Thursday 25 October 2012

Cerita Pendek: Kutukan PNS


Cerpen: Kutukan PNS
Oleh Dewi Erita


                Aku tidak tahu bagaimana asal mula kejadiannya. Di balik ingatan yang samar-samar dalam kondisi setengah mimpi setengah sadar,

 “Sidang kasus penyalahgunaan peluang, dibuka.”
Tok . . . tok . . . tok . . .

Suasana hening, aku duduk di tengah ruangan. Di depan duduk seorang laki-laki setengah baya memakai baju yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Di sebelah kiri, ada beberapa orang laki – laki dan perempuan, mereka juga memakai baju yang terlalu besar.

“Mas Jaksa, dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan”
Seorang laki-laki berdasi mendekat ke tengah ruangan.
“Terima kasih, Mas Hakim.”
Laki – laki yang disebut Mas Jaksa itu melihat kertas yang dibawanya sekilas.

“Mbak Saudari didakwa karena melanggar pasal sekian yang berisi penyalahgunaan peluang sebagai bidan. Bukti yang kami terima adalah rekaman percakapan saudari dengan keluarga yang intinya adalah penolakan saudari untuk menjadi PNS atau PTT. Apakah saudari mengakuinya?”

Entah kenapa aku tidak bisa menggunakan pita suara, mungkin sudah menjadi aturan persidangan bahwa terdakwa tidak boleh menjawab dengan mulut. Aku menggeleng. Terdengar suara ribut-ribut dibelakang, masing-masing mengeluarkan suaranya.

Tok . . . tok . . . tok . . .
“Hadirin harap tenang,” Mas Hakim menenangkan peserta yang hadir.
Suara ribut berhenti.

“Banyak orang berharap ingin menjadi PNS, kehidupan terjamin, dapat gaji tiap bulan, dan kerjanya enak. Bila Mbak ditempatkan di rumah sakit atau puskesmas dengan tempat tidur (PKM DTP), maka pembagian kerjanya teratur, ada shift pagi, siang, malam dan libur. Mbak juga dapat cuti tahunan, cuti menikah, dan cuti melahirkan 3 bulan tanpa potong gaji. Ada juga yang dapat bingkisan lebaran. Atau kalo Mbak di puskesmas tanpa tempat tidur (PKM non DTP), pergi pagi pulang siang jam 12.00, terus libur hari Minggu dan hari libur nasional. Benar – benar terjamin, Mbak. Apalagi nanti . . . “

Ceramah Mas Jaksa terus berlangsung selama beberapa jam.

“ . . . Nah, jadi begitu, Mas harap Mbak mau merubah pikiran agar semua tuntutan dapat ditarik dan  langsung dibebaskan. Bidan, perawat, dokter, analis, ahli gizi, dan ahli kesehatan lingkungan memang ditakdirkan untuk menjadi PNS atau PTT. Dengan begitu . . . “

Ceramah itu terus berlanjut, isinya adalah pengulangan kata-kata yang intinya seperti kata-kata diawal. Benar – benar membosankan.

“ . . . Coba lihat teman-temanmu, sudah diterima PNS dan PTT di RSHS, RSKIA Astar, RSUD Uber, PKM berbagai kota . . .”

Aku sempat ketiduran saking lelahnya mendengarkan ceramah. Pertanyaan penghabisan membuatku terjaga.

“Apakah saudara ingin menjadi PNS?”
Aku terdiam. Hadirin yang menyaksikan sidang dibelakangku tahan nafas. Suasana hening mencekam. Aku menggeleng lagi. Peserta dibelakangku ribut lagi. Kali lebih berisik dan keras sehingga beberapa kata tertangkap telingaku.

“Sayang ih . . .”
“Aneh . . .”
“Bodoh  . . .”

Tok . . . tok . . . tok
Suara palu Mas Hakim mendiamkan mulut mereka.

“Mas Hakim yang terhormat, saya kira Mbak Saudari mengalami gangguan jiwa. Jadi sebaiknya terdakwa direhabilitasi. Sekian”, Mas Jaksa mundur dan menghilang dari tengah ruangan

“Dengan mengingat, menimbang, memperhatikan, Saya putuskan Mbak Saudari di rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Kehidupan.”

Tok . . . tok . . . tok . . .
Ruang sidang tiba-tiba berputar.  Lingkaran-lingkaran itu membuatku pusing, sakit kepala, dan mual.

Aku tiba disuatu kamar berukuran kecil. Terdapat tempat tidur, lemari, meja, dan kamar mandi di sudut ruangan. Saat keluar kamar kulihat pintu-pintu berjejer, di lantai atas juga sama. Ini tempat kos. Masuk ke kamar aku menemukan beberapa amplop coklat, di dalamnya terdapat ijazah, transkip nilai, SIB, pas foto dan KTP.

Aku pergi ke alamat yang tertera di amplop. Daerah itu asing sehingga aku harus berputar-putar mencari tempat tujuan. Perut lapar dan tidak ada uang untuk membeli makanan. Seharian itu berpanas-panas, mandi keringat. Beberapa surat sudah kumasukkan. Sampai di tempat kos menjelang malam. Di meja terdapat makanan, aneh, karena lapar langsung kulahap. Besoknya sama, berpanas-panas, mandi keringat, lapar, dan haus. Kupaksakan mencari tempat – tempat yang tersisa. Sore hari, badan sudah lemas, tidak dapat digerakkan lagi. Tiba-tiba sekelilingku berputar. Pusing, sakit kepala, dan mual terasa. 

Sampai di tempat lain. Kali ini tempat kos agak lebih besar dan terkesan mewah. Hanya lima kamar. Sama seperti tadi. Di meja sudah tergeletak beberapa arsip lamaran. Aku pergi mencari tempat-tempat tujuan. Daerah itu pun baru pertama kali kulihat. Panas, lapar, lelah seolah selalu ada dalam setiap perjalanan. Malam hari, makanan tiba – tiba ada lagi. Besok dan besoknya sama. Dengan kelelahan yang sama pula. Berputar lagi.

Sekarang di sebuah desa, banyak sawah, toko - toko masih sedikit dan pendudukpun jarang terlihat. Menurut teman kos, penduduk daerah ini akan ramai bila lebaran tiba. Di kamar, seperti biasa ada surat lamaran. Kali ini aku tidak memasukkan ke tempat tujuan. Padahal dekat jaraknya. Panas tempat itu membuatku tidak betah bila harus tinggal menetap. Sambil memanfaatkan waktu, aku bermaksud berkeliling daerah asing itu. Tempat kos menyediakan sepeda. Jok sepeda yang tinggi, melebihi batas duduk, membuatku ragu.

“Gimana, bisa?”, anak laki-laki berumur SMP mengujiku
“Ehm, ini ketinggian joknya, jadi nggak bisa.”
Anak itu langsung ke dalam dan berteriak,
“Woi, temen-temen, masa orang kota nggak bisa naik sepeda, piye to
Mereka semua tertawa. Aku merasa diremehkan. Sebagai perwakilan orang kota, naluriku berkata bahwa aku harus belajar menguasai sepeda tinggi.
“Mbak, kalo disini, anak yang masih SD sudah lancar pakai sepeda tinggi”, sambung anak laki-laki itu
“Oh, ya sudah, saya pakai dulu sepedanya.”

Ku bawa ke jalan yang sepi. Berlatih cara naik dan berhenti dengan jok yang tinggi. Beberapa menit, aku bisa. Akhirnya, berhasil membuktikan bahwa orang kota juga bisa naik sepeda tinggi. Berpusing lagi.

Aku sampai di tempat kos lain. Kamar ini berisi lima orang. Ada dua kasur di ranjang bertingkat dan dua matras dibawahnya. Masih sama, ada beberapa surat lamaran di atas meja. Dalam beberapa hari, sudah kukirim ke tempat tujuan. Tempat kos ini cukup besar dengan penghuni yang banyak pula. Dari mulai anak kecil sampai pasangan suami istri dan anaknya juga ber-kos ditempat ini. Aku senang disini, banyak teman. Kemudian tempat itu berpusing lagi dengan sensasi yang sama. Pusing, sakit kepala dan mual. Kemana lagi?

Rasanya kulit ini sudah menebal, tidak merasa lelah dan sakit lagi. Air di bola mata, entah pergi kemana. Tapi, jantung ini masih mau berdetak. Otak pun masih bisa bekerja normal meskipun terdapat kerusakan dibeberapa tempat. Memori yang tersisa muncul berupa kelebatan-kelebatan dan suara di ingatanku.   Mungkin benar, aku terkena gangguan jiwa. Sampai kapan ini berakhir?

Bantul, 25 Oktober 2012 _ 9 Dzulhijjah 1433 H

No comments:

Post a Comment