Thursday 15 March 2012

Resensi "JEJAK LANGKAH" Pramoedya Ananta Toer

“JEJAK LANGKAH”
Pramoedya Ananta Toer
(The Buru Quartet: Third Book)

 Foto dari kiri: Ang San Mei, Prinses Van Kasiruta, Minke


“Perdagangan  adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering-kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannnya kembang kempis, semua ikut kembang kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri  - negeri kecil menjadi besar karena perdagangannya, dan negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya.” (Sjech Ahmad Badjened)


Sinopsis
                Tahun 1901, Minke pergi merantau ke Betawi. Ia diterima sebagai siswa S.T.O.V.I.A (School tot Opleiding  van Inlandsche Artsen, Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi). Awal masuk, Minke merasa tidak nyaman, karena disana semua siswa harus menggunakan pakaian adat masing – masing. Minke yang sudah terbiasa memakai pakaian Eropa (topi vilt, pantalon, kaus kaki, sepatu) saat belajar di sekolah Belanda (ELS & HBS), kini harus berpakaian adat Jawa (destar, kaki bertelanjangan) selama bersekolah di STOVIA.
                Ter Haar, wartawan Totok De Locomotief,datang menjemput sore itu juga untuk menghadiri pertemuan besar dengan Yang Terhormat Anggota Tweede Kammer Tuan Ir.H.Van Kollewijn, Dewa Radikal kaum Liberal, di kamarbola De Harmonie. Pertemuan itu dihadiri oleh petinggi – petinggi Hindia Belanda yang membahas tentang politik ethiek terhadap pribumi. Marie van Zeggelen, wartawan dan penulis beberapa buku perjuangan kebebasan pribumi, dan Ter Haar yang paling gencar mengajukan pertanyaan terhadap keadilan peraturan terhadap pribumi.
                Beberapa bulan tinggal di Betawi, Minke menikah dengan Ang San Mei, gadis Tiongkok. Tahun – tahun mereka lalui dengan aman damai. 
                Tahun 1904, Gubernur Jenderal Van Heutsz naik menggantikan Gubernur Jenderal Roosebom sebagai pimpinan tertinggi wilayah Hindia Belanda, perpanjangan tangan dari Sri Ratu Wilhelmia di Netherland. Hal ini menggelisahkan negeri – negeri merdeka dalam kantong – kantong Hindia Belanda karena Jenderal Van Heutsz adalah pemimpin perang kolonial di Aceh yang beberapa waktu lalu telah kalah.
                Tahun 1906, Ang San Mei meninggal karena komplikasi Hepatitis B. Mei adalah Angkatan Muda Tiongkok yang memperjuangkan kemerdekaan negerinya di Hindia. Beberapa bulan sebelum itu Mei bergerak melakukan suatu misi bersama anggota Angkatan Muda lainnya tanpa kenal waktu karena dipicu oleh suatu kejadian yang terjadi di Tiongkok. Lima tahun Minke telah menjalani hidup bahagia bersama istrinya. Minke memberi kebebasan istrinya melakukan kegiatan memperjuangkan bangsanya. Beberapa bulan kemudian kondisi kesehatan istrinya menurun dan semakin menunjukkan gejala – gejala sakit. Mei tetap terus menerus bekerja siang malam meski suaminya telah menyuruhnya istirahat. Minke hanya bisa mendukung istrinya yang memang sudah berketetapan menjalankan misi tersebut. Minke sedih, sudah dua kali ditinggal mati istrinya. Meski begitu, dia tetap berusaha tabah karena merasa selama hidup dengan Mei, dia telah menjadi suami yang baik, hidup rukun dan tidak pernah saling menyakiti.
                Setelah Mei meninggal. Tuan Direktur menyampaikan pemecatan Minke dari sekolah kedokteran STOVIA. Karena dia tidak memenuhi syarat sikap sebagai dokter yang nanti akan bekerja untuk Gubermen (Pemerintah Hindia Belanda). Selama sekolah, Minke memang yang paling banyak melanggar aturan sekolah, seperti menginap di luar asrama ketika bundanya berkunjung ke Betawi, berada di penjara karena membuat resep dokter sebelum lulus sekolah dokter (Mei telah terkapar lemas karena Hepatitis, dan dia hanya ingin diobati oleh suaminya sehingga dia menulis resep itu untuk memberikan kepercayaan pada istrinya bahwa dia benar – benar ingin merawatnya dan tidak menyesal pernah singgah di kantor polisi karena hal tersebut),dan terakhir, menunggui istrinya selama dua bulan penuh di rumah sakit sehingga tidak mungkin mengejar pelajaran.
                Minke mulai membaca kembali kumpulan surat – surat yang dikirim sahabat – sahabatnya Ter Haar dan Mir Frischboten dari Netherland. Mereka adalah Totok yang memperjuangkan kepentingan pribumi. Pemikiran – pemikiran baru muncul dalam benaknya tentang organisasi modern. Teringat pula Ang san Mei yang terus memperjuangkan negerinya sampai mengorbankan jiwa raga dan dokterjawa pensiunan saat berpidato di STOVIA mengenai pentingnya organisasi modern di Hindia oleh terpelajar pribumi.
                Minke mulai menyusun srategi untuk membentuk organisasi pribumi. Perjalanan panjang penuh onak duri. Mulai dari berjalan sepanjang rumah – rumah di Betawi mencari anggota tanpa hasil sampai penolakan Bupati Serang yang menyakitkan. Ada titik terang saat Minke bertemu dengan Patih Meester Cornelis. Benang penghubung terus menuntun Minke pada Wedana Mangga Besar, Thamrin Mohammad Thabrie, seorang tokoh berpangkat dibawah patih namun memiliki pengaruh besar dan nama baik.
                Kunjungan ke tempat Mohammad Thabrie disambut baik. Beliau setuju terhadap pembentukan organisasi. Pertemuan pertama dihadiri oleh lebih dari dua ratus orang dan merumuskan terbentuknya Syarikat Priyayi.  Syarikat ini kemudian melahirkan ‘Medan’, sebuah tebitan mingguan untuk pribumi yang berisi tentang hukum dan peraturan. Dari waktu ke waktu semakin banyak pesanan koran mingguan dan pendaftaran anggota syarikat.
                Tahun 1907, Minke kedatangan sahabat dan mertuanya (Nyai Ontosoroh) dari Wonocolo, Jean Marais, Maysaroh, mama, dan Rono Mellema. Mereka mendadak berkunjung tanpa pemberitahuan. Mereka mengabarkan berita bahagia, bahwa mama dan Jean sudah menikah. Mama juga bermaksud menikahkan Minke dengan May, karena mereka sekeluarga akan pergi ke Prancis. Menurut berita, disana hak – hak kebebasan invidu diakui, tidak seperti di Hindia Belanda. Minke akhirnya melamar May. Pernikahan mereka ditunda karena May ingin bersekolah terlebih dahulu di Prancis selama beberapa waktu.
                Waktu berjalan, May ingin tetap tinggal di Prancis sehingga membatalkan rencana pernikahan. Minke menikah dengan Prinses van Kasiruta. ‘Medan’ yang terus naik permintaan langganannya. Sementara Syarikat Priyayi dilanda gelombang kepunahan dan bubar dengan sendirinya. Syarikat Dagang Islamiyah terbentuk sebagai organisasi pribumi yang baru. Tahun 1909, Gubernur Jenderal Heutsz digantikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Perkembangan pesat S.D.I memunculkan  kelompok peneror yang dipimpin Robert Suurhof.
Tahun 1912, Mingke telah menyerahkan mandat Pimpinan Pusat ’Medan’ kepada Hadji Samadi di Sala untuk kemudian pergi menjalankan rencana propaganda jangka besar ke luar wilayah Hindia Belanda. Sebelum keberangkatan, Minke ditangkap polisi Hindia Belanda. Seorang penata buku telah berkhianat dan membuat Minke terjebak dalam hutang bangsa yang tidak mungkin dilunasinya. Minke dibawa pergi ke luar pulau Jawa, entah dimana, entah sampai kapan . . .

Buru, 1975


“Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita – cita jadi pegawai, karena memang akalnya mati. Lihat saja diriku ini. Jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh – suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat – pangkat, tak membeda – bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.” (Sjech Ahmad Badjened)  


Analisis Cerita
Cerita yang berkisar tahun 1901-1912
1.       Kesan Pertama
Membaca novel ‘Jejak Langkah’ adalah suatu perjuangan tersendiri. Hampir menyerah ditengah – tengah ketebalannya yang banyak bercerita tentang perkembangan ekonomi, organisasi, dan politik Hindia. Sekitar seperempat ketebalan novel berisi narasi perkembangan kehidupan masa itu. Menguras otak untuk mencerna dan memahami. Meskipun begitu, alur ceritanya sangat menarik dan menantang. Karakter novel khas, belum pernah ditemui pada novel lain.

2.        Isi cerita
Permulaan awal berdirinya organisasi pribumi Hindia pertama. Tokoh – tokoh yang dihadirkan membuat dasar pemikiran tokoh utama untuk membentuk organisasi. Istrinya merupakan salah satu tokoh pendukung organisasi raksasa itu. Konflik – konflik yang dihadirkan muncul berurutan seiring dengan perkembangan S.D.I yang kian meluas dan memberikan pengaruh terutama terhadap perusahaan – perusahaan besar milik Eropa. Pemerintah Hindia merasa terancam akan kehadiran S.D.I yang kemungkinan di kemudian hari dapat melahirkan gerakan nasionalisme menggeser Pemerintah kolonial dari tanah Hindia.

3.       Watak tokoh
Hampir semua tokoh – tokoh memiliki sifat berdaya juang tinggi, berani menghadapi resiko sebesar apapun untuk kepentingan bangsanya.

Kesimpulan
Penjajahan zaman kolonial Belanda telah mendidik rakyat Indonesia masa itu untuk kuat secara fisik maupun mental. Apapun dilakukan agar Indonesia merdeka, harta dan jiwa jadi bayaran yang sangat mahal. Harga kebebasan itu tertebus sampai sekarang, kita rasakan saat ini.
Tahun 2012, seratus tahun kemudian, penjajahan itu masih ada bekasnya. Pemerintah Hindia Belanda  mewariskan budaya pada bangsa Indonesia. Budaya negatif lebih banyak ditiru bangsa ini. Buah budaya yang dapat kita lihat saat ini.
Watak positif dapat kita tiru untuk jadi karakter. Karakter pejuang untuk mengusir kebodohan dan kemalasan,. Satu langkah yang kita ambil untuk menjadikan Indonesia menjadi negara maju, berawal dari diri.
   
Selamat Membaca ^^




Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Jejak Langkah. Yogyakarta: Hasta Mitra

Tuesday, March 13th, 2012_20 Rabiul Akhir 1433H
@Cimahi
By Dewi Erita




No comments:

Post a Comment