Friday 22 June 2012

An Essay: Bela Diri vs Wanita


An Essay: Bela Diri vs Wanita
Oleh: Dewi Erita

“Mungkin sekali banyak orang telah menulis berbagai catatan yang berbentuk esai, tanpa penulisnya sendiri tahu bahwa apa yang ditulisnya adalah esai.” (Ignas Kleden)


_1_
“Eh, ikutan thifan yuk?”
“Ah gak, saya mah ga minat sama bela diri”
“Kenapa?”
“Saya mah ga suka sama yang keras-keras kayak bela diri.”

Hmmm………….

 Obrolan seperti ini acapkali terjadi tiap mengajak teman untuk ikut bela diri. Yah, wajar memang. Bela diri identik dengan kekerasan, pertarungan, perkelahian yang berakibat memar-memar. Itu membuat bela diri menjadi sesuatu yang menakutkan, terutama bagi perempuan.

Bela diri cenderung didominasi oleh laki-laki yang secara fitrah lebih kuat dari perempuan. Laki-laki juga memiliki ketahanan fisik yang lebih lama. Dengan kelebihan itu, laki-laki patut dijadikan sebagai pelindung kaum perempuan. Namun, potensi itu terkadang dapat disalahgunakan. Pelaku kejahatan yang kebanyakan laki-laki,  menargetkan perempuan sebagai korbannya. Kekerasan, pelecehan seksual, dan pencurian tersebar dimana-mana.

Dari uraian diatas,
Pernahkan kita berusaha untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi atau mencoba meminimalisirnya?

Beraktivitas di rumah (tidak terlalu sering keluar), pulang sebelum magrib, berjalan bersama teman bisa jadi solusi. Namun, apakah kondisi ideal itu bisa dialami semua perempuan?

Ada perempuan yang memang diharuskan keluar malam, pergi sendiri, dan aktivitas di luar rumah. Itu dilakukan untuk kebutuhan, tuntutan kuliah, pekerjaan, dll.

Lalu adakah solusi lain?


“Kalau obrolan adalah bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan.” (Ignas Kleden)


_2_
Pertahanan diri menjadi modal utama eksis di dunia luar. Mulai dari membawa benda-benda tajam seperti jarum pentul, peniti, pisau lipat, payung, atau kipas sampai membawa pengawal seperti paspampres (pasukan pengawal presiden, gaya lah^^).

Sebenarnya, nenek moyang kita telah mewariskan suatu pertahanan diri alami yang mereka kuasai selama hidup. Apakah itu?

Namanya Pencak Silat, seni bela diri dari Asia, sebuah budaya Melayu. Saat ini Pencak Silat sudah melahirkan banyak aliran, yaitu Silat Perisai Diri, Silat Merpati Putih, Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Silat Elang Putih, dll. Selain Pencak Silat, bela diri dari Indonesia yaitu Kuntao (seni bela diri etnis keturunan China) dan Tarung Derajat.

Apa sih bela diri itu?

Bela diri adalah satu kesenian yang timbul sebagai satu cara seseorang mempertahankan diri.

Apakah bela diri bisa menjadi solusi yang baik untuk perempuan?

Bukankah bela diri itu sifatnya keras dan perempuan itu lembut?

Bagaimana bisa menyatukan dua sifat yang kontradiktif?

Teman, bela diri itu tidak identik dengan kekerasan. Bela diri sendiri ada bermacam-macam jenisnya. Salah satunya adalah Thifan Po Khan, seni bela diri asal China. Thifan Po Khan di Indonesia melahirkan beberapa aliran lagi, diantaranya Thifan Po Khan Tsufuk yang base camp-nya di Masjid Al Fitrah Pindad, Kiara Condong, Bandung. Thifan Tsufuk adalah bela diri untuk laki-laki dan perempuan. Thifan Tsufuk khusus perempuan dinamakan Puteri Gading.

Puteri Gading adalah bela diri khusus perempuan. Gerakan, teknik, dan jurus-jurusnya berbeda dengan laki-laki. Kenapa harus dibedakan? Karena disesuaikan dengan fitrah perempuan dan bentuk tubuhnya. Prinsip gerakan Puteri Gading adalah lembut tapi mematikan, sedangkan laki-laki cenderung pada olah fisik yang menghasilkan otot tubuh. Kenapa harus lembut? Supaya tidak mengubah bentuk tubuh asli perempuan. Bayangkan bila perempuan melakukan gerakan jurus laki-laki dan tubuhnya jadi berotot seperti Ade Rai, nampak aneh bukan?


“Kesastrawanan seseorang dinilai pula dari esai-esainya karena nyaris semua sastrawan hebat adalah esais hebat dan sastrawan yang menulis esai hebat hampir pasti merupakan penyair, novelis atau cerpenis yang hebat.” (Agus R. Sarjono)


_3_
Dalam suatu diskusi setelah ujian kenaikan tingkat di Pindad, . . .

Banatin (murid perempuan): “Ustadz, saya dengar, bahwa dulu kita latihan dengan standar teknik jurus yang tinggi, power full, kriteria lulus ujian sangat ketat. Lalu kenapa sekarang, standar-standar seperti itu diturunkan? Bukankah itu mematikan potensi?”

Ustadz: “Zaman dulu standar yang ditetapkan sangat ketat karena tujuannya menjadikan tamid (murid laki-laki) dan banatin seorang pendekar tangguh. Kemampuan beladiri sangat dibutuhkan saat itu. Bila tidak, mudah terbunuh oleh musuh yang ada dimana-mana. Zaman sekarang cenderung aman. Kita bebas jalan-jalan ke manapun tanpa takut terbunuh di tengah jalan. Karena itu standar thifan diturunkan. Saat ini bela diri yang diajarkan untuk tujuan kesehatan, apalagi banyak banatin yang ummahat (ibu-ibu).”

Dari tanya jawab itu dapat kita simpulkan bahwa konsentrasi bela diri terbagi menjadi tiga:
1.       Bela diri untuk kesehatan
2.       Bela diri untuk pertengahan
3.       Bela diri untuk atlet

Bela diri untuk kesehatan dan pertengahan porsi latihannya seminggu sekali. Kualitas latihannya pun disesuaikan. Bela diri untuk atlet tentu lain lagi kadarnya. Untuk gambaran kita bisa lihat di Shaolin. Shaolin mengharuskan muridnya tinggal di semacam padepokan. Berlatih 3x sehari (disiplin seperti minum obat resep dokter ^^) dan melakukan hal-hal lainnya. Hasilnya, mereka jadi pendekar-pendekar tangguh.

Bagaimana gambaran latihan Puteri Gading?

Perempuan itu macam-macam. Ada perempuan yang sangat lembut, sehingga dalam berlatih jurus pun terbawa lembut, benturan-benturan pun hanya berupa sentuhan. Ada tipe akhwat yang sedang, tidak terlalu lembut dan tidak terlalu keras dengan power standar. Ada pula tipe akhwat yang yang memiliki power yang kuat, dalam berjurus mengeluarkan power tingkat tinggi sehingga full contact. Benturan dengan tekanan yang kuat antara kaki dan tangan sering terjadi. Nah, yang paling pas adalah perempuan yang fleksibel. Dia bisa mengatur kekuatan power sesuai lawan. Bila lawan lembut, dia akan lembut, bila sedang, akan sedang, bila kuat, akan kuat.

Siapa saja murid-murid yang berlatih Puteri Gading?

Porsi latihan yang seminggu sekali, menjadikan banyak kalangan perempuan, seperti pelajar, mahasiswa, wanita karir, ibu rumah tangga, PNS, pegawai swasta dan berbagai usia (tua, muda, anak-anak) bisa mengikuti.


“Setiap esai mencerminkan minat dan kepedulian masing-masing penulisnya serta bayangan kepribadian penulisnya terhadap masalah yang ia tulis.” (Agus R. Sarjono)


_4_
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahui; sedang Allah mengetahuinya.  … “(8:60)

Teman, . . .
ada banyak hal yang bisa terjadi di luar pengetahuan dan kuasa kita. Bukankah sudah seharusnya kita mempersiapkan diri sejak sekarang? Menyiapkan fisik dan mental. Salah satunya dengan bela diri, sarana pengolah pikiran dan tubuh agar seimbang.


“Esai itu menggoda kita untuk merenungkan berbagai hal sekaligus.” (Sapardi Djoko Damono)
 

Cimahi, 22 Juni 2012


3 comments:

  1. Setuju ! Kapan ya saya bisa bergabung???

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
  2. Oh ya bisa kapanpun, hubungi aja Teh Rurry 0852 2068 0701, emg t2h tinggal ato kuliah dmn? Tar disesuaikan ma lanah (tmpat latihan) nya

    ReplyDelete