Wednesday 21 March 2012

Resensi "ANAK SEMUA BANGSA" Pramoedya Ananta Toer


“ANAK SEMUA BANGSA”
Pramoedya Ananta Toer
(The Buru Quartet: Second Book)


 Foto dari kiri: Annelies Mellema, Minke


Sinopsis

                Annelies Mellema, istri Minke, telah berlayar ke Netherland. Di Wonokromo, Mama dan Minke sudah bebas keluar masuk rumah. Keadaan rumah itu masih dalam suasana tidak menyenangkan. Mama sering meluapkan ketegangan syarafnya bila berhadapan dengan polisi. Minke belum berminat untuk membaca, apalagi menulis. Minke menemukan cincin Annelies pemberian Robert Suurhof. Dia bermaksud mengembalikannya kepada keluarga Suurhof. Tuan Suurhof menolak cincin tersebut. Cincin hasil curian Robert Suurhof kini berada di tangan polisi.

                Panji Darman terus mengirimi surat perkembangan tugasnya memantau keadaan Annelies selama perjalanan. Dia menulis bahwa selama perjalanan menuju kapal di Pelabuhan, banyak orang yang bersimpati pada keluarga Mellema. Prajurit – prajurit pengawal rombongan Annelies menjadi sasaran makian, hinaan, dan lemparan batu pribumi. Saat kapal berlayar, Panji belum bisa melihat keadaan Annelies karena dia ditempatkan di ambin khusus dan penjagaan ketat serta tidak pernah keluar. Baru setelah sampai pelabuhan Singapura, dia bisa melihatnya. Annelies terlihat seperti mayat hidup, begitu rapuh dan seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Panji berusaha memberitahu Annelies bahwa dia tidak sendiri. Namun usaha itu ternyata diketahui perawat. Pegawai kapal mengizinkan Panji menemani Annelies. Annelies tetap seperti mayat hidup. Sedikit demi sedikit Panji mulai menggantikan tugas perawat mengurus Annelies. Akhirnya, Panji Darman sepenuhnya menjadi perawat Annelies. Sampai di Netherland, Panji tetap menemani Annelies dan merawatnya. Annelies sendiri sudah tidak menyadari sesuatu, hanya Tuhan yang tahu keadaannya. Telegram terakhir Panji Darman, mengucapkan ikut berdukacita atas meninggalnya Mevrouw Annelies.

                Kehidupan terus berjalan tanpa Annelies, meninggalkan duka pada Mama dan Minke. Hindia mulai digemparkan dengan berita bahwa kedudukan Jepang sama dengan kedudukan Eropa, protes dimana – mana, merasa terhina bahwa Eropa disamakan dengan salah satu bangsa Asia. Meskipun kenyataannya saat itu Jepang sudah maju ilmu dan pengetahuannya serta memiliki kapal perang yang kuat. Hal ini memicu beberapa kelompok orang di beberapa bangsa Asia lain untuk berusaha bangkit. Kebangkitan itu harus dimulai dengan mengenal bangsa sendiri. Berbuat sesuatu untuk bangsa. Salah satunya seperti yang disarankan Jean Marais terhadap Minke, bahwa Minke harus belajar menulis Melayu, karena itu bahasa yang dapat dimengerti oleh seluruh bangsa di Hindia. Jean menilai Minke pandai menulis Belanda tapi tidak mau menulis Melayu. Jean bertengkar dengan Minke karena hal itu. Khouw Ah Soe, seorang Angkatan Muda Cina, diwawancara oleh pimpinan koran S.N.v/ d D, Marteen Nijman. Dari sana terlihat bahwa Khow Ah Soe adalah salah seorang pemuda Cina yang sedang berjuang untuk kebangkitan bangsanya, Tiongkok.

                Kejadian – kejadian kurang menyenangkan terus dialami oleh Mama dan Minke di Wonokromo. Khow Ah Soe diburu polisi Hindia dengan alasan penyelundupan ilegal. Dia dipersilakan menginap di rumah dan menjadi sahabat Minke. Banyak hal tentang perkembangan keadaan bangsa – bangsa Asia yang tidak dimuat di koran Hindia, Minke dapatkan dari Singkeh itu. Beberapa hari setelah itu, Khouw Ah Soe diberitakan meninggal, tenggelam di danau jembatan merah dengan tiga puluh tusukan. Kemudian, kedatangan surat Robert Mellema, memberi berita segala yang ia alami dan lakukan, termasuk tentang kasus pembunuhan ayahnya, Herman Mellema, dan anak yang dilahirkan pembantunya, ternyata adalah darah dagingnya, Rono Mellema.

                Letnan Kolonel Ir. Maurits Mellema, saudara tiri Annelies sekaligus pemegang perwaliannya, datang ke Wonokromo mengantar bungkusan berisi koper kaleng tua yang sudah cembung cekung sana sini dan baju bekas Annelies. Nyai Ontosoroh dan Minke menyambutnya dengan sebutan pembunuh dan perampas harta. Seluruh penduduk kampung di Wonokromo berduka, mengetahui majikannya yang baik hati, Noni Annelies, dibunuh oleh saudara tirinya . . .

Buru, lisan 1973
Tulisan 1975

Analisis Cerita
1.       Seting waktu:

Bumi Manusia                   1989-1900            selama 2 ½ tahun             Minke 18-20 tahun
Anak Semua Bangsa       1900                       selama 6 bulan                 Minke 20 tahun
Jejak Langkah                    1901-1912            selama 11 tahun               Minke 21-32 tahun
Rumah Kaca                       1912-1918            selama 6 tahun                 Minke 32-38 tahun

Tetralogi Pulau Buru       1989-1918            selama 20 tahun

2.       Pesan psikologis
Annelies digambarkan wanita yang sempurna secara fisik. Wanita dari berbagai negara kalah dari segi paras wajahnya. Ketrampilan sebagai administratur/ mandor perusahaan dikuasainya. Wajar Minke menamai lukisannya “Bunga  Akhir Abad”. Namun, ada sesuatu yang dilewatkan Nyai Ontosoroh, ibunya. Dia dibiarkan terisolasi dari dunia luar, tidak bergaul dengan orang lain sejak kecil (±9 tahun) dan meninggalkan sekolah di tingkat dua E.L.S. (Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar belanda). Selama lima tahun, tanpa teman. Mental Annelies tidak terlatih menghadapi masalah. Masalah kecil selalu mengadu kepada ibunya, seperti anak kecil, meski secara fisik sudah dewasa. Jiwa Annelies mudah rapuh karena masalah, bila ada sesuatu di luar keinginannya, bisa langsung jatuh sakit, bahkan dapat sakit parah sampai meninggal.
 Mental yang kuat diperlukan oleh setiap orang dalam hidup ini. Bukankah kehidupan sama dengan ujian? Dia yang kuat adalah dia yang bisa mengatasi masalah. Minke ditakdirkan menjadi orang besar dikemudian hari, otomatis masalah – masalah yang dihadapi lebih besar lagi, sehingga hanya istri yang mentalnya terlatih yang sanggup mendampinginya (Ang San Mei dan Prinses Van Kasiruta, Buku 3: Jejak Langkah).

3.       Bahasa
Pribumi                                                : bahasa Jawa (bangsa Jawa)
                  bahasa Melayu (Hindia)
                Peranakan asing               : bahasa Cina (bangsa Tiongkok)
                                                                  bahasa Prancis
                                                                  bahasa Inggris
                Eropa                                    : bahasa Belanda
               
Minke sendiri dapat berbicara dalam lima bahasa, sehingga dia sering berperan sebagai penerjemah.
                Bicara pada Bunda: Jawa
                Bicara pada Mama: Belanda, Melayu
                Bicara pada Jean: Prancis, Melayu
                Bicara pada Khouw Ah Soe/ Tiongkok: Inggris
                                   
4.       Ekonomi
Mata uang Hindia zaman kolonial
1 talen = 10 picis
1 picis = 11,67 sen
1 tali
1 benggol
1 gulden

5.       Fashion
Belanda/ Eropa                                                 : pakaian kemeja/ baju, sepatu, kaos kaki, topi.
Pribumi keluarga bupati/ raja pribumi     : pakaian adat, cakar ayam (tidak beralas kaki)
Pribumi keluarga petani, kuli                       : telanjang dada, cakar ayam (tidak beralas kaki)

6.       Sosial
Pribumi petani sangat takut terhadap orang yang beralas kaki/ bersepatu (pakaian Eropa). Itu menandakan seorang penguasa. Penguasa yang mampu berbuat apa saja terhadap mereka. Selama tiga abad, pemahaman ini sudah terpatri dalam benak mereka, bahwa pribumi harus patuh terhadap segala perintah orang Eropa, meskipun dia dianiaya dan disiksa. Seolah hidup hanya untuk menuruti perintah penguasa. Mereka tidak bersekolah, tidak boleh pintar agar mudah dibohongi, tidak mampu mengelola tanah air sendiri, dan tidak berontak terhadap ketidakadilan.

Kesimpulan
                Ternyata apa yang dialami nenek moyang kita dahulu dialami lagi oleh kita saat ini. Pemuda Indonesia dibuat jauh dari pendidikan. Narkoba (bahaya: merusak otak, kecanduan, kematian akibat  overdosis), pornografi (bahaya: merusak otak lebih parah dari narkoba, sex bebas, penyakit kelamin, HIV-AIDS), dan penggunaan gadget berlebihan (akibat: tidak peka lingkungan karena asyik dengan dunia sendiri). Semua itu membuat pemuda Indonesia tidak peka terhadap lingkungan sosial. Efek jangka panjang adalah menghalalkan segala cara untuk kepentingan diri sendiri/ keluarga, yaitu dengan korupsi.
                Ayo giat belajar, kuasai bahasa - bahasa, berbuat yang terbaik disegala bidang, dan peka terhadap sesama. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada. Berjuanglah bangsaku, harapan itu masih terbentang. 
 

,,,,, Selamat Membaca n_n ,,,,,



Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Anak Semua Bangsa. Yogyakarta: Hasta Mitra

Wednesday, March 21th, 2012
@ Islamic Tutorial Center (ITC), Indonesia University of Education, Bandung.
 Resensi by Dewi Erita

No comments:

Post a Comment