Esai: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Semua
Oleh Dewi Erita
Pagi itu,
“Pak,
festivalnya mulai jam berapa?”
“Nanti Mbak, opening jam 3
sore, paginya buat museum.”
Apa boleh buat, salah perkiraan, rupanya tidak bisa
menikmati salah satu rangkaian acara di Museum Vredeburg. Kali ini menuju Pasar
Beringharjo Centre, mengambil tawaran satu kerudung gratis dari toko. Senangnya.
Mendekati siang, menaiki Bus Trans untuk terakhir
kalinya ke Stasiun Lempuyangan. Saat bus menuju pemberhentian Malioboro 3
terlihat seorang pramugara shelter melayani laki-laki dengan tutup kepala
handuk kecil. Pintu bus terbuka,
“Koncone¹ Naruto,” ucap
pramugara shelter terhadap pramugara bus sambil tersenyum.
“Ha ha ha ha,” tawa tak tertahankan.
Rupanya itu turis Jepang. Sekilas mirip orang
Indonesia. Jadi teringat saat berada di shelter Prambanan. Datang dua turis
asing, satu wanita berwajah Eropa, satu laki-laki berwajah Asia. Lalu kutawari
duduk dengan body language.
“No, no, no,” laki-laki itu berkata sambil menggerakkan tangan, tanda
menolak secara halus.
Ada banyak ciri
khas turis asing yang selama ini terlihat. Mereka datang tanpa membawa
kendaraan pribadi, tapi naik kendaraan umum dan berjalan kaki. Bila shelter/
bus penuh sehingga sebagian orang harus berdiri, maka saat ada ruang kosong,
mereka menolak menempati dan lebih membiarkan orang lain untuk duduk. Barang bawaan
adalah tas gunung besar (sesekali koper) seperti hendak camping, baik laki-laki
maupun perempuan mengangkut beban yang sama. Mereka tidak banyak bicara kecuali
pada orang-orang tertentu, seperti pramugara-pramugari shelter/ bus, penjual
tiket di tempat wisata, dan tour guide
tempat wisata/yang mereka sewa sendiri. Kamera yang dibawa hanya untuk memotret
objek, bukan untuk mengambil gambar diri sendiri. Saat tour guide tempat wisata menjelaskan mengenai sesuatu, mereka
mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan sesekali bertanya sehingga terjadi
diskusi hangat. Mereka menghargai seseorang dari segi usaha dan kemampuannya,
bukan dari fisik, sehingga meskipun tour
guide sudah tua (bahkan ada yang sangat tua) dan penjelasan berbahasa
inggrisnya unik, tetap dihargai. Cara berjalan, keingintahuan, bahasa tubuh,
dan mobilitas sama lincahnya antara turis asing muda dan tua. Mereka tetap
berbaur dengan orang Indonesia dan tidak merasa canggung, meski dari segi
pakaian ada perbedaan.
Itu hanya segelintir
perbedaan mencolok antara turis asing dan turis domestik. Hanya dari yang
terlihat. Sangat disayangkan kemampuan berbahasa inggrisku tidak begitu baik.
Padahal banyak turis asing yang bisa diajak mengobrol, untuk sekedar berbagi
cerita. One day maybe, ho ho ho.
***
Belum
lengkap rasanya, mendatangi suatu kota tanpa menjelajahi universitas
terkenalnya. Hari terakhir sebelum pulang esok siang, mengunjungi Universitas
Gajah Mada. Perjalanan mulai Shelter Colombo menuju gerbang utama, dari gerbang
utama ke auditorium (Grha Sabha Pramana) lalu ke perpustakaan pusat.
Dari pintu masuk kita disambut oleh meja kaca
pameran berisi buku zaman dulu terjemahan asing beberapa jilid dalam keadaan
terbuka. Sekeliling berjajar rapi meja baca. Arah kiri terdapat American Corner (seperti yang ada di
ITB). Melihat ke atas menangkap beberapa lantai. Berjalan lurus, terdapat
perpustakaan lagi. Fasilitas dan teknologinya diatur sesuai standar universitas
internasional.
Berjalan ke luar gedung samping kiri bertemu
stasiun sepeda kampus. Kupinjam satu buah. Ternyata benar, tidak semudah yang
dibayangkan. Aku lupa cara mengendarai sepeda. Beberapa menit pertama
dihabiskan untuk belajar bersepeda. Otomatis jadi tontonan mahasiswa yang
lewat, bapak penjaga sepeda, dll. Malu memang. Tapi, bukankah akan lebih malu
lagi bila sadar tidak bisa naik sepeda dan tidak mau belajar?
Berbekal peta kampus yang ada di Buku Saku
Mahasiswa UGM 2012, kujelajahi kampus dengan berkendara sepeda. Wilayah yang
sangat luas dan pihak universitas menyediakan sepeda kampus gratis (seperti
angkot kampus gratis UNPAD Jatinangor). Berjam-jam mengelilingi hampir semua
fakultas. Taman biologi di Fak. Biologi, kandang sapi dan domba di Fak.
Peternakan dan Fak. Kedokteran Hewan, mesin-mesin di Fak. Teknik, benar-benar
menyenangkan. Ashar kuhentikan perjalanan. Di Shelter Sardjito istirahat
melepas lelah.
Salah satu yang
kusenangi di kota ini adalah kedudukan sepeda setara dengan motor. Jumlahnya jauh
lebih banyak dari sepeda Bandung. Rute-rute jalur alternatif sepeda disediakan.
Sepeda dipakai oleh penduduk semua usia, mulai anak-anak untuk berangkat
sekolah sampai nenek-nenek untuk pergi bertani. Selain itu, pengendara
kendaraan bermotor seperti bus, mobil pribadi, dan sepeda motor sangat tertib.
Di stopan jalan-jalan kecil, mereka berhenti di leher jalan, bukan di mulut
jalan. Di jalan raya berhenti di belakang zebra
cross. Jumlah kendaraan sedikit dan hampir tidak ada macet dan asap hitam
bus mengepul. Hanya ada bus kecil untuk transportasi umum, tidak ada angkot.
Yang lainnya ada becak, andong, dan taksi. Ukuran rambu-rambu lalu lintas
pendek (mini). Ukuran lebar jalan pendek (mini). Bangunan-bangunan kebanyakan
berlantai satu. Kalaupun ada gedung hanya sampai lantai dua/ tiga, seperti
bangunan untuk hotel.
Pemerintah
Yogyakarta dalam hal transportasi, benar-benar mengkondisikan diri sebagai kota
wisata internasional. Transportasi umum seperti bus kecil Trans Jogja tersebar
di lebih 70 titik. Tiap shelter terdapat dua pramugara/i yang siap menunjukkan
rute perjalanan. Disediakan pula Peta Mudik Jogja 2012 yang berisi Peta D.I.Y,
Peta Kota Yogyakarta, jaringan trayek dan halte Trans Jogja, serta nomor-nomor
telepon penting lain dan jadwal kereta secara gratis. Kita bisa keliling Jogja
dengan Bus Trans rute manapun dan berganti-ganti bus dengan tiket hanya Rp3.000,-
selama tidak keluar dari halte/ shelter. Insya Allah di kota ini kita tidak
akan nyasar meskipun baru pertama kali datang. Jadi, silakan ber-backpacker² ria.
***
Selesai menuntaskan tujuan pokok dalam tiga hari
pertama, sore itu langsung berangkat menuju Pantai Parangtritis. Dua puluh lima
kilometer dari shelter trans terdekat. Pemandangan selama naik bus Jogja –
Parangtritis penuh dengan hamparan sawah yang sangat luas. Warna hijaunya rata
dan membuat sejuk setiap mata memandang. Beberapa petak rata, padi sudah
dipanen dan sisa sampah tanaman dibakar, meninggalkan bulatan hitam besar
beberapa buah. Pepohonan banyak terdapat di kilometer – kilometer terakhir.
Semua itu menambah sejuk suasana meski terletak dekat pantai.
Lima puluh sampai seratus meter dari garis pantai,
sepatu kulepas. Butiran pasir pantai yang halus mulai menyentuh kaki, hangat
dan lembut. Kaki seolah terhisap ke pasir tiap melangkah, semua membekas
membentuk cetakan telapak kaki. Mendekat ke garis pantai, angin kencang
mengibarkan pakaian, sejuk karena angin lembab dari ombak tapi hangat dari
matahari. Ombak tinggi dan besar mendorong ombak dihadapannya dan didepannya
lagi berkejar-kejaran, terus bergulung mencapai pantai, membasahi kaki. Semakin
tinggi lidah air yang menyapu kaki semakin dalam telapak terhisap ke pasir.
Berjalan sepanjang garis pantai, menikmati
pemandangan matahari yang hampir tenggelam. Bulatan merah menyala membuat
suasana mandi warna oranye. Aah indahnya saat bisa menyaksikan langsung. Tapi
senja itu tidak akan kupotong untuk dibawa pulang, ha ha ha.
Tempat yang indah, namun harus ada perubahan. Kita putar
layar ke hamparan pasir. Disana, tidak ada pasir yang bebas dari jeratan
sampah. Siapa pelakunya? turis-turis domestik, orang Indonesia sendiri. Malu
rasanya terhadap bangsa lain yang datang berwisata kemari. Mereka disuguhi
pantai bersampah. Pemandangan indah yang tercemari oleh tangan-tangan kita
sendiri.
Pekerjaan besar dimasa mendatang tepat di depan
mata.
Begitupun dengan tempat wisata Taman Pintar. Gedung
taman ilmu pengetahuan dengan berbagai macam alat simulasi. Canggih dan modern,
tapi beberapa peralatannya rusak. Apa kita hanya bisa membangun tanpa bisa
memelihara?
Ruang audio visual Candi Prambanan menampilkan film
dokumenter berdurasi 20 menit. Mungkin film tersebut dibuat beberapa puluh
tahun yang lalu, sehingga yang menonton hanya menikmati 5-10 menit pertama,
selebihnya sibuk minta pulang. Mari sekarang kita ganti kacamata. Apa yang Kau
lihat?
Aku melihat di suatu ruangan terdapat ahli seni
rupa dan disain, sejarawan, sutradara, sastrawan, pengusaha, dan menteri
kebudayaan. Mereka sedang rapat membuat suatu produk sejarah, yaitu film
sejarah tentang Candi Prambanan berdurasi 90 menit dengan daya tarik setara film
Spiderman, Jurassic Park, Harry Potter, Transformer, dll.
Mengutip ceramah
Mochtar Lubis yang dibukukan dalam Manusia Indonesia (2001), ada penggolongan
beberapa tipe negara. Pertama, negara kaya dan orangnya kaya raya (Amerika). Kedua,
negara miskin tapi orangnya kaya raya (Jepang). Ketiga, negara kaya tapi
orangnya miskin (Indonesia). Dan keempat, negara miskin dan orangnya miskin. Kita
harus akui tinggal di negara kaya tapi miskin. Namun, pengakuan itu tidak harus
membuat kita pesimis. Yakinkan diri bahwa perubahan itu harus dimulai. Cobalah
untuk menahan sampah di tangan sebelum berjumpa dengan tong sampah. Pergunakan
dengan apik barang-barang milik umum. Hargai produk dalam negeri meski masih
membosankan. Simple, is it?
***
¹ Teman
² Wisatawan backpacker
merupakan orang-orang yang datang sendiri tanpa dikoordinir oleh perusahaan
perjalanan wisata untuk berwisata dengan konsep harga murah dari segala sisi.
Ciri khas: menginap di hotel murah, transportasi seadanya, dan kedatangan ke
DIY hanya untuk berwisata dan menikmati suasana.
Cimahi, 10 September 2012 _ 24 Syawal 1433 H
Bagitulah Jogja,,,tahun kemarin saya mengabiskan akhir tahun di sana. Menjadi turis, berbekal ransel dll. layaknya turis2 itu (hehe, hanya beda bahasa, nyunda pusan lah,,hehe)Sayang, sy belum punya kamera dan kamera milik teman sy tidak berfungsi sama sekali. Di sana bebas polusi, Ah, kapan ya saya melancong kesana lagi? merancanakan lagi dengan taman2 nih ^_^
ReplyDelete