi.
“Karcis-karcis,” kata kondektur. Semua orang mengeluarkan uangnya. Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?” Seorang daripada mereka berkata, “Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.” Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya, dimasukkannya kedalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis, ya.” (hal. 101)



Sesudah 17 Agustus 1945
Cerpen  Kisah Sebuah Celana Pendek dan Surabaya memberikan poin menarik:
1.       Hal yang paling melekat saat terjadi pendudukan Surabaya adalah semangat persatuan dan keinginan untuk merdeka. Keyakinan bahwa Allah merupakan sebab mereka berjuang begitu dalam. Idrus menawarkan sisi lain.
Kemenangan berturut-turut memabukkan manusia. Orang-orang bertambah percaya kepada Tuhan baru dan meninggalkan Tuhan lama sama sekali. Karabin dan revolver dicintai seperti gadis-gadis molek jelita, dibelai-belai, dicium, dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. (hal. 119)
Orang-orang dalam mabuk kemenangan . . . Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. (hal. 116)

2.       Pemuda-pemuda seluruhnya turun ke medan juang, turut membela tanah air. Harga kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa. Mereka lebih baik mati saat melawan daripada hidup tapi terjajah. Namun, tidak semua pemuda memiliki rasa itu. Dimanapun pasti ada yang melenceng. Kalaupun ada yang berjuang, mereka menyombongkan diri karenanya. Dan yang paling memalukan, prajurit melakukan pelecehan.
“ . . . Pemuda lain menyabung nyawanya. Engkau melarikan diri seperti perempuan.” (hal. 122)
Amat, seorang pemuda yang dapat meloloskan diri dari penjagaan prajurit, membual dimana-mana. (hal. 126)
Di stasiun-stasiun dekat medan pertempuran semua penumpang kereta api harus turun . . . Laki-laki dan perempuan seperti Adam dan Siti Hawa . . . Mula-mula yang memeriksa orang-orang perempuan, pemuda-pemuda. Mereka meraba-raba badan perempuan itu. (hal. 127)

3.       Gegap gempita perang melahirkan kekuatan luar biasa dari pejuang. Semua orang bergerak. Namun, ada yang lebih memilih mementingkan pekerjaan dan kesejahteraan keluarganya, susah senang ditanggung sendiri. Rasa empati dengan memberi tempat perlindungan, makanan, dan pertolongan yang layak terhadap pelarian diabaikan.
“Pak Kusno buta politik. Ia tidak tahu, betapa besarnya arti penyerangan itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anaknya sudah tidak mempunyai celana lagi yang pantas dipakai. (hal. 112)
“Bersihkanlah sendiri kamar itu. Tempat tidur tidak ada. Kami miskin. Jangan harapkan apa-apa dari kami. Besok carilah pekerjaan.” (hal. 124)

4.       Kacaunya keadaan saat itu sangat dahsyat. Perasaan kehilangan membuat jiwa tertekan. Mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda. Gangguan kejiwaan terlihat saat pelarian. Seorang perempuan tua menjadi gila. (hal. 120)

5.       Analogi cerita perang disusun secara sederhana menjadi suatu gambaran yang ada pada masa kini.
Koboi-koboi tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak, ambillah jiwa kami! Pada waktu berteriak itu mereka menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi. (hal. 118)

Cerpen terakhir masa ini berjudul Jalan Lain ke Roma, bercerita tentang seorang laki-laki yang mengawali karirnya menjadi guru Sekolah Rakyat. Konflik yang terjadi membuatnya dikeluarkan dari pekerjaannya. Perjalanan menjadi mualim dilalui. Setelah itu menjadi pengarang. Terakhir menjadi seorang penjahit. Semua peran itu dilakukan untuk merealisasikan nasihat ibunya bahwa dia harus menjadi orang yang berterus terang. Kisah pahit selama hidup membuatnya makin menyadari arti sesungguhnya dari terus terang dalam segala hal. Kebijaksanaan ini membawanya menuju kebahagiaan sejati, mencintai dan dicintai keluarga.

Jika ilmu sejarah kini menuntut perubahan sudut pandang dalam penulisan sejarah, yakni bukan sekadar memeriksa kejadian-kejadian penting tentang para pemimpin, melainkan segala sesuatu, betapapun tidak pentingnya, yang mampu mengungkapkan kembali gambaran aktual pada masa lalu, seperti kehidupan sehari-hari rakyat, maka buku ini adalah jawabannya.
(Seno Gumira Ajidarma)


Idrus. 2010. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka

Bantul, 27 Oktober 2012 _ 11 Dzulhijjah 1433 H

Thursday 25 October 2012

Cerita Pendek: Kutukan PNS


Cerpen: Kutukan PNS
Oleh Dewi Erita


                Aku tidak tahu bagaimana asal mula kejadiannya. Di balik ingatan yang samar-samar dalam kondisi setengah mimpi setengah sadar,

 “Sidang kasus penyalahgunaan peluang, dibuka.”
Tok . . . tok . . . tok . . .

Suasana hening, aku duduk di tengah ruangan. Di depan duduk seorang laki-laki setengah baya memakai baju yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Di sebelah kiri, ada beberapa orang laki – laki dan perempuan, mereka juga memakai baju yang terlalu besar.

“Mas Jaksa, dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan”
Seorang laki-laki berdasi mendekat ke tengah ruangan.
“Terima kasih, Mas Hakim.”
Laki – laki yang disebut Mas Jaksa itu melihat kertas yang dibawanya sekilas.

“Mbak Saudari didakwa karena melanggar pasal sekian yang berisi penyalahgunaan peluang sebagai bidan. Bukti yang kami terima adalah rekaman percakapan saudari dengan keluarga yang intinya adalah penolakan saudari untuk menjadi PNS atau PTT. Apakah saudari mengakuinya?”

Entah kenapa aku tidak bisa menggunakan pita suara, mungkin sudah menjadi aturan persidangan bahwa terdakwa tidak boleh menjawab dengan mulut. Aku menggeleng. Terdengar suara ribut-ribut dibelakang, masing-masing mengeluarkan suaranya.

Tok . . . tok . . . tok . . .
“Hadirin harap tenang,” Mas Hakim menenangkan peserta yang hadir.
Suara ribut berhenti.

“Banyak orang berharap ingin menjadi PNS, kehidupan terjamin, dapat gaji tiap bulan, dan kerjanya enak. Bila Mbak ditempatkan di rumah sakit atau puskesmas dengan tempat tidur (PKM DTP), maka pembagian kerjanya teratur, ada shift pagi, siang, malam dan libur. Mbak juga dapat cuti tahunan, cuti menikah, dan cuti melahirkan 3 bulan tanpa potong gaji. Ada juga yang dapat bingkisan lebaran. Atau kalo Mbak di puskesmas tanpa tempat tidur (PKM non DTP), pergi pagi pulang siang jam 12.00, terus libur hari Minggu dan hari libur nasional. Benar – benar terjamin, Mbak. Apalagi nanti . . . “

Ceramah Mas Jaksa terus berlangsung selama beberapa jam.

“ . . . Nah, jadi begitu, Mas harap Mbak mau merubah pikiran agar semua tuntutan dapat ditarik dan  langsung dibebaskan. Bidan, perawat, dokter, analis, ahli gizi, dan ahli kesehatan lingkungan memang ditakdirkan untuk menjadi PNS atau PTT. Dengan begitu . . . “

Ceramah itu terus berlanjut, isinya adalah pengulangan kata-kata yang intinya seperti kata-kata diawal. Benar – benar membosankan.

“ . . . Coba lihat teman-temanmu, sudah diterima PNS dan PTT di RSHS, RSKIA Astar, RSUD Uber, PKM berbagai kota . . .”

Aku sempat ketiduran saking lelahnya mendengarkan ceramah. Pertanyaan penghabisan membuatku terjaga.

“Apakah saudara ingin menjadi PNS?”
Aku terdiam. Hadirin yang menyaksikan sidang dibelakangku tahan nafas. Suasana hening mencekam. Aku menggeleng lagi. Peserta dibelakangku ribut lagi. Kali lebih berisik dan keras sehingga beberapa kata tertangkap telingaku.

“Sayang ih . . .”
“Aneh . . .”
“Bodoh  . . .”

Tok . . . tok . . . tok
Suara palu Mas Hakim mendiamkan mulut mereka.

“Mas Hakim yang terhormat, saya kira Mbak Saudari mengalami gangguan jiwa. Jadi sebaiknya terdakwa direhabilitasi. Sekian”, Mas Jaksa mundur dan menghilang dari tengah ruangan

“Dengan mengingat, menimbang, memperhatikan, Saya putuskan Mbak Saudari di rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Kehidupan.”

Tok . . . tok . . . tok . . .
Ruang sidang tiba-tiba berputar.  Lingkaran-lingkaran itu membuatku pusing, sakit kepala, dan mual.

Aku tiba disuatu kamar berukuran kecil. Terdapat tempat tidur, lemari, meja, dan kamar mandi di sudut ruangan. Saat keluar kamar kulihat pintu-pintu berjejer, di lantai atas juga sama. Ini tempat kos. Masuk ke kamar aku menemukan beberapa amplop coklat, di dalamnya terdapat ijazah, transkip nilai, SIB, pas foto dan KTP.

Aku pergi ke alamat yang tertera di amplop. Daerah itu asing sehingga aku harus berputar-putar mencari tempat tujuan. Perut lapar dan tidak ada uang untuk membeli makanan. Seharian itu berpanas-panas, mandi keringat. Beberapa surat sudah kumasukkan. Sampai di tempat kos menjelang malam. Di meja terdapat makanan, aneh, karena lapar langsung kulahap. Besoknya sama, berpanas-panas, mandi keringat, lapar, dan haus. Kupaksakan mencari tempat – tempat yang tersisa. Sore hari, badan sudah lemas, tidak dapat digerakkan lagi. Tiba-tiba sekelilingku berputar. Pusing, sakit kepala, dan mual terasa. 

Sampai di tempat lain. Kali ini tempat kos agak lebih besar dan terkesan mewah. Hanya lima kamar. Sama seperti tadi. Di meja sudah tergeletak beberapa arsip lamaran. Aku pergi mencari tempat-tempat tujuan. Daerah itu pun baru pertama kali kulihat. Panas, lapar, lelah seolah selalu ada dalam setiap perjalanan. Malam hari, makanan tiba – tiba ada lagi. Besok dan besoknya sama. Dengan kelelahan yang sama pula. Berputar lagi.

Sekarang di sebuah desa, banyak sawah, toko - toko masih sedikit dan pendudukpun jarang terlihat. Menurut teman kos, penduduk daerah ini akan ramai bila lebaran tiba. Di kamar, seperti biasa ada surat lamaran. Kali ini aku tidak memasukkan ke tempat tujuan. Padahal dekat jaraknya. Panas tempat itu membuatku tidak betah bila harus tinggal menetap. Sambil memanfaatkan waktu, aku bermaksud berkeliling daerah asing itu. Tempat kos menyediakan sepeda. Jok sepeda yang tinggi, melebihi batas duduk, membuatku ragu.

“Gimana, bisa?”, anak laki-laki berumur SMP mengujiku
“Ehm, ini ketinggian joknya, jadi nggak bisa.”
Anak itu langsung ke dalam dan berteriak,
“Woi, temen-temen, masa orang kota nggak bisa naik sepeda, piye to
Mereka semua tertawa. Aku merasa diremehkan. Sebagai perwakilan orang kota, naluriku berkata bahwa aku harus belajar menguasai sepeda tinggi.
“Mbak, kalo disini, anak yang masih SD sudah lancar pakai sepeda tinggi”, sambung anak laki-laki itu
“Oh, ya sudah, saya pakai dulu sepedanya.”

Ku bawa ke jalan yang sepi. Berlatih cara naik dan berhenti dengan jok yang tinggi. Beberapa menit, aku bisa. Akhirnya, berhasil membuktikan bahwa orang kota juga bisa naik sepeda tinggi. Berpusing lagi.

Aku sampai di tempat kos lain. Kamar ini berisi lima orang. Ada dua kasur di ranjang bertingkat dan dua matras dibawahnya. Masih sama, ada beberapa surat lamaran di atas meja. Dalam beberapa hari, sudah kukirim ke tempat tujuan. Tempat kos ini cukup besar dengan penghuni yang banyak pula. Dari mulai anak kecil sampai pasangan suami istri dan anaknya juga ber-kos ditempat ini. Aku senang disini, banyak teman. Kemudian tempat itu berpusing lagi dengan sensasi yang sama. Pusing, sakit kepala dan mual. Kemana lagi?

Rasanya kulit ini sudah menebal, tidak merasa lelah dan sakit lagi. Air di bola mata, entah pergi kemana. Tapi, jantung ini masih mau berdetak. Otak pun masih bisa bekerja normal meskipun terdapat kerusakan dibeberapa tempat. Memori yang tersisa muncul berupa kelebatan-kelebatan dan suara di ingatanku.   Mungkin benar, aku terkena gangguan jiwa. Sampai kapan ini berakhir?

Bantul, 25 Oktober 2012 _ 9 Dzulhijjah 1433 H

Monday 8 October 2012

Langkah Pertama


Esai: Menjadi Orang Baik di Sarang Kehidupan
Oleh Dewi Erita


“Iman seorang mukmin
tampak kala ia dihadapkan pada beratnya ujian
saat total berdoa
tapi belum melihat pengaruh apapun dari doanya
Ketika ia tetap tidak mengubah harapannya
walau sebab untuk putus asa semakin kuat
semua itu ia lakukan
karena yakin bahwa Allah Maha Tahu
apa yang terbaik baginya”
(Ibnul Jauzi)

Tahu,
berapa beratnya 47 kata tersebut
Satu ons?
Setengah ons mungkin?

Maaf,
tanganku tidak sanggup menimbangnya
Bahkan alat pengukurnya pun aku tak tahu

Karena,
Menggigil tanganku saat menyentuhnya
Sesak nafasku dibuatnya
Bahkan jiwaku dilumat habis olehnya

                Apapun beban yang menghimpit jiwa dan raga pasti ada akhirnya. Perjuangan seorang mahasiswa yang belum lulus di semester delapan, akhirnya wisuda di semester empat belas, setelah melewati tiga tahun yang melelahkan. Penantian seorang lajang yang ingin menikah di usia 25 tahun, akhirnya menikah di usia 35 tahun, setelah bertahan menahan jutaan pertanyaan selama sepuluh tahun.  

“Akhirnya, wisuda juga . . . “
“Akhirnya, menikah juga . . .”
“Akhirnya, . . .“

Yah, semua pasti ada akhirnya. Dan satu hal yang pasti ada akhirnya adalah kehidupan kita. Semua pasti mengalaminya. Dan sebelum kematian, ada proses sakaratul maut sebagai pembuka. Proses yang menyakitkan, pemisahan jiwa dari raga.

Inginkah proses itu diringankan?

Yah, pasti. Semua orang memilih sakaratul maut yang ringan. Itulah kesuksesan yang sebenarnya. Sejatinya, orang kaya atau miskin, berpangkat atau tidak, darah biru atau merah, sama saja. Sebelum mengalami kematian, maka belum ada kata sukses. Sukses adalah saat seseorang sudah meninggal dunia dengan khusnul khatimah.

Jadi, siapa orang yang sakaratul mautnya diringankan?
Dia adalah ORANG BAIK. Orang baik bisa siapa saja, tanpa memandang harta kekayaan, jabatan, atau keturunan.

Bagaimana ORANG BAIK menjalani sakaratul mautnya?
Dia akan TENANG, IKHLAS, dan INGAT ALLAH.

“. . . dan wafatkan kami bersama ORANG-ORANG YANG BAIK.” (Ali Imran: 193)

Apa ciri-ciri ORANG BAIK (Al Abraar – Al Birru)?
BAIK AKHLAKNYA (Husnul Khulq)
maksudnya,
BAIK HUBUNGANNYA (Husnul Ittishaam)
Hubungan dengan Allah (billahi), dengan sesama (bil ghairi), dan dengan diri sendiri (binnafsi).

Hubungan baik dengan Allah
BIDZDZIKRI – Hati yang berdzikir, hati yang selalu ingat Allah

Caranya,
Awali dari BAIKNYA PIKIRAN
***

Pikiran baik
Saat apa yang kita harapkan belum tercapai
Pikiran baik
Saat kesulitan-kesulitan terus datang
Pikiran baik
Saat semua yang kau lakukan seolah sia-sia
Pikiran baik
Saat kemanapun melangkah, tak ada yang menerimamu
Pikiran baik
Saat setiap udara yang kau hirup hanya menghasilkan kegelisahan tanpa henti, terus menerus
Pikiran baik
Saat hidup seolah tak ada artinya lagi
Pikiran baik
Ketika mati menjadi harapan terakhir dalam hidupmu

Pikiran baik
Pikir baik
Baik
Ba-ik

Pikiran baik
Yakin akan DETAIL dan TELITI-nya pengawasan Allah
Pikiran baik
Ilmu dan pengetahuan Allah lebih luas darimu
Pikiran baik
Allah Maha Mengetahui segala yang tersimpan di dalam hati
Pikiran baik
Allah sayang padamu

Pikiran baik
Pikiran baik
Pikiran baik
***

Rela dengan sedikitnya “dunia”
Ridho dengan apa yang kau dapatkan saat ini
Tidak merasa bahwa nikmat yang ada sebagai nikmat yang sedikit
Dengan syarat, mencari dengan usaha terbaik

Memilih sikap yang disukai Allah,
Bersyukur atas musibah
Bersabar atas nikmat

Hubungan baik dengan sesama,
IKHLAS - Hati yang ikhlas

Caranya,
Hati yang selalu lapang kepada siapapun
Tidak berpikir apapun kepada siapapun
Kecuali berpikir baik  

Memaafkan siapapun yang menyakiti kita
Mendoakan agar selamanya dalam kebaikan
Merelakan hak kita untuk orang lain
Mengambil alih beban sesama
Membalas kejahatan dengan kebaikan
***

Hubungan baik dengan diri sendiri,
TENANG

Caranya,
Bil Zuhdi  - Tidak membebani diri dengan cinta terhadap dunia
Memandang dunia bukan sebagai tujuan, tapi jalan menuju akhirat
Apapun harus bernilai akhirat dengan bir-raghib

Zahidun fid-dunya
Raghibun fil-akhirat
Memandang urusan dunia sebagai urusan yang BIASA & urusan akhirat sebagai urusan yang LUAR BIASA

Bantul, 8 Oktober 2012
(Kutipan materi,
Jelajah hati: Hati yang selalu terjaga kesuciannya
Ust. Syatori Abdurrouf – 6 Oktober 2012 – Masjid Mardliyyah UGM Yogyakarta)