An Essay: Bela Diri
vs Wanita
Oleh: Dewi Erita
“Mungkin sekali banyak
orang telah menulis berbagai catatan yang berbentuk esai, tanpa penulisnya
sendiri tahu bahwa apa yang ditulisnya adalah esai.” (Ignas Kleden)
_1_
“Eh, ikutan thifan yuk?”
“Ah gak, saya mah ga minat sama bela diri”
“Kenapa?”
“Saya mah ga suka sama yang keras-keras kayak bela diri.”
Hmmm………….
Obrolan seperti ini acapkali
terjadi tiap mengajak teman untuk ikut bela diri. Yah, wajar memang. Bela diri
identik dengan kekerasan, pertarungan, perkelahian yang berakibat memar-memar.
Itu membuat bela diri menjadi sesuatu yang menakutkan, terutama bagi perempuan.
Bela diri cenderung didominasi oleh laki-laki yang secara fitrah lebih
kuat dari perempuan. Laki-laki juga memiliki ketahanan fisik yang lebih lama. Dengan
kelebihan itu, laki-laki patut dijadikan sebagai pelindung kaum perempuan.
Namun, potensi itu terkadang dapat disalahgunakan. Pelaku kejahatan yang
kebanyakan laki-laki, menargetkan
perempuan sebagai korbannya. Kekerasan, pelecehan seksual, dan pencurian tersebar
dimana-mana.
Dari uraian diatas,
Pernahkan kita berusaha untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi atau
mencoba meminimalisirnya?
Beraktivitas di rumah (tidak terlalu sering keluar), pulang sebelum
magrib, berjalan bersama teman bisa jadi solusi. Namun, apakah kondisi ideal
itu bisa dialami semua perempuan?
Ada perempuan yang memang diharuskan keluar malam, pergi sendiri, dan
aktivitas di luar rumah. Itu dilakukan untuk kebutuhan, tuntutan kuliah,
pekerjaan, dll.
Lalu adakah solusi lain?
“Kalau obrolan adalah
bentuk penuturan lisan, maka esai adalah perwujudannya dalam bentuk tulisan.”
(Ignas Kleden)
_2_
Pertahanan diri menjadi modal utama eksis di dunia luar. Mulai dari
membawa benda-benda tajam seperti jarum pentul, peniti, pisau lipat, payung,
atau kipas sampai membawa pengawal seperti paspampres (pasukan pengawal
presiden, gaya lah^^).
Sebenarnya, nenek moyang kita telah mewariskan suatu pertahanan diri alami
yang mereka kuasai selama hidup. Apakah itu?
Namanya Pencak Silat, seni bela diri dari Asia, sebuah budaya Melayu.
Saat ini Pencak Silat sudah melahirkan banyak aliran, yaitu Silat Perisai Diri,
Silat Merpati Putih, Silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Silat Elang Putih,
dll. Selain Pencak Silat, bela diri dari Indonesia yaitu Kuntao (seni bela diri
etnis keturunan China) dan Tarung Derajat.
Apa sih bela diri itu?
Bela diri adalah satu kesenian yang timbul sebagai satu cara seseorang
mempertahankan diri.
Apakah bela diri bisa menjadi solusi yang baik untuk perempuan?
Bukankah bela diri itu sifatnya keras dan perempuan itu lembut?
Bagaimana bisa menyatukan dua sifat yang kontradiktif?
Teman, bela diri itu tidak identik dengan kekerasan. Bela diri sendiri
ada bermacam-macam jenisnya. Salah satunya adalah Thifan Po Khan, seni bela
diri asal China. Thifan Po Khan di Indonesia melahirkan beberapa aliran lagi,
diantaranya Thifan Po Khan Tsufuk yang base
camp-nya di Masjid Al Fitrah Pindad, Kiara Condong, Bandung. Thifan Tsufuk
adalah bela diri untuk laki-laki dan perempuan. Thifan Tsufuk khusus perempuan
dinamakan Puteri Gading.
Puteri Gading adalah bela diri khusus perempuan. Gerakan, teknik, dan
jurus-jurusnya berbeda dengan laki-laki. Kenapa harus dibedakan? Karena
disesuaikan dengan fitrah perempuan dan bentuk tubuhnya. Prinsip gerakan Puteri
Gading adalah lembut tapi mematikan, sedangkan laki-laki cenderung pada olah
fisik yang menghasilkan otot tubuh. Kenapa harus lembut? Supaya tidak mengubah
bentuk tubuh asli perempuan. Bayangkan bila perempuan melakukan gerakan jurus
laki-laki dan tubuhnya jadi berotot seperti Ade Rai, nampak aneh bukan?
“Kesastrawanan
seseorang dinilai pula dari esai-esainya karena nyaris semua sastrawan hebat
adalah esais hebat dan sastrawan yang menulis esai hebat hampir pasti merupakan
penyair, novelis atau cerpenis yang hebat.” (Agus R. Sarjono)
_3_
Dalam suatu diskusi setelah ujian kenaikan tingkat di Pindad, . . .
Banatin (murid perempuan): “Ustadz, saya dengar, bahwa dulu kita
latihan dengan standar teknik jurus yang tinggi, power full, kriteria lulus
ujian sangat ketat. Lalu kenapa sekarang, standar-standar seperti itu diturunkan?
Bukankah itu mematikan potensi?”
Ustadz: “Zaman dulu standar yang ditetapkan sangat ketat karena tujuannya
menjadikan tamid (murid laki-laki) dan banatin seorang pendekar tangguh. Kemampuan
beladiri sangat dibutuhkan saat itu. Bila tidak, mudah terbunuh oleh musuh yang
ada dimana-mana. Zaman sekarang cenderung aman. Kita bebas jalan-jalan ke manapun
tanpa takut terbunuh di tengah jalan. Karena itu standar thifan diturunkan.
Saat ini bela diri yang diajarkan untuk tujuan kesehatan, apalagi banyak
banatin yang ummahat (ibu-ibu).”
Dari tanya jawab itu dapat kita simpulkan bahwa konsentrasi bela diri
terbagi menjadi tiga:
1.
Bela diri untuk kesehatan
2. Bela
diri untuk pertengahan
3. Bela
diri untuk atlet
Bela diri untuk kesehatan dan pertengahan porsi latihannya seminggu
sekali. Kualitas latihannya pun disesuaikan. Bela diri untuk atlet tentu lain
lagi kadarnya. Untuk gambaran kita bisa lihat di Shaolin. Shaolin mengharuskan
muridnya tinggal di semacam padepokan. Berlatih 3x sehari (disiplin seperti
minum obat resep dokter ^^) dan melakukan hal-hal lainnya. Hasilnya, mereka
jadi pendekar-pendekar tangguh.
Bagaimana gambaran latihan Puteri Gading?
Perempuan itu macam-macam. Ada perempuan yang sangat lembut, sehingga
dalam berlatih jurus pun terbawa lembut, benturan-benturan pun hanya berupa
sentuhan. Ada tipe akhwat yang sedang, tidak terlalu lembut dan tidak terlalu
keras dengan power standar. Ada pula tipe akhwat yang yang memiliki power yang
kuat, dalam berjurus mengeluarkan power tingkat tinggi sehingga full contact. Benturan dengan tekanan
yang kuat antara kaki dan tangan sering terjadi. Nah, yang paling pas adalah perempuan
yang fleksibel. Dia bisa mengatur kekuatan power sesuai lawan. Bila lawan
lembut, dia akan lembut, bila sedang, akan sedang, bila kuat, akan kuat.
Siapa saja murid-murid yang berlatih Puteri Gading?
Porsi latihan yang seminggu sekali, menjadikan banyak kalangan
perempuan, seperti pelajar, mahasiswa, wanita karir, ibu rumah tangga, PNS,
pegawai swasta dan berbagai usia (tua, muda, anak-anak) bisa mengikuti.
“Setiap esai
mencerminkan minat dan kepedulian masing-masing penulisnya serta bayangan
kepribadian penulisnya terhadap masalah yang ia tulis.” (Agus R. Sarjono)
_4_
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahui; sedang Allah mengetahuinya. … “(8:60)
Teman, . . .
ada banyak hal yang bisa terjadi di luar pengetahuan dan kuasa kita.
Bukankah sudah seharusnya kita mempersiapkan diri sejak sekarang? Menyiapkan
fisik dan mental. Salah satunya dengan bela diri, sarana pengolah pikiran dan
tubuh agar seimbang.
“Esai itu menggoda
kita untuk merenungkan berbagai hal sekaligus.” (Sapardi Djoko Damono)
Cimahi, 22 Juni 2012
Setuju ! Kapan ya saya bisa bergabung???
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteOh ya bisa kapanpun, hubungi aja Teh Rurry 0852 2068 0701, emg t2h tinggal ato kuliah dmn? Tar disesuaikan ma lanah (tmpat latihan) nya
ReplyDelete