Esai: Cerita Pendek Berhikmah
Oleh Dewi Erita
Udara panas berebut menyambut
jejak pertamaku di kota ini. Hanya potret asing yang tertangkap saat pandang
kutebar. Di Kota Hawa Panas ini, aku mulai menebar langkah. Mengambil apa yang
terambil. Menebar benih tersisa. Untuk satu alasan, menyempurnakan bangunan
ikhtiar.
Matahari di atas kepala sudah
condong ke barat beberapa derajat. Kuperlukan datang menemui rekan kenalan di
kota ini. Petunjuk yang ada adalah alamat tinggal dan rute perjalanan. Angkot berhenti
di perempatan. Dari sini tenaga otot dipakai. Rasa bahagia berkesempatan
menjelajah negeri orang menutupi lelah kaki yang terasa sepanjang satu
kilometer itu.
Kampung Griya berisi rumah tembok
dengan gaya arsitektur khas perumahan, sederhana tapi indah. Nama-nama jalan
khas tumbuh-tumbuhan. Mesjid di tengah kompleks berdiri cukup besar dan
mencolok. Sekilas terlihat di teras, kumpulan orang melingkar, membahas
sesuatu. Kura-kura peliharaan menyambutku di rumah itu. Hewan pemalu, masuk ke
dalam saat kusentuh. Tuan rumah membantuku dengan senang hati. Beliau
menghubungi beberapa rekanan medis di kota ini, bertanya dan meminta saran. Aku
mendapat tiga tempat dari beliau. Jazakillah khairan katsiran Ummi.
Tempat tujuan pertama berada
dekat dari kampung ini bahkan sempat berpapasan. Namun perjalanan yang
seharusnya mudah dan singkat itu menjadi panjang karena aku kurang teliti dan
salah persepsi lokasi. Tersasar berputar bolak balik sampai ke daerah Timah. Ujung
terjauh bertemu bangunan baru SD Fikri.
“Pak, mau tanya, Klinik Fikri di
sebelah mana?”, bapak satpam menghentikan tilawah Qur’an dan menyambutku dengan
senyum hangat. Ah, indahnya pemandangan itu.
“Oh, dari sini teteh lewat Jalan
Situ”, jawabnya ramah.
“Sudah Pak, tadi baru dari sana,
tapi tidak ketemu.”
“Ada teh, agak jauh sekitar 1,5
Km dari sini, mungkin tadi terlewat”, sarannya dengan raut muka kasihan melihat
mukaku dengan peluh dan lelah.
Menyesal karena keteledoran. Tiga
kilometer kutempuh tanpa hasil, benar-benar menguras tenaga dan waktu. Ashar
sampai di lokasi.
***
Dalam perjalanan pulang,
pemandangan makanan berbuka terlihat dimana-mana. Kuliner yang dijajakan
bervariasi, beberapa diantaranya belum pernah kulihat di kotaku. Beberapa ojeg
menawari jasa antar. Dana yang terbatas, membuatku menolaknya. Jarak tempuh
angkot menuju pondok singkat, namun
kelalaian mencatat alamat membuatku kembali tersasar. Hampir satu kilometer
berjalan menyusuri jalan raya mencari gang masuk pondok. Subhanallah, lelah.
Bayangan istirahat di pondok menyemangati sisa perjalanan itu.
Satu jam menjelang berbuka akan
kuhabiskan untuk tilawah. Tapi … . Tidaaaaaak. Qur’an tertinggal di depan wc
mesjid saat ashar tadi. Betapa teledornya. Ya Allah, terbayang olehku, harus
kembali berjalan bulak balik dua kilometer menjemput qur’an di mesjid tadi.
***
Rangkaian perjalanan kaki delapan
kilometer yang melelahkan sehari itu gugur setelah mandi. Kota Hawa Panas ini
unik. Berjalan beberapa langkah cukup untuk memeras keringat dalam tubuh. Air
hangat pun didapat siang malam tanpa harus merebus air. Dahsyat, hemat kompor
gas, hemat BBM.
Hal unik lain di kota ini berlanjut.
Saat tarawih, aku tak henti-hentinya mengusap muka dan mengibas-ngibaskan baju
depan belakang untuk mendapat angin dan mengurangi hawa panas tiap selesai dua
rakaat. Bahkan dalam diam shalat pun, badan berbulir banyak keringat.
Benar-benar menyiksa. Astagfirullah, betapa sulit untuk tenang shalat di kota
ini.
Sehabis tarawih, aku melihat …. deg
… . Dia, Anna Althafunnisa. Kupalingkan wajahku. Takut. Aneh, grogi melihat artis. Padahal kita satu
usia, seharusnya bisa mengobrol sesama orang muda. Tapi mungkin lain waktu. Secepat
kilat kubalikkan wajah saat dia melihat ke arahku, dalam usaha melihat dia
untuk yang terakhir kali. Insya Allah, suatu saat nanti, di suatu tempat, suatu
waktu, kita bertemu lagi. Bercerita, bertukar ide dan pengalaman. Dan aku pun
tersenyum senang.
Esoknya, pagi menjelang siang aku
teruskan perjalanan. Bergerak menuju arah selatan. Turun dari angkot dan mulai
mencari tempat pertama. Nomor yang tidak beraturan membuatku mondar mandir di
daerah jalan itu. Baru beberapa menit mencari, keringat sudah banjir, lemas
badan terasa lebih dari kemarin. Jalan menjadi lambat seperti keong.
Kudapatkan tempat yang kucari,
Klinik Name. Tengok kanan kiri mencari percetakan untuk melengkapi arsip. Dalam
pencarian, badan semakin lemas, kehausan yang sangat mulai terasa. Ya, Allah,
kuatkan. Dalam beberapa langkah, jalanku sudah seperti orang sakit dalam
perawatan yang kabur dari rumah sakit. Tidak kuat dengan lemasnya badan, ku
sandarkan punggung ditiang batu sebuah gang. Rasa hausnya benar-benar sangat
terasa. Aku jadi seperti anak kecil sedang belajar shaum. Kekuatanku terkuras,
badan lemas, rasa haus yang tak tertahankan, dan percetakan yang belum terlihat
benar-benar membuat semangatku turun. Aku mulai berpikir untuk membatalkan shaum.
Dan memang ada alasan, shafar (dalam perjalanan).
Teringat kisah Rasul, saat beliau
dan kaum muslimin memenangkan banyak perang besar saat Ramadhan. Bulan shaum,
menang perang, perang besar, di gurun pasir dengan panas berlipat-lipat. Ah,
betapa memalukan diri ini jika harus batal. Astagfirullahal’adzim.
***
Masih bersandar sambil berdiri,
aku menemukan mesjid diterusan gang itu untuk istirahat. Aku tenangkan diri,
mengatur nafas, berharap rasa haus berkurang. Ya Allah, kuatkan, kuatkan,
kuatkan. Sambil mengaso, aku tanyai ibu-ibu tempat percetakan daerah ini dan rute
tempat tujuan kedua. Percetakan tidak jauh dari sini, semangatku muncul lagi. Beberapa
menit duduk cukup, aku paksakan diri berjalan lagi, tidak nyaman lama bersantai
sedangkan pencarian masih panjang. Berjalan lambat tapi pasti, kutemukan
percetakan. Arsip kumasukkan ke klinik dan pencarian kedua dimulai.
Tempat kedua kutemukan dengan
sedikit nyasar saat naik angkot. Beberapa orang kutanyai alamat rumah. Sampai
di depan rumah tujuan, aku tidak langsung masuk tapi duduk dibangku keramik
dibawah pohon. Lemas masih menggerogoti. Setelah dirasa cukup kuat, aku masuk.
***
Perjalanan ke arah utara menuju tempat
tujuan ketiga. Tiga jalur angkot dengan jarak yang cukup jauh. Letak tujuan
ketiga memang berada diluar Kota Hawa Panas, tepatnya di bagian timur Kota
Ibukota. Selama di angkot, masih terngiang dikepalaku, kata-kata perempuan
paruh baya di tempat kedua tadi.
“Oh gitu, ibunya pulang nanti
malam sekitar jam setengah delapan. Lagian disini sudah ada saya asistennya,
saya Bidan. Terus anak beliau juga Bidan. Coba ke Bidan sebelah sana, disana
belum ada siapa-siapa”, sambil memasang senyum.
Ah, senyum itu. Pernah kulihat
dan kurasakan dua tahun yang lalu. Bukan senyum dari hati, bukan senyum lip service, mendekati senyum
menjatuhkan. Aku memang tidak terlalu menanggapi isi kata-katanya, hanya senyum
itu yang masih teringat. Astagfirullah, mungkin rasa haus, panas, dan lemas
yang membuatku berprasangka buruk.
Sampai pondok pukul tiga kurang, langsung
berkemas. Hawa panas dan rasa lelah yang menumpuk sejak pagi membuatku ingin
cepat-cepat pulang, menangguhkan istirahat sejenak di pondok. Lewat sepuluh menit
dari pukul tiga masih di jalan gang antara pondok dan jalan raya, hanya
beberapa meter. Aku menunggu bus biru lewat. Perkiraan bila berangkat saat ini,
maghrib sudah sampai di Kotaku.
Detik demi detiknya benar-benar
terasa. Panas dan lelah membuatku tidak bisa diam dengan tenang. Berjalan
mondar mandir, berdiri dalam diam sejenak, mondar mandir lagi, lelah terus
menerus berdiri, duduk melipat lutut dengan punggung tetap tegak, berdiri lagi,
mondar-mandir, begitu terus pada menit-menit berikutnya. Mata tetap terpancang
melihat kejauhan tempat bus biru akan datang. Kepala kurebahkan pada bendera
bambu, tangan tergenggam kuat pada tiangnya. Badan terasa berat, rasa tidak
nyaman menjalar ke seluruh bagian tubuh, nafas pendek-pendek, perasaanku mulai
kacau saking lelahnya. Berusaha menyabarkan diri menunggu bus, kuatur nafas
sebisanya. Setelah agak tenang, berjalan beberapa meter sepanjang jalan raya,
kucari tempat agar bisa duduk. Dalam diam, rasa tidak nyaman itu muncul lagi,
badan seperti terbakar lelah dan panas, lelah badan dan lelah menunggu, pikiran
dan perasaanku juga kembali kacau. Kutahan sedemikian rupa agar air dipelupuk
tidak jatuh. Sedemikian rupa kutenangkan diri, mengatur nafas, dan
menggerak-gerakkan kaki. Kembali agak tenang. Dan beberapa menit kemudian,
perasaan itu muncul. Tenang kembali. Begitu seterusnya. Aku benar-benar
tersiksa. Satu jam berlalu, aku sadar bus pukul tiga sudah terlewat dari tadi
sebelum menunggu dan kini yang kutunggu adalah bus pukul empat.
Bus itu besar, panjang, berwarna
biru, mencolok dari kejauhan, didalamnya ada AC dan kursi nyaman yang siap
mengusir panas dan lelah ini. Aku bersiap, berdiri dipinggir jalan, senang
siksaan itu akan berakhir. Seperti tersedot, pandangan sopir dan kenek bus
terpaku ke kanan jalan, tidak memerhatikan calon penumpang di bahu kiri jalan.
Dan bus itu lewat begitu saja, masih tertangkap olehku, ada penumpang yang
menyadari aku ingin naik bus itu. Kutunggu bus yang tetap melaju itu menepi
sambil berjalan. Seakan tidak peduli, bus itu tetap pada pendiriannya, makin
jauh. Kupercepat jalan, mencoba menyusul. Bus berhenti di stopan, terlalu jauh,
tidak terkejar. Bus melaju lagi. Nekat. Kucoba kejar dengan motor.
“Pak, boleh minta tolong, anter
kejar bus itu.”
“Maaf Neng, saya juga lagi nunggu
orang.”
Berjalan lagi mencari motor. Naik
ojeg, dimana. Kulihat bus sudah tidak terlihat. Masih berharap menyusul.
“Pak, ojeg?“ aku tahu bukan, tapi
pertanyaan itu yang keluar.
“Bukan Neng”, ingin kulanjutkan,
pak tolong kejar bus itu, saya mau pulang. Tapi tenggorokanku tercekat. Tidak
jadi.
Berjalan cepat lagi, merasa bus
itu sudah jauh, mungkin masuk tol. Tidak mungkin menyusul bus yang sudah masuk
tol. Pandanganku lurus kaku masih menatap kejauhan. Ya Allah. Aku ingin pulang.
Pulang. Tidak kuat berlama-lama di kota ini. Panas. Bayangan perjuangan
menghadapi derita dari pagi bermunculan cepat di otak: menyabar-nyabarkan diri
dari haus dan lemas yang sangat, tertolak, perjalanan angkot yang jauh lintas
kota, satu jam penuh siksaan, dan yang terakhir tertinggal bus. Kakiku menepi,
menuju dinding perbatasan toko. Kusandarkan bahu dan kepalaku ditiang listrik
yang menempel pada dinding toko sambil berdiri. Kututup wajahku dengan jaket. Kulepaskan
semua, dan hujan pun turun dengan lebatnya, tidak kuat menahannya lagi.
Kubebaskan semua rasa kesal, marah, sakit hati, lelah, panas, cape. Tidak
peduli pada pengendara jalan raya, pejalan kaki, ata penghuni toko yang mungkin
akan melihat aneh tingkahku terpaku ditiang listrik. Ya Allah, belum cukupkah
rasa sabar dan ikhlasku seharian ini? Masih kurangkah untuk mengundang
rahmat-Mu?
Rangkaian ujian belum berakhir. Allah
masih mengharapkan aku bertahan lagi.
“Kenapa Neng?”, terdengar
penghuni toko bertanya khawatir. Aku tidak kuasa menjawabnya. Masih deras.
Belum beranjak dari ditiang
listrik, perlahan jongkok, lelah berdiri.
Mulai reda, gerimis. Kucoba
hentikan seluruhnya. Kukatakan lantang dalam hati. Ok, bila bus biru itu tidak
mau berhenti didepanku, akan kukejar kau ke terminal. Kusebrang jalan dan naik angkot
dengan langkah pasti. Perubahan ketebalan mata memang terasa tapi tidak
mencolok bila terlihat orang. Aku tidak peduli.
***
Aku pulang dengan bus pukul lima.
Haaaaaah, lega. Terduduk lemas dikursi jendela. Segala penderitaan menghilang
perlahan seiring dengan laju bus. Benar-benar rindu kotaku, Kota Hawa Dingin.
Roda bus terus berputar di
kawasan tol Kota Ibukota. Kami para penghuni bus berbuka shaum dengan tenang
dan damai. Sampai di Kota Hawa Dingin, aku berbahagia. Rindu udaranya yang
sejuk dan bersahabat, airnya yang dingin, jalan-jalannya, suasananya, semua.
Alhamdulillah.
Satu hal yang kulewatkan di Kota
Hawa Panas. Menjelajah Sekolah Tinggi terbaik se-Indonesia, dengan aula
berdinding kaca, dan taman air yang terlihat dari dalam. Indah … , meski baru
mendengar ceritanya.
***
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Qs.
As-Saffat: 106)
Satu hal kupahami. Ujian itu akan
tiba pada saatnya, tanpa tahu kapan, dimana, dengan siapa, dan dari arah mana. Pengaruhnya
terasa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jiwa, pikiran, dan hati ikut
terlibat. Dia sudah siapkan semua pertanyaan dan kunci jawabannya untuk kita.
Satu hal yang pasti. Mampukah kita bertahan dan lulus?
Cimahi, 13 Ramadhan 1433 H_2 Agustus 2012
Wuiih,,,subhanallah,,,rasa-rasanya, saya pun pernah merasakan hal yang sama,,,meski tentu berbeda,,,Subhanallah^^, Semangat terus teh mengejar impianmu,,,! Bukankah ujian akan mengantarkan kita pada suatu kesuksesan, jika kita mampu melewatinya ^_^ Cerita yang penuh hikmah,,,!
ReplyDeleteamiiin ^^
ReplyDelete