Saturday 27 October 2012

RESENSI: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma


Resensi: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Oleh Dewi Erita


Sastra tidak dibawa malaikat dari langit.
Sastra tidak datang begitu saja.
Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial-budaya zamannya.
Maka, membaca karya sastra pada hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu.
Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga.
(Maman S. Mahayana)

Mengikuti jalannya Kamisan FLP Bandung pada tanggal 18 Oktober 2012 yang membahas cerpen “Ave Maria”, salah satu karya Idrus dalam buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” yang dijelaskan oleh Imas Saripah, membuat penulis tertarik untuk membaca seluruh cerita.

          Kumpulan karya Idrus dalam buku ini terdiri dari periode zaman Jepang dan sesudah 17 Agustus 1945 serta periode antara dalam bab Corat-Coret di Bawah Tanah.


Zaman Jepang
Cerpen “Ave Maria” dan Drama “Kejahatan Membalas Dendam” bercerita tentang kisah percintaan. Meskipun begitu, nuansa perjuangan sangat kental dan menjadi dasar adanya alur cerita. Ave Maria berkisah tentang Zulbahri, seorang suami yang baru beberapa bulan menikah, namun mengalami kegellisahan tentang masa depan rumah tangganya. Sumber keretakan itu datang. Zulbahri yang sadar bahwa dari awal dia adalah perebut kekasih orang, merelakan istrinya bersama pasangan masa lalunya. Setelah menghilangkan diri, Zulbahri menjadi kacau pikirannya. Yang menarik dari cerita ini adalah sejak dia membaca cerpen dalam berbagai majalah, kondisi pikiran dan jiwanya menjadi baik. Dia juga sadar bahwa selama ini hanya mementingkan diri sendiri. Akhirnya, untuk membaya kesalahan masa lalu dia bergabung dengan kelompok pembela tanah air.

Demikianlah hendaknya semangat pengarang Indonesia semua. Tidak ada kertas, tulis dimana saja. Jangan pikiran terbelenggu oleh yang kecil-kecil. (Asmadiputera)

Kejahatan Membalas Dendam memiliki kerangka percintaan, padat akan perjuangan, dan lengkap dengan variasi kejiwaan tokoh. Ishak, seorang pengarang, mengisi hari-harinya dengan menulis. Dia berusaha mengubah pola pikir masyarakat agar mereka sadar bahwa kebebasan tanah air harus diperjuangkan. Konflik timbul saat sahabat baiknya berusaha menghancurkan hidupnya.  Dalam kondisi yang serba sulit, Ishak tetap konsisten menulis dan menghasilkan karya yang luar biasa.

Lebih baik menulis kebenaran satu halaman dalam sebulan daripada membohong berpuluh halaman dalam sehari. (Ishak)


Corat-Coret di Bawah Tanah
                Kumpulan cerpen dalam bab ini benar-benar memilukan. Kita diajak melihat gambaran masa itu, saat nenek moyang kita diperlakukan seperti binatang. Disiksa, dipukul, dihilangkan anggota badannya, bahkan nyawanya. Kejahatan seksual mudah sekali dilakukan seperti membeli makan siang di warung makan, bersama siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Makanan juga sulit sekali didapat, layaknya membeli emas. Hal-hal menonjol lainnya yaitu: 

1.       Pengkastaan manusia
Nippon (orang Jepang), Belanda, Belanda Indo, dan Tionghoa menduduki kasta atas dan penduduk asli adalah kasta bawah. Orang Indonesia diperlakukan seperti budak, kecuali orang-orang yang memiliki jabatan dan uang. Rasa kemanusiaan pun hampir tidak ada.
Seorang anak muda melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya lambat-lambat, “Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakannya saja, seperti binatang saja diperlakukannya.” (hal. 77)

2.       Kondisi Pangan
Makanan seperti batu mulia, hanya orang-orang kaya saja yang mendapatkannya. Sisanya makan makanan sisa orang, makanan hewan, bangkai ayam, atau bangkai orang. Parahnya, ada juga yang melakukan onani sebagai pengganti makanan.
Mereka mengemis meminta sisa makanan orang. Akan tetapi, mereka tidak saja memakan makanan orang, juga makanan anjing sudah sedap pula  oleh mereka. (hal. 82)
Jika ada bangkai ayam atau bangkai orang hanyut, tergesa-gesa ia turun ke kali itu, diangkatnya bangkai ke tepian dan … dimakannya. (hal. 83)
Mereka semua pucat. Mereka melakukan onani … untuk menghilangkan lapar. (hal. 83)

3.       Kondisi wanita
Sulitnya mencari uang dan makanan membuat rakyat liar. Apapun mereka lakukan demi menyambung hidup. Pelacuran menjadi pekerjaan yang paling menjanjikan.
“Beribu-ribu anak-anak gadis melamarkan diri untuk menjadi perempuan jalang. Mereka ini mencari uang, uang … untuk pembeli beras, buat sanak saudara. (Hal. 83)

4.       Kondisi transportasi
Trem adalah angkutan umum masa itu. Jumlahnya sedikit sehingga penumpang harus rela berdesakan, keadaannya sangat kotor dan bau.
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing, dan ayam. Hari panas, orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam Trem susah bernapas, tetapi orang merokok juga. (hal. 76)

5.       Keluguan orang Indonesia
Orang Indonesia sedikit yang bersekolah, itupun hanya sampai tingkat dasar. Ini yang menjadi akar dari masalah-masalah kecil berefek besar. Misalnya dalam keadaan serba sulit, seseorang dapat melakukan apa saja tanpa pertimbangan termasuk judi yang berakibat pada kematiannya sendiri. Ada juga yang salah mengajukan pertanyaan, akhirnya dipenjara. Yang mengenaskan adalah seseorang yang rajin bekerja, namun karena tidak mengerti arti dari suatu jabatan, tewas pula.
Sebagai terpaku duduk seorang-orang Indonesia, kurus seperti tonggak telepon, menghadapi meja rolet. . . . Yang diketahuinya hanya bahwa ia harus meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa helai uang kertas. Begitu berturut-turut . . . Beberapa hari sudah itu terdengar kabar angin, di kampung anu, si anu telah menggantung diri, karena … kalah rolet. (Hal. 88-89)
Hanya radio umum yang selalu bicara kepadanya, tentang pecah sebagai ratna, pengangkatan sanyo. Tidak ada yang dapat dimengerti oleh Kadir, seakan-akan radio umum itu orang asing baginya . . . “Dari sekarang aku mesti mengetahui arti sanyo. Dipertakutnya saja aku dengan perkaraan itu. Siapa tahu sanyo itu orang biasa saja. Tukang catut misalnya.” . . . “Yang hendak saya tanyakan ini, Tuan. Apa sanyo itu tukang catut?” Laki-laki itu terkejut dan marah katanya, “Apa katamu? Engkau jangan menghina Dai Nippon, ya. Engkau tahu siapa ini? Mata-mata ini. Ayo mari ke kantor polisi. Jahanam.” (hal. 90-93)
“ . . . Kau kira aku suka engkau jadi Heiho? Sehelai rambut pun aku tidak rela. Jika engkau mati, siapa yang akan mengembalikan engkau kepadaku, Nippon?” Kartono terkejut mendengar perkataan Miarti itu. Sangkanya Miarti akan bergirang hati betul. Bingung jawabnya, “Kan aku hendak membela tanah air.” “Tanah air? Mana tanah airmu? Engkau tahu apa arti Heiho? Kalau dalam rumah tangga Heiho itu dinamakan jongos, tolol!” Pukul 8 malam Kartono sudah ada di asrama dan 8 bulan sudah ia meninggal dunia di Birma. (hal. 108-109)

6.       Egoisme tinggi
Padi rakyat panen tiap tahun, tapi seluruhnya diangkut ke Jepang. Penduduk hanya diberi seperlima liter per keluarga, bahkan kurang dari itu.
Dengan lemah lembut ia berkata, “Nyonya Sastra, seperlima liter kan tidak sampai. Dari mana dicari tambahnya? Suami saya tidak dapat bekerja lagi” . . . “Tolonglah saya , Nyonya. Anak saya dua sedang kuat makan.” Semua anggota merasa kasihan. Dengan tegas Nyonya Sastra berkata, “Nyonya Salim, saya tidak dapat menolong. Sudah ditetapkan begitu.” (hal. 96)

7.       Korupsi
Inilah sifat negatif yang terus berkembang, berlanjut ke masa reformasi.
“Karcis-karcis,” kata kondektur. Semua orang mengeluarkan uangnya. Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?” Seorang daripada mereka berkata, “Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.” Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya, dimasukkannya kedalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis, ya.” (hal. 101)



Sesudah 17 Agustus 1945
Cerpen  Kisah Sebuah Celana Pendek dan Surabaya memberikan poin menarik:
1.       Hal yang paling melekat saat terjadi pendudukan Surabaya adalah semangat persatuan dan keinginan untuk merdeka. Keyakinan bahwa Allah merupakan sebab mereka berjuang begitu dalam. Idrus menawarkan sisi lain.
Kemenangan berturut-turut memabukkan manusia. Orang-orang bertambah percaya kepada Tuhan baru dan meninggalkan Tuhan lama sama sekali. Karabin dan revolver dicintai seperti gadis-gadis molek jelita, dibelai-belai, dicium, dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. (hal. 119)
Orang-orang dalam mabuk kemenangan . . . Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. (hal. 116)

2.       Pemuda-pemuda seluruhnya turun ke medan juang, turut membela tanah air. Harga kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa. Mereka lebih baik mati saat melawan daripada hidup tapi terjajah. Namun, tidak semua pemuda memiliki rasa itu. Dimanapun pasti ada yang melenceng. Kalaupun ada yang berjuang, mereka menyombongkan diri karenanya. Dan yang paling memalukan, prajurit melakukan pelecehan.
“ . . . Pemuda lain menyabung nyawanya. Engkau melarikan diri seperti perempuan.” (hal. 122)
Amat, seorang pemuda yang dapat meloloskan diri dari penjagaan prajurit, membual dimana-mana. (hal. 126)
Di stasiun-stasiun dekat medan pertempuran semua penumpang kereta api harus turun . . . Laki-laki dan perempuan seperti Adam dan Siti Hawa . . . Mula-mula yang memeriksa orang-orang perempuan, pemuda-pemuda. Mereka meraba-raba badan perempuan itu. (hal. 127)

3.       Gegap gempita perang melahirkan kekuatan luar biasa dari pejuang. Semua orang bergerak. Namun, ada yang lebih memilih mementingkan pekerjaan dan kesejahteraan keluarganya, susah senang ditanggung sendiri. Rasa empati dengan memberi tempat perlindungan, makanan, dan pertolongan yang layak terhadap pelarian diabaikan.
“Pak Kusno buta politik. Ia tidak tahu, betapa besarnya arti penyerangan itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anaknya sudah tidak mempunyai celana lagi yang pantas dipakai. (hal. 112)
“Bersihkanlah sendiri kamar itu. Tempat tidur tidak ada. Kami miskin. Jangan harapkan apa-apa dari kami. Besok carilah pekerjaan.” (hal. 124)

4.       Kacaunya keadaan saat itu sangat dahsyat. Perasaan kehilangan membuat jiwa tertekan. Mereka harus meninggalkan rumah dan harta benda. Gangguan kejiwaan terlihat saat pelarian. Seorang perempuan tua menjadi gila. (hal. 120)

5.       Analogi cerita perang disusun secara sederhana menjadi suatu gambaran yang ada pada masa kini.
Koboi-koboi tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak, ambillah jiwa kami! Pada waktu berteriak itu mereka menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi. (hal. 118)

Cerpen terakhir masa ini berjudul Jalan Lain ke Roma, bercerita tentang seorang laki-laki yang mengawali karirnya menjadi guru Sekolah Rakyat. Konflik yang terjadi membuatnya dikeluarkan dari pekerjaannya. Perjalanan menjadi mualim dilalui. Setelah itu menjadi pengarang. Terakhir menjadi seorang penjahit. Semua peran itu dilakukan untuk merealisasikan nasihat ibunya bahwa dia harus menjadi orang yang berterus terang. Kisah pahit selama hidup membuatnya makin menyadari arti sesungguhnya dari terus terang dalam segala hal. Kebijaksanaan ini membawanya menuju kebahagiaan sejati, mencintai dan dicintai keluarga.

Jika ilmu sejarah kini menuntut perubahan sudut pandang dalam penulisan sejarah, yakni bukan sekadar memeriksa kejadian-kejadian penting tentang para pemimpin, melainkan segala sesuatu, betapapun tidak pentingnya, yang mampu mengungkapkan kembali gambaran aktual pada masa lalu, seperti kehidupan sehari-hari rakyat, maka buku ini adalah jawabannya.
(Seno Gumira Ajidarma)


Idrus. 2010. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Balai Pustaka

Bantul, 27 Oktober 2012 _ 11 Dzulhijjah 1433 H

No comments:

Post a Comment