Cerpen: Kutukan PNS
Oleh Dewi Erita
Aku tidak tahu
bagaimana asal mula kejadiannya. Di balik ingatan yang samar-samar dalam
kondisi setengah mimpi setengah sadar,
“Sidang kasus penyalahgunaan
peluang, dibuka.”
Tok . . . tok . . . tok . . .
Suasana hening, aku duduk di tengah ruangan. Di depan duduk seorang
laki-laki setengah baya memakai baju yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Di sebelah
kiri, ada beberapa orang laki – laki dan perempuan, mereka juga memakai baju yang
terlalu besar.
“Mas Jaksa, dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan”
Seorang laki-laki berdasi mendekat ke tengah ruangan.
“Terima kasih, Mas Hakim.”
Laki – laki yang disebut Mas Jaksa itu melihat kertas yang dibawanya
sekilas.
“Mbak Saudari didakwa karena melanggar pasal sekian yang berisi
penyalahgunaan peluang sebagai bidan. Bukti yang kami terima adalah rekaman percakapan
saudari dengan keluarga yang intinya adalah penolakan saudari untuk menjadi PNS
atau PTT. Apakah saudari mengakuinya?”
Entah kenapa aku tidak bisa menggunakan pita suara, mungkin sudah
menjadi aturan persidangan bahwa terdakwa tidak boleh menjawab dengan mulut.
Aku menggeleng. Terdengar suara ribut-ribut dibelakang, masing-masing
mengeluarkan suaranya.
Tok . . . tok . . . tok . . .
“Hadirin harap tenang,” Mas Hakim menenangkan peserta yang hadir.
Suara ribut berhenti.
“Banyak orang berharap ingin menjadi PNS, kehidupan terjamin, dapat
gaji tiap bulan, dan kerjanya enak. Bila Mbak ditempatkan di rumah sakit atau
puskesmas dengan tempat tidur (PKM DTP), maka pembagian kerjanya teratur, ada
shift pagi, siang, malam dan libur. Mbak juga dapat cuti tahunan, cuti menikah,
dan cuti melahirkan 3 bulan tanpa potong gaji. Ada juga yang dapat bingkisan
lebaran. Atau kalo Mbak di puskesmas tanpa tempat tidur (PKM non DTP), pergi
pagi pulang siang jam 12.00, terus libur hari Minggu dan hari libur nasional. Benar
– benar terjamin, Mbak. Apalagi nanti . . . “
Ceramah Mas Jaksa terus berlangsung selama beberapa jam.
“ . . . Nah, jadi begitu, Mas harap Mbak mau merubah pikiran agar
semua tuntutan dapat ditarik dan
langsung dibebaskan. Bidan, perawat, dokter, analis, ahli gizi, dan ahli
kesehatan lingkungan memang ditakdirkan untuk menjadi PNS atau PTT. Dengan
begitu . . . “
Ceramah itu terus berlanjut, isinya adalah pengulangan kata-kata yang
intinya seperti kata-kata diawal. Benar – benar membosankan.
“ . . . Coba lihat teman-temanmu, sudah diterima PNS dan PTT di RSHS, RSKIA
Astar, RSUD Uber, PKM berbagai kota . . .”
Aku sempat ketiduran saking lelahnya mendengarkan ceramah. Pertanyaan
penghabisan membuatku terjaga.
“Apakah saudara ingin menjadi PNS?”
Aku terdiam. Hadirin yang menyaksikan sidang dibelakangku tahan nafas.
Suasana hening mencekam. Aku menggeleng lagi. Peserta dibelakangku ribut lagi. Kali
lebih berisik dan keras sehingga beberapa kata tertangkap telingaku.
“Sayang ih . . .”
“Aneh . . .”
“Bodoh . . .”
Tok . . . tok . . . tok
Suara palu Mas Hakim mendiamkan mulut mereka.
“Mas Hakim yang terhormat, saya kira Mbak Saudari mengalami gangguan
jiwa. Jadi sebaiknya terdakwa direhabilitasi. Sekian”, Mas Jaksa mundur dan
menghilang dari tengah ruangan
“Dengan mengingat, menimbang, memperhatikan, Saya putuskan Mbak Saudari
di rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Kehidupan.”
Tok . . . tok . . . tok . . .
Ruang sidang tiba-tiba berputar. Lingkaran-lingkaran itu membuatku pusing,
sakit kepala, dan mual.
Aku tiba disuatu kamar berukuran kecil. Terdapat tempat tidur, lemari,
meja, dan kamar mandi di sudut ruangan. Saat keluar kamar kulihat pintu-pintu
berjejer, di lantai atas juga sama. Ini tempat kos. Masuk ke kamar aku
menemukan beberapa amplop coklat, di dalamnya terdapat ijazah, transkip nilai,
SIB, pas foto dan KTP.
Aku pergi ke alamat yang tertera di amplop. Daerah itu asing sehingga
aku harus berputar-putar mencari tempat tujuan. Perut lapar dan tidak ada uang untuk
membeli makanan. Seharian itu berpanas-panas, mandi keringat. Beberapa surat
sudah kumasukkan. Sampai di tempat kos menjelang malam. Di meja terdapat
makanan, aneh, karena lapar langsung kulahap. Besoknya sama, berpanas-panas,
mandi keringat, lapar, dan haus. Kupaksakan mencari tempat – tempat yang
tersisa. Sore hari, badan sudah lemas, tidak dapat digerakkan lagi. Tiba-tiba
sekelilingku berputar. Pusing, sakit kepala, dan mual terasa.
Sampai di tempat lain. Kali ini tempat kos agak lebih besar dan
terkesan mewah. Hanya lima kamar. Sama seperti tadi. Di meja sudah tergeletak
beberapa arsip lamaran. Aku pergi mencari tempat-tempat tujuan. Daerah itu pun
baru pertama kali kulihat. Panas, lapar, lelah seolah selalu ada dalam setiap
perjalanan. Malam hari, makanan tiba – tiba ada lagi. Besok dan besoknya sama.
Dengan kelelahan yang sama pula. Berputar lagi.
Sekarang di sebuah desa, banyak sawah, toko - toko masih sedikit dan pendudukpun
jarang terlihat. Menurut teman kos, penduduk daerah ini akan ramai bila lebaran
tiba. Di kamar, seperti biasa ada surat lamaran. Kali ini aku tidak memasukkan
ke tempat tujuan. Padahal dekat jaraknya. Panas tempat itu membuatku tidak
betah bila harus tinggal menetap. Sambil memanfaatkan waktu, aku bermaksud
berkeliling daerah asing itu. Tempat kos menyediakan sepeda. Jok sepeda yang tinggi,
melebihi batas duduk, membuatku ragu.
“Gimana, bisa?”, anak laki-laki berumur SMP mengujiku
“Ehm, ini ketinggian joknya, jadi nggak bisa.”
Anak itu langsung ke dalam dan berteriak,
“Woi, temen-temen, masa orang kota nggak bisa naik sepeda, piye to”
Mereka semua tertawa. Aku merasa diremehkan. Sebagai perwakilan orang
kota, naluriku berkata bahwa aku harus belajar menguasai sepeda tinggi.
“Mbak, kalo disini, anak yang masih SD sudah lancar pakai sepeda
tinggi”, sambung anak laki-laki itu
“Oh, ya sudah, saya pakai dulu sepedanya.”
Ku bawa ke jalan yang sepi. Berlatih cara naik dan berhenti dengan jok
yang tinggi. Beberapa menit, aku bisa. Akhirnya, berhasil membuktikan bahwa
orang kota juga bisa naik sepeda tinggi. Berpusing lagi.
Aku sampai di tempat kos lain. Kamar ini berisi lima orang. Ada dua kasur
di ranjang bertingkat dan dua matras dibawahnya. Masih sama, ada beberapa surat
lamaran di atas meja. Dalam beberapa hari, sudah kukirim ke tempat tujuan. Tempat
kos ini cukup besar dengan penghuni yang banyak pula. Dari mulai anak kecil
sampai pasangan suami istri dan anaknya juga ber-kos ditempat ini. Aku senang
disini, banyak teman. Kemudian tempat itu berpusing lagi dengan sensasi yang
sama. Pusing, sakit kepala dan mual. Kemana lagi?
Rasanya kulit ini sudah menebal, tidak merasa lelah dan sakit lagi. Air
di bola mata, entah pergi kemana. Tapi, jantung ini masih mau berdetak. Otak pun
masih bisa bekerja normal meskipun terdapat kerusakan dibeberapa tempat. Memori
yang tersisa muncul berupa kelebatan-kelebatan dan suara di ingatanku. Mungkin
benar, aku terkena gangguan jiwa. Sampai kapan ini berakhir?
Bantul, 25 Oktober 2012 _ 9 Dzulhijjah 1433 H
No comments:
Post a Comment