Cerpen: Lempuyangan – Kiaracondong
Oleh Dewi Erita
Suasana panas sudah
terasa sejak siang memasuki bumi. Bangku kereta sudah hampir penuh terisi oleh
pemilik tiket. Kereta ekonomi memang hobi sekali berhenti di tengah rel. Entah
karena takut atau berbaik hati membiarkan kereta eksekutif dan bisnis lewat
terlebih dahulu. Saat kecepatan nol inilah, oven kereta sangat terasa. Keringat
membanjiri kulit. Tidak hanya titik – titik air, tapi mengucur bak keran air.
Wahai bumi, kau semakin panas saja. Koran bilang kau sudah naik satu
derajat.
Untungnya, kereta
ekonomi menyediakan lagu-lagu indah yangs senantiasa diputar. Terlebih saat
berhenti, volume senandung lebih keras, sambut menyambut, susul menyusul.
“Telor asiiin, oleaan, oleaan.
Telor asiiin, yang angeet, yang angeet.”
“Air es,
dingin, akua, mijon.”
“Fanta,
akua, minum.
Tisu, akua,
rokok.”
Indahnya, masing-masing bernyanyi sembari menawarkan barang bawaan. Beberapa
orang ada yang langsung to the point.
“Kasian Mbak ee, Pak ee.”
Merasa tersaingi, bayi
pun ikut berebut suara.
“Eaaaaa . . . eaaaaaaa . . . .”
“Nguuuuuuuung … ”, kedatangan kereta
bisnis menutup semuanya. Panjangnya
gerbong menghentikan waktu beberapa detik.
Kereta maju, konser yang padam mulai
hidup lagi. Kali ini hanya
satu – satu. Kulihat pemandangan di luar jendela. Hijau, biru, dan coklat,
paduan alam yang serasi. Angin berhembus lembut pada tubuh-tubuh yang penuh
keringat. Teringat saat pertama naik kereta ekonomi. Duduk di depan wc,
menikmati siaran langsung pemandangan hijau, biru, dan coklat yang sama. Udara segar
mereka berikan cuma-cuma sebanyak-banyaknya. Sesekali pertunjukkan dalam koridor
sempit itu menampilkan jurang yang dalam. Antara kereta dan dasar jurang
berjarak puluhan meter. Kaku badan ini membayangkan jarak antara hidup dan mati
hanya beberapa sentimeter. Tangan kuat menggenggam pinggir wc, kaki memasang
kuda-kuda agar tidak bergeser. Pilihan mati bisa dipesan, jurang tanah atau
jurang danau, terbentur daratan atau tenggelam di air.
“Tiket
Mbak”, seorang pengawal kondektur menagih karcis. Selesai melubangi kertas,
kondektur melihatku heran, ada perempuan berani duduk di samping pintu kereta
yang terbuka.
“Mbak,
kenapa duduk disini, di dalam aja?”
“Disana banyak asap rokok,” jawabku
sambil tersenyum cantik.
Entah
karena kejadian itu atau bukan. Perjalanan kereta ekonomi berikutnya lebih
bersahabat, tanpa asap rokok di dalam kereta, plus cap basah bergambar bebas
rokok pada tiket.
Sementara itu, kereta berhenti lagi. Penyanyi-penyanyi
kembali ramai.
“Lanting
lanting,
pedes
manis.”
“Sale
pisang,
sale
pisang.”
“Tisu
basah, TTS
tisunya,
mijon.”
“Kopi,
kopi, kopi, kopi
kopi
panas.”
“Lontong,
pecel, pecel.”
Di antara mereka, ada beberapa yang
menjadi favorit. Seorang laki-laki tiga puluhan memiliki daya tarik dalam
liriknya.
“Es teh, sewu, es teh
santen gula asli,
ora enak, mboten bayar.1”
Satu lagi seorang wanita empat
puluhan, memiliki lagu yang indah didengar. Badan serasa melayang,
berayun-ayun, serta memberi efek relaksasi.
“Bakwan,
lontong, peceeel
tempe mendoan, peceeel.”
Mereka
semua unik. Pelanggan eksekutif dan bisnis tidak akan menikmati semua ini.
Di tengah perjalanan,
terkadang aroma wc menyebar rata dalam kereta. Hidung-hidung yang sempat
menangkap udara khas ini, melepaskannya kembali, seolah itu sesuatu yang biasa.
Sore menjelang. Hawa panas tergantikan angin dingin. Kereta berhenti,
lagi.
“Jalur tiga
Kereta Pasundan dari arah timur menuju Stasiun Kiaracondong Bandung siap
diberangkatkan kembali,” suara kepala stasiun keluar dari pengeras suara
diiringi suara panjang klakson. Kereta berangkat.
Nasi, ayam, dan sayur leunca menjadi
makan siang sekaligus makan malam. Hangatnya bungkusan ditambah bumbu kelapa
dan segarnya sayur memberi kesan nikmat luar biasa pada lidah yang lapar. Tiap
suapnya begitu berharga. Telinga pun dimanjakan oleh nyanyian demi nyanyian.
“Nuwun sewu Pak e
Nuwun sewu Mak e
Kulo numpang ngamen nang kene
Ojo podo nesu
Ojo podo nesu2
. . . “
Hari sudah maghrib saat kereta
sampai di Stasiun Tasikmalaya.
“Barade roti, barade roti
Sarebuan, sarebuan”3
“Tilu rebuan, tilu rebuan
lengkeng, lengkeng”4
Penumpang dalam kereta mulai
berkurang. Kursi-kursi sudah ditinggalkan pemiliknya. Penghuni tersisa
mengambil satu kursi panjang untuk dipakai sendiri. Seorang remaja wanita dari
bangku seberang pindah ke kursi tepat di depanku. Wajahnya tampak lega, seolah
baru terbebas dari tekanan. Beberapa menit kemudian, raut mukanya kembali
waspada saat ada laki-laki bangku lain duduk di sebelahnya.
Malam tiba. Di toilet, udara segar
dari jendela tanpa kaca menyapa, segar dan dingin. Pemandangan malam, kerlap
kerlip lampu bak bintang di langit, indah. Pegangan wc yang halus membuatku
tetap stabil di ruang basah itu. Tas mini berisi air putih kugantung.
Membiarkan tempat minum tanpa pengawasan dapat mengundang penjahat memasukkan
sesuatu ke dalamnya.
Kembali duduk di bangku. Tetap
santai dan siaga. Raut wajah tenang dan percaya diri. Laki-laki di sebelah
remaja itu pergi. Dengan cepat, posisi duduk wanita muda itu memanjang tanpa
meninggalkan ruang kosong. Headset
dan handphone yang terpasang membuatnya
terlelap.
“Sawo,
sawo, sawo
sapuluh dua lima,
biasa dua puluh, ayeuna di dualimakeun,5
sawo, sawo, sawo”
Memasuki Stasiun
Kiaracondong, kereta berhenti. Perjalanan panjang penuh cerita dan pengalaman.
Melatih mental untuk semakin cerdas dimanapun, sholehah kepada siapapun, dan
cantik kapanpun.
Cimahi,
7 November 2012 _ 23 Dzulhijjah 1433 H
Catatan:
1
Es teh, seribu,
es teh. Santan
gula asli. Tidak enak, gratis.
2 Permisi Pak.
Permisi Bu. Saya ikut ngamen di sini. Jangan marah.
3 Mau beli roti, seribu.
4 Tiga ribu, lengkeng.
5
Sepuluh ribu dua
puluh lima buah. Biasanya dua puluh buah.
Lomba
Menulis ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Festival Muslimah
Indonesia bekerjasama dengan FLP Bandung yang akan dilaksanakan pada tanggal 30
Januari s/d 3 Februari 2013. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui:
web : www.festivalmuslimah.com
Twitter : @MuslimahFest
Contact
person : 083821299555 (Silvia)
085659275411 (Greeny)
No comments:
Post a Comment