Thursday 29 March 2012

Resume "RUMAH KACA" Pramoedya Ananta Toer


 “RUMAH KACA”
Pramoedya Ananta Toer
(The Buru Quartet: Fourth Book)



“Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (R.M. Minke)


Tahun 1912, Gubermen berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg yang sudah berjalan selama tiga tahun. Setahun yang lalu terjadi revolusi Tiongkok dengan Sun Yat Sen menjadi presiden. Arus nasionalisme Tiongkok yang semakin deras dan memuncak dengan berdirinya Republik Tiongkok membuat Idenburg mengambil inisiatif kecil yaitu dengan mendirikan Hollandsch Chineesche School. H.C.S. didirikan untuk melunturkan rasa nasionalisme anak-anak Tionghoa agar tetap berkiblat dan berpihak pada Eropa. H.C.S setingkat dengan Sekolah Dasar Belanda E.L.S. alias Europeesche Lagere School. Di setiap kabupaten, Gubermen hanya mendirikan satu Sekolah Dasar Umum dengan dua bagian, Angka Satu dan Angka Dua. Angka Satu mendapat sedikit pelajaran bahasa Belanda. Angka Dua sama sekali tidak. Di desa ada Sekolah Desa tiga tahun, hanya mengajarkan baca-tulis dan sedikit berhitung. Anak – anak lulusan E.L.S., anak-anak Eropa dan anak-anak pembesar puncak pribumi, dengan bahasa Belandanya, langsung dapat menyesuaikan diri dengan Eropa dan persoalan-persoalannya. Oleh karena itu, anak-anak lulusan SD Angka Satu dan Dua, apalagi Sekolah Desa, yang sedikit dan tidak belajar bahasa Belanda,  memiliki jarak peradaban yang jauh dengan lulusan E.L.S.

Minke yang merupakan lulusan sekolah Eropa sudah mulai mengikuti arus jaman modern. Dia mengerti arti dari kebebasan dan mengagumi Revolusi Prancis serta Revolusi Tiongkok sehingga dia mendirikan organisasi Sjarekat Dagang Islam (S.D.I.). Minke mendirikan koran Medan untuk mendidik masyarakat agar membela hak-haknya dan menanamkan paham nasionalisme pada bangsa-bangsa Hindia. Tindakan ini membuat Gubermen harus berbuat sesuatu untuk menghambat langkahnya. Jacques Pangemanann, seorang Komisaris Polisi, ditugaskan untuk itu.

J. Pangemanann mulai bergerak mengawasi Minke tanpa diketahui olehnya. Pangemanann sendiri tidak bersenang hati melakukan pekerjaan ini karena Pimpinan redaksi surat kabar Medan itu tidak melakukan tindakan kriminal. Analisis dari arsip – arsip tentang R.M. Minke yang dipelajarinya menghasilkan suatu kesimpulan bahwa Gubermen harus bertindak di luar hukum. De Knijpers, T.A.I., dan De Zweep adalah kelompok bandit yang dipimpin langsung oleh Pangemanann untuk menghancurkan geliat Medan di Hindia. Beberapa kali usaha itu gagal dan pada puncaknya Gubernur Jenderal Idenburg mengambil hak exorbitant untuk membuang Minke ke Ambon selama lima tahun. Rencana pembuangan itu memang sudah dipersiapkan beberapa waktu lalu dan akan dilaksanakan pada saat yang tepat. Marco menerbitkan tulisan yang mengancam kewibawaan Gubernur Jenderal Idenburg. Momen itu yang dipakai polisi untuk melegalisasi tindakannya membuang pimpinan redaksi Medan itu. 

Pangemanann pensiun dari jabatan Komisaris Polisi dan diangkat menjadi pejabat di Algemeene Secretarie sebagai tenaga ahli dalam hubungan pribumi dengan Gubermen. Semua kegiatan dan tindakan pribumi yang mengancam Gubermen diawasi dan diikuti dari atas mejanya. Seperti rumah kaca yang berisi bintang –bintang pribumi. Pangemanann menghambat, mengacaukan, dan bertindak bagai benang – benang gaib tak terlihat. Semua kegiatan pribumi ada dalam kekuasaannya. Dan hanya dengan menulis saran, tindakan itu terlaksana. Meskipun begitu, dia menghindari tindakan pembuangan yang bisa disarankannya kepada Gubernur Jenderal. 

Pangemanann dalam menjalankan tugasnya banyak mengalami perang batin. Dirinya yang dahulu berprinsip melakukan kebajikan kepada setiap orang dan menumpas kejahatan harus tetap menjalankan perintah Gubermen. Prinsipnya dikalahkan oleh nafsunya untuk tetap berada di puncak kekuasaan kolonial. Dan untuk itu dia kehilangan sifat-sifat baiknya. Pangemanann menjadi seorang peminum, jarang pergi ke tempat ibadah, dan ditinggalkan pergi oleh istri dan anaknya ke Eropa. Saat Minke pulang dari pembuangannya. Pangemanann tetap mengawasi Minke yang sudah dibekukan segala harta kekayaannya. Tindakan sehalus mungkin yang bisa diperbuat olehnya untuk mengurangi ruang gerak bekas pimpinan Syarikat itu. Minke tetap dalam pengawasan Pangemanann sampai meninggalnya karena sakit tidak terobati.

Setelah meninggalnya Minke, Pangemanann menjadi jarang mendapat pekerjaan dari sepnya. Gubermen telah mendirikan Volksraad atau dewan perwakilan rakyat yang didalamnya terdapat beberapa pribumi. Pangemanann semakin terkucilkan dan merasa tidak dihargai jasa-jasanya selama ini. Dia jatuh sakit. Dan pada masa-masa itu, dia kembali mengingat Tuhan yang sudah lama ditinggalkannya. Pangemanann merasa tenang dan meninggalkan kebiasaan minum-minumnya.

Sembuh dari sakit dia harus berhadapan dengan Madame Le Boucq (Nyai Ontororoh) yang berkunjung ke Betawi untuk menengok Minke. Pangemanann merasa tersiksa saat bersama dengan ibu rohani Minke tersebut karena dia sendiri yang telah membuat Minke menjadi seperti itu. Akhirnya sepulang dari mengantar Madame Le Boucq ke sebuah pension, Pangemanann kembali jatuh sakit. Dalam sakitnya tersebut dia menyelesaikan cerita petualangannya dalam berkas catatannya, Rumah Kaca. Buku besar tebal berisi tentang kenyataan-kenyataan yang telah diperbuatnya selama ini. Pangemanann menyerahkan naskah-naskah tulisan R.M. Minke (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah), berkas catatan Rumah Kaca, serta surat untuk Madame. Kalimat terakhir yang ditulis dalam suratnya adalah Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina). Pangemanann akan pergi ke Belanda dan menyerahkan semua harta pada pembantunya yang baik hati dan setia …
1988


“Betapa bedanya bangsa – bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapat tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa – bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya.” (Pramoedya Ananta Toer)



Thursday, March 29th, 2012_6 Jumadil Ula 1433H @ Cimahi
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Rumah Kaca. Jakarta: Lentera Dipantara
Review by Dewi Erita

No comments:

Post a Comment