Saturday 4 August 2012

Untukmu, Pewaris Darah Para Pejuang . . .


Resensi ARUS BALIK Pramoedya Ananta Toer
Oleh Dewi Erita


Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara. Tetapi zaman berubah . . .
Arus berbalik – bukan lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara  ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara . . . Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya.

Lembar per lembar tumpukan kertas ini bercerita tentang permulaan Peranggi dan Ispanya (Portugis dan Spanyol) menduduki Bandar Malaka, pusat perdagangan rempah-rempah antara wilayah Nusantara dan Negeri Atas Angin, pada tahun 1511 yang dipimpin oleh Kongso Dalbi (Alfonso Alburqueque). Munculnya Peranggi membuat kapal-kapal dagang Nusantara tidak bisa berdagang karena Peranggi menumpas semua kapal dengan alat yang canggih bernama meriam. Peranggi bermaksud menjadi penguasa perdagangan seluruh dunia dengan menaklukkan negeri-negeri selatan. Hal ini berpengaruh pada seluruh Bandar di Nusantara. Bandar Tuban salah satunya.

Saat kerajaan Majapahit runtuh, Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta menjadi raja wilayah tersebut. Berbeda dengan Majapahit, kekaisaran benua yang banyak urusan, Adipati Tuban memilih bertenang-tenang dimasa tuanya dan hanya mengembangkan perdagangan dan mengurus wilayah sendiri tanpa meluaskan kekuatan ke laut.

Awis Krambil, salah satu desa di Kabupaten Tuban, menjadi titik awal cerita. Galeng dan Idayu, sosok orang muda yang rajin datang pada pertemuan desa. Suatu perkumpulan yang diisi oleh seorang guru pembicara dan seluruh penduduk desa. Galeng beberapa tahun lebih tua dari Idayu. Idayu sendiri berusia sekitar 15 tahun. Jiwa muda mereka menangkap pesan suci yang disampaikan oleh seorang guru-pembicara, bahwa kejayaan Majapahit harus dibangun kembali, lawan kemerosotan dengan memanggil kejayaan dan kebesaran  masa silam pada guagarba hari depan.

Keikutsertaan Galeng dan Idayu dalam pesta lomba seni dan olahraga menggiring mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Kerajaan Tuban. Beberapa saat setelah menikah dengan Idayu, karena kelebihannya dalam olahraga gulat, Galeng diangkat menjadi Syahbandar-muda Tuban dan bergelar Wira sehingga namanya menjadi Wiranggaleng. Tugas utamanya adalah menjaga Syahbandar Tuban.

***

Laksamana armada dari Tiongkok adalah Dampo Awang, gelarnya Ceng Ho. Armada itu mengaku telah diusir dari negerinya dan minta perlindungan Majapahit. Mereka datang bukan untuk menaklukkan  negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya tetapi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka menempati daerah rawa-rawa Semarang dan membuatnya menjadi bandar perdagangan dengan nama Sampo Toa-Lang (Lao Sam). Majapahit runtuh, kekhawatiran terhadap rusaknya perlindungan, membuat mereka melantik sebuah kerajaan baru. Kerajaan benteng Sampo Toa-ang, Demak.

Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak armada Ceng Ho, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa. Liem Mo Han adalah sahabat Wiranggaleng, dan sering bekerjasama dengannya dalam memerangi Peranggi.

Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara, membuat armada gabungan yang terdiri prajurit-prajurit Aceh-Demak-Jepara-pelarian Malaka-Tuban untuk mengusir Peranggi dari Malaka dan dipimpin langsung oleh Putra Mahkota Kerajaan Demak, Laksamana Adipati Unus. Armada gabungan itu sendiri dipecah menjadi Gugusan-I dan Gugusan-II. Pertempuran sengit terjadi antara armada gabungan dengan Peranggi. Perang itu berakhir dengan kekalahan. Kekalahan ini bukan kekalahan perang, namun kekalahan mengatur kekuatan.Hal yang seharusnya tidak terjadi. Ketidakseriusan pandai-pandai Blambangan dalam membuat cetbang (senjata api pada kapal perang Majapahit), Pemimpin armada Gugusan-I, Kantommana, yang menyalahi perintah, Aceh yang bermaksud menguasai Malaka sendiri, dan Gugusan Tuban yang menyalahi janji diduga sebagai penyebab kekalahan armada gabungan. Adipati Tuban memang tidak menyukai perang sehingga dengan sengaja membuat Gugusan Tuban terlambat datang, hal yang diketahui Wiranggaleng beberapa saat kemudian.

Pekerjaannya sebagai Syahbandar-muda, perjalanan menjadi telik ke Bandar Jepara dan Demak, dan menjadi pemimpin-muda Gugusan Tuban untuk perang melawan Peranggi, menjadikan Wiranggaleng semakin kaya akan pengetahuan dan pengalaman. Impiannya untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa depan mulai timbul secara nyata.

***

Tahun 1518 Masehi, Khalifah pertama di Jawa, Sultan Syah Sri Alam Akbar al-Fattah atau Raden Patah, wafat dan digantikan oleh anaknya, Adipati Unus. Setelah pengangkatannya, Sultan Demak kedua menyatakan harus dibuat armada gabungan yang perkasa dan mengajak raja-raja di Jawa dan Nusantara untuk menggabungkan daya upaya. Beliau juga menyatakan bahwa siapapun raja-raja yang bersahabat dengan Peranggi harus ikut ditumpas. Raja-raja dan bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan menyatakan bergabung dengan Demak. Para ahli dan pekerja didatangkan dari seluruh penjuru Nusantara.

Peranggi merasa takut. Unus sebelum memiliki kerajaan sudah hampir mengalahkan mereka di Malaka, apalagi sekarang setelah menjadi Sultan Demak. Peranggi menjauhkan kapal-kapalnya dari pesisir pulau Jawa dan pelayaran-pelayaran harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sejak saat itu, perdagangan Nusantara kembali lancar. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara hidup kembali. Arus memantai Pulau Jawa, Sumatera Selatan, mencapai Sumatera sebelah barat menuju Teluk Bayur. Bandar yang menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara menjadi ramai kembali. Para saudagar dan nahkoda Nusantara mengakui bahwa Unus berlidah api. Baru ucapan saja, pelayaran Nusantara sudah hidup, apalagi tindakannya. Mereka juga seperti terlupa bahwa kata – kata itu keluar dari mulut seorang yang cacad, terkena serpihan cetbang saat pertempuran pertama melawan Peranggi dan tidak mungkin menjadi Laksamana untuk kedua kalinya.

Kerajaan Hindu, Pajajaran dan Blambangan, mencium aroma bahaya dari Demak dan semakin berusaha untuk bersahabat dengan Peranggi. Peranggi sendiri tidak menggubrisnya dan hanya menjadikan mereka sebagai mata-mata untuk mengetahui perkembangan Demak.

***

Kesibukan Bandar Jepara dalam membuat armada tidak diikuti oleh Tuban. Kota itu sedang mengalami perang melawan perusuh yang dipimpin oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Sunan Rajeg sendiri adalah mantan Syahbandar Tuban, dia berusaha membalaskan dendamnya pada Adipati yang telah memecatnya. Pengetahuannya tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, seberang, dan Atas Angin membuatnya memiliki banyak pengikut. Cemburunya yang besar terhadap Demak, kerakusan, dan sifat kikir memberangus semua kelebihannya. Wiranggaleng yang saat itu menjadi Senapati, berhasil mengalahkannya dengan kemenangan mutlak untuk Balatentara Tuban.

Keserakahan terhadap kekuasaan mutlak, kebencian tehadap pesaing non-ningrat, dan ketakutannya pada pergeseran kedudukan sebagai Adipati, membuat Wiranggaleng terusir dari Tuban. Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah Almasawa, sebagai pengkhianat semakin membuka celah masuknya Peranggi menguasai Tuban. Ketakutan Adipati Tuban pada perang dan lihainya Syahbandar dalam berbicara membuat begundal Peranggi tersebut tetap aman tinggal disana, meskipun seluruh penduduk Tuban membencinya.

***

Tahun 1521 Masehi, serpihan laras cetbang yang masih menancap membuat Sultan Demak-II semakin sakit, kemudian wafat. Penggantinya adalah Trenggono, adik Unus, setelah melangkahi bangkai abang-kandungnya, Pangeran Seda Lepen. Sultan Demak-III tidak memiliki perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, apalagi Malaka. Nusantara berkabung sementara Peranggi berpesta anggur karena penantang satu-satunya telah meninggal. Gusti Ratu Aisah, ibunda Unus dan Trenggono, pergi menuju Jepara. Gusti Ratu berpihak pada sikap dan pendirian Unus. Beliau kecewa terhadap anaknya yang tidak ada niat menyerang Peranggi.
 
Ditengah-tengah kondisi itu terjadi persekutuan rahasia antara Ratu Aisah, Aji Usup-pembantu utama Unus, dan Liem Mo Han. Mereka bermaksud menghidupkan kembali armada gabungan Nusantara dan melakukan penyerangan kedua ke Malaka. Liem Mo Han menyarankan Wiranggaleng sebagai pemimpin Gugusan dari Jawa. Ajakan terhadap pembentukan armada gabungan hanya dibalas oleh Kerajaan Aceh di Semenanjung dan Kerajaan Bugis-Makasar. Raja-raja dan para bupati sudah tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap Demak yang dipimpin Trenggono. Mereka merasa dikhianati.

Mampukah Wiranggaleng dan pasukannya mengalahkan Peranggi? Sementara dia mengetahui, Adipati Tuban hanya mengirimnya untuk mati? Bisakah dia melawan arus balik setelah runtuhnya Majapahit?


Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak diantara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak?

Cimahi, 15 Ramadhan 1433 H _ 4 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment