Resensi: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Oleh Dewi Erita
Sastra tidak dibawa
malaikat dari langit.
Sastra tidak datang
begitu saja.
Ia lahir melalui
proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial-budaya zamannya.
Maka, membaca karya
sastra pada hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap
dalam karya itu.
Jadi, sastra menyimpan
pemikiran sastrawannya juga.
(Maman S. Mahayana)
Mengikuti jalannya Kamisan FLP Bandung pada tanggal
18 Oktober 2012 yang membahas cerpen “Ave Maria”, salah satu karya Idrus dalam
buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” yang dijelaskan oleh Imas Saripah,
membuat penulis tertarik untuk membaca seluruh cerita.
Kumpulan karya
Idrus dalam buku ini terdiri dari periode zaman Jepang dan sesudah 17 Agustus
1945 serta periode antara dalam bab Corat-Coret di Bawah Tanah.
Zaman Jepang
Cerpen “Ave Maria” dan
Drama “Kejahatan Membalas Dendam” bercerita tentang kisah percintaan. Meskipun
begitu, nuansa perjuangan sangat kental dan menjadi dasar adanya alur cerita.
Ave Maria berkisah tentang Zulbahri, seorang suami yang baru beberapa bulan
menikah, namun mengalami kegellisahan tentang masa depan rumah tangganya. Sumber
keretakan itu datang. Zulbahri yang sadar bahwa dari awal dia adalah perebut
kekasih orang, merelakan istrinya bersama pasangan masa lalunya. Setelah
menghilangkan diri, Zulbahri menjadi kacau pikirannya. Yang menarik dari cerita
ini adalah sejak dia membaca cerpen dalam berbagai majalah, kondisi pikiran dan
jiwanya menjadi baik. Dia juga sadar bahwa selama ini hanya mementingkan diri
sendiri. Akhirnya, untuk membaya kesalahan masa lalu dia bergabung dengan
kelompok pembela tanah air.
Demikianlah hendaknya semangat pengarang Indonesia semua. Tidak ada kertas,
tulis dimana saja. Jangan pikiran terbelenggu oleh yang kecil-kecil.
(Asmadiputera)
Kejahatan Membalas
Dendam memiliki kerangka percintaan, padat akan perjuangan, dan lengkap dengan
variasi kejiwaan tokoh. Ishak, seorang pengarang, mengisi hari-harinya dengan
menulis. Dia berusaha mengubah pola pikir masyarakat agar mereka sadar bahwa
kebebasan tanah air harus diperjuangkan. Konflik timbul saat sahabat baiknya
berusaha menghancurkan hidupnya. Dalam
kondisi yang serba sulit, Ishak tetap konsisten menulis dan menghasilkan karya
yang luar biasa.
Lebih baik menulis kebenaran satu halaman
dalam sebulan daripada membohong berpuluh halaman dalam sehari. (Ishak)
Corat-Coret di Bawah Tanah
Kumpulan cerpen dalam bab ini benar-benar
memilukan. Kita diajak melihat gambaran masa itu, saat nenek moyang kita
diperlakukan seperti binatang. Disiksa, dipukul, dihilangkan anggota badannya,
bahkan nyawanya. Kejahatan seksual mudah sekali dilakukan seperti membeli makan
siang di warung makan, bersama siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Makanan juga
sulit sekali didapat, layaknya membeli emas. Hal-hal menonjol lainnya yaitu:
1.
Pengkastaan manusia
Nippon (orang Jepang), Belanda,
Belanda Indo, dan Tionghoa menduduki kasta atas dan penduduk asli adalah kasta
bawah. Orang Indonesia diperlakukan seperti budak, kecuali orang-orang yang
memiliki jabatan dan uang. Rasa kemanusiaan pun hampir tidak ada.
Seorang
anak muda melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya
lambat-lambat, “Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakannya saja, seperti
binatang saja diperlakukannya.” (hal. 77)
2.
Kondisi Pangan
Makanan seperti batu mulia,
hanya orang-orang kaya saja yang mendapatkannya. Sisanya makan makanan sisa orang,
makanan hewan, bangkai ayam, atau bangkai orang. Parahnya, ada juga yang
melakukan onani sebagai pengganti makanan.
Mereka mengemis meminta sisa makanan orang. Akan tetapi, mereka tidak
saja memakan makanan orang, juga makanan anjing sudah sedap pula oleh mereka. (hal. 82)
Jika ada bangkai ayam atau bangkai orang hanyut, tergesa-gesa ia turun
ke kali itu, diangkatnya bangkai ke tepian dan … dimakannya. (hal. 83)
Mereka semua pucat. Mereka melakukan onani … untuk menghilangkan lapar.
(hal. 83)
3.
Kondisi wanita
Sulitnya mencari uang dan
makanan membuat rakyat liar. Apapun mereka lakukan demi menyambung hidup.
Pelacuran menjadi pekerjaan yang paling menjanjikan.
“Beribu-ribu anak-anak gadis melamarkan diri untuk menjadi perempuan
jalang. Mereka ini mencari uang, uang … untuk pembeli beras, buat sanak saudara.
(Hal. 83)
4.
Kondisi transportasi
Trem adalah angkutan umum masa
itu. Jumlahnya sedikit sehingga penumpang harus rela berdesakan, keadaannya
sangat kotor dan bau.
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong
dan berisi, kambing, dan ayam. Hari panas, orang dan binatang keringatan. Trem
bau keringat dan terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih,
kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam Trem susah bernapas, tetapi orang merokok juga. (hal. 76)
5.
Keluguan orang Indonesia
Orang Indonesia sedikit yang
bersekolah, itupun hanya sampai tingkat dasar. Ini yang menjadi akar dari
masalah-masalah kecil berefek besar. Misalnya dalam keadaan serba sulit,
seseorang dapat melakukan apa saja tanpa pertimbangan termasuk judi yang
berakibat pada kematiannya sendiri. Ada juga yang salah mengajukan pertanyaan,
akhirnya dipenjara. Yang mengenaskan adalah seseorang yang rajin bekerja, namun
karena tidak mengerti arti dari suatu jabatan, tewas pula.
Sebagai terpaku duduk seorang-orang Indonesia, kurus seperti tonggak
telepon, menghadapi meja rolet. . . . Yang diketahuinya hanya bahwa ia harus
meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah
berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa
helai uang kertas. Begitu berturut-turut . . . Beberapa hari sudah itu
terdengar kabar angin, di kampung anu, si anu telah menggantung diri, karena …
kalah rolet. (Hal. 88-89)
Hanya radio umum yang selalu bicara kepadanya, tentang pecah sebagai
ratna, pengangkatan sanyo. Tidak ada yang dapat dimengerti oleh Kadir,
seakan-akan radio umum itu orang asing baginya . . . “Dari sekarang aku mesti
mengetahui arti sanyo. Dipertakutnya saja aku dengan perkaraan itu. Siapa tahu
sanyo itu orang biasa saja. Tukang catut misalnya.” . . . “Yang hendak saya
tanyakan ini, Tuan. Apa sanyo itu tukang catut?” Laki-laki itu terkejut dan
marah katanya, “Apa katamu? Engkau jangan menghina Dai Nippon, ya. Engkau tahu
siapa ini? Mata-mata ini. Ayo mari ke kantor polisi. Jahanam.” (hal. 90-93)
“
. . . Kau kira aku suka engkau jadi Heiho? Sehelai rambut pun aku tidak rela.
Jika engkau mati, siapa yang akan mengembalikan engkau kepadaku, Nippon?”
Kartono terkejut mendengar perkataan Miarti itu. Sangkanya Miarti akan bergirang
hati betul. Bingung jawabnya, “Kan aku hendak membela tanah air.” “Tanah air?
Mana tanah airmu? Engkau tahu apa arti Heiho? Kalau dalam rumah tangga Heiho
itu dinamakan jongos, tolol!” Pukul 8 malam Kartono sudah ada di asrama dan 8
bulan sudah ia meninggal dunia di Birma. (hal. 108-109)
6.
Egoisme tinggi
Padi rakyat panen tiap tahun,
tapi seluruhnya diangkut ke Jepang. Penduduk hanya diberi seperlima liter per
keluarga, bahkan kurang dari itu.
Dengan lemah lembut ia berkata, “Nyonya Sastra, seperlima liter kan
tidak sampai. Dari mana dicari tambahnya? Suami saya tidak dapat bekerja lagi”
. . . “Tolonglah saya , Nyonya. Anak saya dua sedang kuat makan.” Semua anggota
merasa kasihan. Dengan tegas Nyonya Sastra berkata, “Nyonya Salim, saya tidak
dapat menolong. Sudah ditetapkan begitu.” (hal. 96)
7.
Korupsi
Inilah sifat negatif yang terus
berkembang, berlanjut ke masa reformasi.
“Karcis-karcis,” kata kondektur. Semua orang mengeluarkan uangnya.
Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta
api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?” Seorang daripada mereka berkata,
“Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.”
Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya,
dimasukkannya kedalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis,
ya.” (hal. 101)
Sesudah 17 Agustus 1945
Cerpen Kisah Sebuah Celana Pendek
dan Surabaya memberikan poin menarik:
1.
Hal yang paling melekat saat terjadi pendudukan
Surabaya adalah semangat persatuan dan keinginan untuk merdeka. Keyakinan bahwa
Allah merupakan sebab mereka berjuang begitu dalam. Idrus menawarkan sisi lain.
Kemenangan berturut-turut memabukkan manusia. Orang-orang bertambah
percaya kepada Tuhan baru dan meninggalkan Tuhan lama sama sekali. Karabin dan
revolver dicintai seperti gadis-gadis molek jelita, dibelai-belai, dicium, dan
dijual dengan harga yang sangat tinggi. (hal. 119)
Orang-orang
dalam mabuk kemenangan . . . Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang
bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya
lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur,
mortir. (hal. 116)
2.
Pemuda-pemuda seluruhnya turun ke medan juang,
turut membela tanah air. Harga kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa. Mereka
lebih baik mati saat melawan daripada hidup tapi terjajah. Namun, tidak semua
pemuda memiliki rasa itu. Dimanapun pasti ada yang melenceng. Kalaupun ada yang
berjuang, mereka menyombongkan diri karenanya. Dan yang paling memalukan,
prajurit melakukan pelecehan.
“ . . . Pemuda lain menyabung nyawanya. Engkau melarikan diri seperti
perempuan.” (hal. 122)
Amat, seorang pemuda yang dapat meloloskan diri dari penjagaan
prajurit, membual dimana-mana. (hal. 126)
Di stasiun-stasiun dekat medan pertempuran semua penumpang kereta api
harus turun . . . Laki-laki dan perempuan seperti Adam dan Siti Hawa . . .
Mula-mula yang memeriksa orang-orang perempuan, pemuda-pemuda. Mereka
meraba-raba badan perempuan itu. (hal. 127)
3. Gegap
gempita perang melahirkan kekuatan luar biasa dari pejuang. Semua orang
bergerak. Namun, ada yang lebih memilih mementingkan pekerjaan dan
kesejahteraan keluarganya, susah senang ditanggung sendiri. Rasa empati dengan
memberi tempat perlindungan, makanan, dan pertolongan yang layak terhadap
pelarian diabaikan.
“Pak Kusno buta politik. Ia tidak tahu, betapa besarnya arti
penyerangan itu. Yang diketahuinya hanya bahwa anaknya sudah tidak mempunyai
celana lagi yang pantas dipakai. (hal. 112)
“Bersihkanlah
sendiri kamar itu. Tempat tidur tidak ada. Kami miskin. Jangan harapkan apa-apa
dari kami. Besok carilah pekerjaan.” (hal. 124)
4.
Kacaunya keadaan saat itu sangat dahsyat.
Perasaan kehilangan membuat jiwa tertekan. Mereka harus meninggalkan rumah dan
harta benda. Gangguan kejiwaan terlihat saat pelarian. Seorang perempuan tua menjadi gila. (hal. 120)
5.
Analogi cerita perang disusun secara sederhana
menjadi suatu gambaran yang ada pada masa kini.
Koboi-koboi
tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka
berteriak, ambillah jiwa kami! Pada waktu berteriak itu mereka menembak.
Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi. (hal. 118)
Cerpen terakhir masa ini berjudul Jalan Lain ke Roma,
bercerita tentang seorang laki-laki yang mengawali karirnya menjadi guru
Sekolah Rakyat. Konflik yang terjadi membuatnya dikeluarkan dari pekerjaannya. Perjalanan
menjadi mualim dilalui. Setelah itu menjadi pengarang. Terakhir menjadi seorang
penjahit. Semua peran itu dilakukan untuk merealisasikan nasihat ibunya bahwa
dia harus menjadi orang yang berterus terang. Kisah pahit selama hidup
membuatnya makin menyadari arti sesungguhnya dari terus terang dalam segala hal.
Kebijaksanaan ini membawanya menuju kebahagiaan sejati, mencintai dan dicintai
keluarga.
Jika ilmu sejarah kini
menuntut perubahan sudut pandang dalam penulisan sejarah, yakni bukan sekadar
memeriksa kejadian-kejadian penting tentang para pemimpin, melainkan segala
sesuatu, betapapun tidak pentingnya, yang mampu mengungkapkan kembali gambaran
aktual pada masa lalu, seperti kehidupan sehari-hari rakyat, maka buku ini
adalah jawabannya.
(Seno Gumira Ajidarma)
Idrus. 2010.
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Jakarta: Balai Pustaka
Bantul, 27 Oktober 2012 _ 11 Dzulhijjah 1433 H