Monday 3 June 2013

Membaca Gay dalam Karya Sastra



Membaca Gay dalam Karya Sastra
Oleh Dewi Erita



melihat di balik sesuatu
mendengar yang tak terucap
menilai dari sisi yang tak selalu linear
(Salim A. Fillah)

                Sebuah pengakuan membuat jiwa lebih sehat, hati cenderung tenang, dan setengah solusi didapat. Pernyataan yang terngiang-ngiang dalam benak. Sering disinggung dalam berbagai talk show baik panggung maupun radio Mqfm Bandung. Namun, apa yang menempel dalam otak tidak seindah realita lapangan. Maksudnya?

Ibu, dengarkan baik-baik, ya ibu,
Anakmu laki-laki ini seorang homoseks.
Aku seorang homoseks, Ibu!
Sudah kulawan naluriku selama ini
Tapi tak mampu aku!
Aku tetap seorang homoseks!
Maafkanlah aku, Ibu.

Atau yang ini,

I’m a gay.”
“Cemooh gue, Zain. Bilang ke orang-orang. Gue nggak normal. Gue hombreng!”

Kalimat pengakuan yang mampu meluluhlantakkan ekspresi orang yang mendengarnya. Bahkan, sebagian besar masyarakat merasa jijik terhadap tipe orang seperti itu. Buktinya?

Pernah, ketika Amir iseng bertanya
Kepada guru mengaji
Tentang cinta yang tumbuh
Di antara dua orang laki-laki.

Sang Guru langsung berkobar,
Itu terkutuk, neraka, laknat,
Sampah yang dikucilkan masyarakat!
Disemprotkannya segala sumpah-serapah.

Kata seorang wartawan:
“Mereka itu perusak. …”
“Penjahat kelamin yang menyebarkan virus penyimpangan seks, …”

Dengan reaksi yang begitu dahsyat dari kebanyakan orang, bagaimana mereka menjalani hari-harinya?
Rasa iba melecutnya –
Tangis tanpa suara
Membentur langit-langit
Berantakan jiwanya.

Enam bulan sudah ia berumah tangga
Tanpa gairah, tanpa bahagia.
Ketika ibunya dulu ketika sakit parah
Ia telah menyerah untuk menikah.

Dicobanya segala cara,
Ditempuhnya segala jalan,
Tetapi segalanya sia-sia.
Hidupnya bertambah celaka.

                Ini memusingkan. Very… very memusingkan. Bas pun gelagapan menganalisa kehendak hatinya. Dari mana dan mau ke mana?
                Sekarang Bas meletakkan dagunya di pagar balkon, wajahnya berkerut, seperti menahan sakit. Matanya meleleh. Bukan bola mata, tapi cairan bening dari sudut-sudutnya.
                Tidak ada yang harus dibela. Perasaan ini sampah, dan harus enyah.
                Semakin merah dua mata bas. Tubuhnya loyo terduduk di kursi plastik yang ada di balkon kost itu. Segera terulang di otak Bas perjalanan usianya yang morat marit. Jatuh, bangun, dan jatuh.

Hari-hari yang melelahkan tentunya. Terus berjuang melawan rasa suka yang bukan pada tempatnya. Mereka berusaha untuk normal, berjuang untuk normal, bertahan untuk menjadi normal. Semua perlawanan jiwa itu bukan hal yang gampang, sungguh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Benarkah?

Amir tak pernah menyerah menjalankan ajaran agama.
Dicarinya Sarinah.
Ia hidup-hidupkan nyala api cintanya
Ia sangat ingin mencintai wanita.

Sarinah perempuan cerdas,
Gelagat itu semakin jelas ditangkapnya:
Amir ternyata hanya bisa ceria
Kalau Bambang ada di sampingnya.

Demikianlah maka hubungan
Antara Amir dan Sarinah semakin hambar;
Sarinah merasa tak nyaman
Akhirnya pergi juga meninggalkannya.

Amir berusaha menjadi laki-laki
Bagi Sarinah,
Tapi sia-sia:
Hatinya tak bisa direkayasa.

                Lihatlah, sekarang Bas tergugu bukan main. Jiwanya koyak habis-habisan. Isaknya kian bersuara. Dulu, dia beranggapan semua telah selesai. Ketika dengan dada membusung dia meninggalkan Lampung dan lelaki yang namanya terlupa itu. Semangat menggebu untuk menjadi pribadi baru. Pribadi laki-laki. Tadinya, semua berjalan lancar. Segar dan menyenangkan. Lingkungan kost Matahari juga membantunya lahir kembali. Terutama Zain yang tak berhenti menyemangatinya untuk terus belajar segala sesuatu. Tapi semua ketenangan itu buyar ketika Bhumi datang.
                Harusnya menyenangkan, tapi justru memusingkan. Bhumi pribadi yang mengasyikkan. Kecuali profesinya sebagai wartawan yang tentu punya banyak cerita, pribadinya betul-betul mengasyikkan. Bicara apa saja nyambung, main gitar jago, suara merdu. Betul-betul mengasyikkan. Tapi kenapa justru kemudian Bas merasa kepalanya berdenyut-denyut?
                Sebab rasa yang muncul dari dasar otaknya tak sekadar rasa senang punya sahabat hebat. Ada yang menggeliat. Entah apa namanya. Hanya Bas kemudian merasa setiap hal yang membuatnya teringat Bhumi sanggup membuat dadanya berdebur. Tak bertemu beberapa hari memaksa gelisah.
                Dia butuh beberapa detik untuk betul-betul tenang dan bicara wajar, setiap berhadapan dengan bumi. Setiap hari seperti itu tentu saja amat menyiksa. Dan sekarang hampir lima tahun dia menekan rasa. Bersikap seolah tidak ada apa-apa.

                Sebuah benteng pertahanan yang tidak semua kaum gay mampu membangun dan mempertahankannya. Jangankan membangun, ada pula yang justru memelihara rasa itu dan mengabadikannya. Oh ya?

Sudah sebulan Amir mencari Bambang,
Aneka tempat sudah ia kunjungi.
Simpang-siur terdengar Bambang tak lagi di Indonesia.
Terdengar kabar angin Bambang kini aktivis gay internasional.

Akhirnya kabar pasti soal Bambang ia terima.
Bambang kini menetap di San Francisco
Menjadi warga negara Amerika Serikat,
Menikah resmi dengan sesama jenis asal Los Angeles – di gereja sana.

                Manusia itu unik. Mereka selalu memilih sikap yang menurutnya baik dan benar berdasar ilmu dan pengalaman yang mereka dapat selama ini. Lalu apa alasannya mereka memilih menjadi gay sempurna?

Ujar Leo, menjadi homoseks bisa sejak bayi
Itu akibat kelainan genetis sejak lahir.
Kondisi ini tidak diminta oleh mereka.
Menjadi gay tak bisa disalahkan secara moral

Alex bilang, menjadi homoseks bukan kejahatan;
Dulu wanita dan kulit hitam juga warga kelas dua,
Tapi kini mereka setara
Karena mereka berjuang.

Tengok di negeri Paman Sam, kata Roi berapi-api,
Dulu kaum gay dikucilkan
Kini, di militer kaum gay
Tidak dianggap persoalan.

Di negeri itu, beberapa negara bagian
Telah mensahkan pernikahan homoseks.
Presiden Obama pun membela mereka
Resmi di sebuah jamuan makan malam.

Martin meyakinkan, Mustahil berjuang
Jika tak bangga dengan jati diri kita selaku kaum gay;
Tanpa perjuangan itu, di Indonesia
Kaum gay selalu dituding sebagai penyimpangan!

Hendro pun menyambung, Langkah pertama,
Mulailah terbuka kepada dunia luar bahwa kita gay.
Yakinkan bahwa kita manusia seperti yang lain juga,
Kita bisa merasa luka, sepi, dan jatuh cinta;

Ajaklah mereka berdiskusi, bujuklah mereka
Membaca buku, memperhatikan berita, menonton film,
Jelaskan bahwa kita tak mau lebih
Kecuali diakui sebagai manusia saja – sama seperti manusia lainnya.

Aaah, begitu kompleksnya jiwa manusia. Dalam dan tak bertepi. Luas dan penuh teka-teki. Lalu, bagaimana asal muasal mereka menjadi gay?

“Nah, kan jadi cantik. Coba sekarang pakai lipstik, biar lebih cantik.”
Bibir Bas menggigil. Dahsyat betul. Matanya memejam, tangis semakin jadi. Punggungnya tersentak-sentak, disusul sedikit isak. Adegan bertahun-tahun lampau seperti nyata di depan mata. Lebih dua puluh tahun lalu. Mungkin ketika Bas tiga atau empat tahun umurnya.
Entah pagi entah malam. Bas hanya ingat bagaimana ibu menyulapnya menjadi bocah aneh. Bocah laki-laki dengan baju peri, rok mekar, berenda-renda. Juga bedak yang menempeli kulit pipinya yang tembem menggemaskan. Juga pemerah yang membuat bibirnya menyala.
Setiap babak hidup Bas terpampang jelas. Mirip slide film yang diputar cepat. Adegan-adegan ketika dia keluar rumah dan membaur dengan lingkungan. Kebingungannya untuk menentukan identitas diri.
Tidak bolehkah aku jadi laki-laki?
Rasa gamang menghebat. Benturan-benturan diri yang tak terkatakan. Semakin tak terkendali ketika dia remaja, dan mulai ditabrakkan pada kecenderungan alami untuk menyukai seseorang. Tapi jadi masalah besar karena dia tak benar-benar tahu siapa yang mesti dia sukai.
Tari, teman sekelas ketika SMP, atau Joni tetangga sebelah yang baru saja lulus SMA. Bingung bukan kepalang, dan Bas sama sekali tak punya kawan berbagi. Ibunya dulu seperti lupa begitu saja terhadap apa-apa yang ia alami di masa kecil. Seperti tak pernah ada cerita ketika dengan hebatnya Bas diteror oleh mimpi-mimpi sang ibu untuk memiliki anak perempuan, setelah empat kakak Bas, semuanya lahir dengan jenis kelamin laki-laki.
Aku ingin normal. Sungguh!

Ketika kita mengetahui suatu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seseorang. Jangan terburu-buru menyalahkan orang tersebut. Karena kita baru muncul dipertengahan cerita.
Ketika kita memahami sikap aneh seseorang. Jangan cepat-cepat salahkan orang tersebut. Walaupun sahabat masa kecil, kita hanya seseorang yang muncul sesekali.
Ketika kita mencermati perilaku abnormal seseorang. Hindari langsung men-judge buruk orang tersebut. Meskipun tahu masa kecilnya dan tinggal satu rumah dengannya, kita tidak melihatnya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Ketika kita mengamati sifat menyebalkan seseorang. Tahan untuk mencemooh orang tersebut. Meskipun kita melihatnya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, kita tidak tahu isi hatinya.
Siapa yang mengetahui isi hati setiap manusia? Bolehkah kita berprasangka buruk terhadap seseorang meski hanya satu detik?

“Lu pikir Bas ancaman, Bhum?”
“Jelas.”
“Dia pernah ganggu lu?”
Bhumi diam lagi.
“Nggak, kan?”
“Sekarang, dia sangat mengganggu gue.”
“Dia cuma bilang suka!”
“Kalimat itu jauh lebih mengganggu dibanding seluruh isi kost ini ngorok bareng-bareng, Zain!”
“Gue nggak ngerti jalan pikiran lu, Bhum.”
“Justru gue yang bingung, kenapa lu ngebela Bas mati-matian.”
“Bukan ngebela. Gue cuma lu menggeser pola pikir elu.”
“Maksudnya, biar gue mau menerima perilaku menyimpang? Mustahil!!!”
“Dia cuma bilang suka, Bhum!”
“Maksud lu apa, sih, Zain?”
“Soal takdir Tuhan, gue mau bilang Dia nggak pernah iseng.”
“So?”
“Jadi semua ciptaannya, termasuk orang-orang yang diberi bakat menyimpang itu tidak dilahirkan untuk menjadi manusia sampah.”
“Tapi mereka sampah.”
“Sekarang lu bilang Tuhan menciptakan sampah, Bhum.”
Bhumi tercekat. Kalimatnya terputus.
“Gue cuma mau bilang, setiap manusia itu diciptakan dengan beban yang sama. Hak sama, kewajiban sama. Hanya bentuknya yang beda.”
“Maksud lu apa, Zain?”
“Apa bedanya homoseks dan heteroseks di mata Tuhan? Mereka sama-sama akan dimintai tanggung jawab semua perilaku selama hidup, kan?”
Bhumi tak menyahut.
“Memangnya cuma homo saja yang harus menahan nafsu? Hetero pun sama, kan? Memangnya cuma hetero yang disuruh menjauhi zina? Homo juga sama. Yang membedakan kan objek pemancing nafsu dan hal yang menyebabkan zina di antara keduanya.”
Tak tahu. Zain tiba-tiba bicara seperti  seorang pemikir ulung.
“Selama seorang hetero bisa menahan nafsunya, selamatlah dia. Kalau Tuhan adil, dan gue yakin Tuhan itu adil, aturan ini pun berlaku dong buat seorang homo. Selama dia tak berzina, dia tak berdosa.”
“Jadi, lu mau bilang punya feeling homo tak masalah?”
“Gue nggak bilang gitu. Gue cuma pikir, orang-orang seperti Bas harus berdamai dengan takdir. Bukan mengikuti rasanya untuk mencintai sesama jenis, tapi menerima keadaan dirinya lebih dulu. Berpikir positif, lalu berusaha membuat sebuah perubahan.”
“Perubahan. Maksud lu pacaran atau kawin ama cewek.”
“Nggak selalu gitu. Bukankah orang hetero pun tak semua kawin. Yang penting kan sadar bahwa mereka lahir bukan untuk jadi sampah. Boleh jadi feeling homo itu malah jadi nilai plus di mata Tuhan.”
“Hah?”
“Yah, kalau mereka bisa bertahan untuk tak ikut arus feeling itu sampai ajal menjemput, itu kan luar biasa. Orang hetero belum tentu bisa berbuat serupa.”
“Lu baca buku apa, sih, Zain?”
“Nggak, gue mikir aja. Kalau baca buku, isinya ya neraka melulu.’
“Hah?”
“Kebanyakan kan orang-orang berilmu itu nggak adil. Menilai sesuatu hanya dari sudut keilmuannya, tanpa mau tahu cara mencari solusinya.”
“Maksud lu?”
“Lu cari deh buku tentang homoseksual. Isinya kan neraka, siksaan tak berakhir, haram, hujatan.”
“Lu nggak sepakat, Zain?”
“Gue sepakat. Tapi kalau pendekatannya seperti itu, berapa juta orang yang harus kita lenyapkan dari muka bumi ini, Bhum?”
“Lantas?”
“Yah, mereka yang tahu ilmu itu harusnya ngasih solusi, dong. Oke, perilaku homo itu haram. So How? Bagaimana orang-orang itu harus menjalani hidup? Apa mereka seumur-umur harus mengutuki takdir? Salah juga, kan?
“Lu punya solusi?”
“Intinya kan pasrah. Jalani aja hidup. Tetap kreatif tanpa terbebani feeling itu. Yang terpenting kan nggak menuruti feeling itu. Kalau kemudian ada keajaiban, mereka bisa tertarik ke lawan jenis, alhamdulillah. Kalau nggak ya disyukuri. Barangkali saja itu cara Tuhan meningkatkan derajatnya.”
“Segampang itu?”
“Itu elu tahu bahwa melakukan jelas tidak semudah ngomong doang. Makanya, kalau seorang Bas cuma bilang suka, tanpa mengganggu elu dalam tataran lebih jauh, elu harus hargai dong. Dia satu kost ama kita udah lima tahun, dan nggak pernah membuat elu merasa nggak nyaman. Apa itu bukan perjuangan?”
Bhumi diam. Berpikir dia.

Terakhir, mari kita pahami pernyataan Ustadz Salim, “Seorang yang Rabbani, mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ‘Alim mungkin saja lahir dari ruang berisi buku-buku, tapi seorang Faqih muncul di tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.”
Sudahkah kita belajar menjadi orang yang Faqih?

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!
(59:2)

Cimahi, 3 Juni 2013_25 Rajab 1434



Pustaka
JA, Denny. 2012. Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai. Jakarta: Renebook
(Genre Baru Sastra Indonesia)

Tasaro. 2005. Wandu Berhentilah  Menjadi Pengecut!. Jakarta: Zikrul Remaja
(Pemenang pertama Sayembara Novel FLP 2005)

Wednesday 24 April 2013

Tentang Esai



Rangkuman Tentang Esai
Oleh Dewi Erita

Ilmu bercerita tentang objek
sajak bercerita tentang dirinya sendiri

Ilmu adalah penelitian dan pengkajian
sajak adalah nyanyian
esai adalah pergaulan

Ilmu adalah penemuan
puisi adalah penciptaan
esai adalah perjumpaan dan persahabatan

Jurnalisme menghasilkan laporan
ilmu memberikan analisa
esai hadir sebagai kesaksian

Membaca tulisan ilmiah
menghadapi teks
membaca sajak
menghadapi teks
membaca esai
menghadapi teks
sekaligus
penulisnya

Esai adalah catatan. Perwujudan percakapan dalam bentuk tulisan. Kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah obyek, sekaligus cerita tentang pengalaman interaksi yang penuh canda di antara keduanya. Keinginan berkata-kata yang (seolah) sulit diungkapkan secara lisan, namun begitu mengalir melalui goresan. Penjelmaan pribadi penulis dalam gagasannya sekaligus menjadi pemikiran yang seakan-akan dipersonifikasikan.

Esai menempati posisi yang unik. Dia membuka dirinya terhadap obyektivitas maupun terhadap subyektivitas. Subyektivitas dalam mengutarakan gagasan adalah watak khas esai. Esai menghidupkan subyektivitas dalam menceritakan keadaan suatu objek pengamatan sehingga yang menonjol adalah respon pengarang terhadap obyek pengamatan. Rasa senang, terpesona, bosan, kecewa, penting, patut dicontoh, atau ditinggalkan, semua ada dalam esai. Seorang esais tidak akan mengekang dirinya untuk mengatakan apakah dia suka atau benci terhadap apa yang sedang diamatinya.

Esai seorang sastrawan memberi efek yang sebaliknya dari laporan. Bukan berupa pokok-pokok tulisan yang diuraikan dengan baik dan rinci. Tidak pula penjelasan mengenai bagaimana keadaan dan sifat-sifat objek yang diteliti, mengapa objek tersebut penting untuk diselidiki, apa saja segi-segi yang harus masuk analisa, dan apa saja temuan-temuan yang diperoleh.

Esai menjadi tempat pertemuan antara sastrawan dan bukan sastrawan. Arena pergaulan antara para ahli dan kaum awam. Spontanitas, kejujuran, tingkah polah esais merebut simpati pembaca. Bukan dia menjadi menarik karena berada dan berlatih di suatu tempat, melainkan suatu tempat menjadi menarik karena esais tersebut berlatih dan berada di sana.
***

Menurut sejarahnya, esai adalah suatu bentuk penulisan yang ditemukan dan diperkenalkan pada abad ke 16 di Perancis oleh seorang sastrawan dan filosof yang bernama Michel Eyquem de Montaigne (1533-1592). Istilah “esai” berasal dari judul dua jilid bukunya yang ditulis semenjak 1571 dan diterbitkan pada 1580, berjudul Essais (yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Essays).

                Tulisan-tulisan Montaigne dalam Essais memang mengandung berbagai pemikiran yang menarik. Namun demikian, cara penulisnya mengemukakan buah pikiran dan perasaannya dianggap sesuatu yang unik dan kemudian berkembang menjadi suatu genre atau genus literarium tersendiri. Sifat utama yang dikehendaki oleh Montaigne dari tulisan-tulisannya ialah bahwa tulisannya itu, dirinya dan hidupnya, harus diperlakukan sebagai satu perkara yang sama, sehingga ketiga-tiganya ditanggapi dan dipahami sebagai consubstantial.

                Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah bagaimana gerangan caranya Montaigne mempersatukan tulisannya dan kehidupannya sendiri? Apakah tulisan-tulisannya hanya melukiskan kehidupan pribadinya atau juga sukaduka orang lain?

                Pertama, kata essai atau essais dalam bentuk jamaknya sengaja dipilih oleh Montaigne karena maksud utama tulisan dan renungan-renungannya adalah mencoba memahami manusia dan masyarakat secara lebih baik. Kata bahasa Perancis essai berarti percobaan (kata kerja essayer berarti mencoba-coba), karena dalam keyakinan Montaigne kita tak pernah bisa membusungkan dada bahwa kita dapat memahami manusia “seutuhnya”.

                Kedua, esai mencoba menghindari konsep-konsep abstrak, tetapi selalu bertolak dari pengalaman. Untuk itu jalan terbaik untuk belajar bukanlah melalui studi dan menekuni buku-buku, melainkan melalui percakapan dan pergaulan.

                Ketiga, pengetahuan sistematis memang berguna, tetapi belum mempunyai manfaat yang optimal kalau tidak membantu kita mendapatkan pengertian moral tentang apa yang baik dalam hidup, dan sanggup membentuk sikap kita terhadap hidup itu sendiri. Menurut Montaigne, terlalu banyak orang menyimpan pengetahuan dan ilmu dalam kantongnya, tetapi hanya sedikit menyerap ke dalam hati dan lebih sedikit lagi yang menjadikannya bahagian dari kepribadiannya. Itulah sebabnya, pendidikan intelektual saja tidak mencukupi tetapi harus disertai oleh pendidikan sosial dan dilengkapi dengan pendidikan jasmani.

                Jadi, esai tidak bergulat dengan ide-ide besar, tetapi bercanda dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan kecil yang dipungut dari kehidupan sehari-hari. Lebih penting mengumpulkan berbagai pengetahuan yang tidak sistematis, tetapi dapat mengilhami kita tentang suatu nilai kebaikan daripada berkutat dengan sistem pengetahuan yang rapi dan ketat tetapi tidak meningkatkan kepekaan kita terhadap kebaikan dan kejahatan.

Sumber:
Artikel majalah Horison-XXXVIII/1/2004 “Esai: Godaan Subyektivitas” Ignas Kleden

Cimahi, 24 April 2013_13 Jumadil Akhir 1434 H

Wednesday 10 April 2013

Untuk Bloemlezing Kuliah Kepenulisan II



BAHAGIA
Oleh Dewi Erita

 
I
Bahagia itu
“Wah, agak gemukan sekarang.”

Bahagia itu
selesai membersihkan uang
meski kotorannya sangat kau butuhkan

Bahagia itu
tuntas melahap buku
dan memuntahkannya kembali

Bahagia itu
menanti orang atau orang-orang
ketika dia atau mereka datang lewat masa

Bahagia itu
melangkah di tengah lebatnya air
memakai jas hujan paruh badan
merasakan dingin yang kental

Bahagia itu
naik bus ekonomi
melepas pandang
melihat kecipak ratusan manusia
menikmati sapuan angin laut

Bahagia itu
sampai di tempat tujuan
setelah berkendara 25 km nonstop
berebut jalan, berpanas ria, beribu kesal tambal sabar
“Maaf Teh, pda skit smua, jd hr ni tdk latihan dlu.”

Bahagia itu
jantung terburu-buru
tangan menggigil berkeringat
suara tergagap, tidak jelas, terlalu cepat
semua mata melumat setiap sudut tubuhmu

Bahagia itu
Izrail mendekap dari depan agar tidak terjatuh
menarik bahu dari belakang agar tidak terjungkal
memapah tangan kanan agar tidak oleng
mengapit lengan kiri agar tidak roboh
membisik pikiran agar tetap melangkah
menayangkan kelebat masa depan
menenangkan bronkus alveolus

Bahagia itu
saat berada di pinggir sungai
telapak tangan paruh jiwa terulur
“Ayo, Thian sudah menunggu.”

II
Hatimu membesar seluas kota Cimahi
mengangkasa perlahan
lintas kota
provinsi
pulau
negara
samudra
berkunjung ke Holiwuud
semakin tinggi menembus ozon
meninggalkan Bima Sakti
menjauhi semesta
singgah di kebun
melihat yang
tak terlihat
saat
ini. 

III
kucari remah-remah bahagia menyusuri jalan setapak tak peduli musim hujan atau musim air keringat atau musim air mata atau dua musim bersamaan atau ketiganya sekaligus meskipun lawan-lawan itu terus membuntuti ada prasangka menendang dari depan ada fitnah loncat dari atas ada lelah dari kanan kiri dan ada malas dari depan belakang samping kanan kiri atas bawah semua semua serangan semua semua ancaman semua semua semua itu kuhindari dengan jurus mengeja huruf setelah meraba esok sambil kujaga surat surat sembari memelihara jasad untuk mengukir abad.


Cimahi, 10 April 2013_29 Jumadil Ula 1434 H