Resensi ARUS BALIK Pramoedya Ananta Toer
Oleh Dewi Erita
“Semasa jayanya
Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di
antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara,
segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya,
semua bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara. Tetapi zaman
berubah . . .
Arus berbalik – bukan
lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai
urat nadi kehidupan Nusantara . . . Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan
seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya.”
Lembar per lembar tumpukan kertas ini bercerita tentang permulaan
Peranggi dan Ispanya (Portugis dan Spanyol) menduduki Bandar Malaka, pusat
perdagangan rempah-rempah antara wilayah Nusantara dan Negeri Atas Angin, pada
tahun 1511 yang dipimpin oleh Kongso Dalbi (Alfonso Alburqueque). Munculnya
Peranggi membuat kapal-kapal dagang Nusantara tidak bisa berdagang karena
Peranggi menumpas semua kapal dengan alat yang canggih bernama meriam. Peranggi
bermaksud menjadi penguasa perdagangan seluruh dunia dengan menaklukkan
negeri-negeri selatan. Hal ini berpengaruh pada seluruh Bandar di Nusantara.
Bandar Tuban salah satunya.
Saat kerajaan Majapahit runtuh, Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja
Tumenggung Wilwatikta menjadi raja wilayah tersebut. Berbeda dengan Majapahit,
kekaisaran benua yang banyak urusan, Adipati Tuban memilih bertenang-tenang
dimasa tuanya dan hanya mengembangkan perdagangan dan mengurus wilayah sendiri
tanpa meluaskan kekuatan ke laut.
Awis Krambil, salah satu desa di Kabupaten Tuban, menjadi titik awal
cerita. Galeng dan Idayu, sosok orang muda yang rajin datang pada pertemuan
desa. Suatu perkumpulan yang diisi oleh seorang guru pembicara dan seluruh
penduduk desa. Galeng beberapa tahun lebih tua dari Idayu. Idayu sendiri
berusia sekitar 15 tahun. Jiwa muda mereka menangkap pesan suci yang
disampaikan oleh seorang guru-pembicara, bahwa kejayaan Majapahit harus
dibangun kembali, lawan kemerosotan dengan memanggil kejayaan dan
kebesaran masa silam pada guagarba hari
depan.
Keikutsertaan Galeng dan Idayu dalam pesta lomba seni dan olahraga
menggiring mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Kerajaan Tuban. Beberapa
saat setelah menikah dengan Idayu, karena kelebihannya dalam olahraga gulat, Galeng
diangkat menjadi Syahbandar-muda Tuban dan bergelar Wira sehingga namanya
menjadi Wiranggaleng. Tugas utamanya adalah menjaga Syahbandar Tuban.
***
Laksamana armada dari Tiongkok adalah Dampo Awang, gelarnya Ceng Ho.
Armada itu mengaku telah diusir dari negerinya dan minta perlindungan
Majapahit. Mereka datang bukan untuk menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya
tetapi untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka menempati daerah
rawa-rawa Semarang dan membuatnya menjadi bandar perdagangan dengan nama Sampo
Toa-Lang (Lao Sam). Majapahit runtuh, kekhawatiran terhadap rusaknya
perlindungan, membuat mereka melantik sebuah kerajaan baru. Kerajaan benteng
Sampo Toa-ang, Demak.
Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan,
yang mengikat para keturunan awak armada Ceng Ho, juga seorang penghubung
Semarang dengan raja-raja di Jawa. Liem Mo Han adalah sahabat Wiranggaleng, dan
sering bekerjasama dengannya dalam memerangi Peranggi.
Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara, membuat
armada gabungan yang terdiri prajurit-prajurit Aceh-Demak-Jepara-pelarian
Malaka-Tuban untuk mengusir Peranggi dari Malaka dan dipimpin langsung oleh
Putra Mahkota Kerajaan Demak, Laksamana Adipati Unus. Armada gabungan itu
sendiri dipecah menjadi Gugusan-I dan Gugusan-II. Pertempuran sengit terjadi antara
armada gabungan dengan Peranggi. Perang itu berakhir dengan kekalahan. Kekalahan
ini bukan kekalahan perang, namun kekalahan mengatur kekuatan.Hal yang
seharusnya tidak terjadi. Ketidakseriusan pandai-pandai Blambangan dalam
membuat cetbang (senjata api pada kapal perang Majapahit), Pemimpin armada
Gugusan-I, Kantommana, yang menyalahi perintah, Aceh yang bermaksud menguasai
Malaka sendiri, dan Gugusan Tuban yang menyalahi janji diduga sebagai penyebab
kekalahan armada gabungan. Adipati Tuban memang tidak menyukai perang sehingga
dengan sengaja membuat Gugusan Tuban terlambat datang, hal yang diketahui
Wiranggaleng beberapa saat kemudian.
Pekerjaannya sebagai Syahbandar-muda, perjalanan menjadi telik ke
Bandar Jepara dan Demak, dan menjadi pemimpin-muda Gugusan Tuban untuk perang
melawan Peranggi, menjadikan Wiranggaleng semakin kaya akan pengetahuan dan
pengalaman. Impiannya untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa depan mulai
timbul secara nyata.
***
Tahun 1518 Masehi, Khalifah pertama di Jawa, Sultan Syah Sri Alam
Akbar al-Fattah atau Raden Patah, wafat dan digantikan oleh anaknya, Adipati
Unus. Setelah pengangkatannya, Sultan Demak kedua menyatakan harus dibuat
armada gabungan yang perkasa dan mengajak raja-raja di Jawa dan Nusantara untuk
menggabungkan daya upaya. Beliau juga menyatakan bahwa siapapun raja-raja yang
bersahabat dengan Peranggi harus ikut ditumpas. Raja-raja dan bupati-bupati
pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan menyatakan bergabung dengan Demak.
Para ahli dan pekerja didatangkan dari seluruh penjuru Nusantara.
Peranggi merasa takut. Unus sebelum memiliki kerajaan sudah hampir
mengalahkan mereka di Malaka, apalagi sekarang setelah menjadi Sultan Demak.
Peranggi menjauhkan kapal-kapalnya dari pesisir pulau Jawa dan
pelayaran-pelayaran harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sejak saat
itu, perdagangan Nusantara kembali lancar. Pelayaran ke Maluku dan Nusa
Tenggara hidup kembali. Arus memantai Pulau Jawa, Sumatera Selatan, mencapai
Sumatera sebelah barat menuju Teluk Bayur. Bandar yang menghubungkan Atas Angin
dengan Nusantara menjadi ramai kembali. Para saudagar dan nahkoda Nusantara
mengakui bahwa Unus berlidah api. Baru ucapan saja, pelayaran Nusantara sudah
hidup, apalagi tindakannya. Mereka juga seperti terlupa bahwa kata – kata itu
keluar dari mulut seorang yang cacad, terkena serpihan cetbang saat pertempuran
pertama melawan Peranggi dan tidak mungkin menjadi Laksamana untuk kedua
kalinya.
Kerajaan Hindu, Pajajaran dan Blambangan, mencium aroma bahaya dari
Demak dan semakin berusaha untuk bersahabat dengan Peranggi. Peranggi sendiri
tidak menggubrisnya dan hanya menjadikan mereka sebagai mata-mata untuk
mengetahui perkembangan Demak.
***
Kesibukan Bandar Jepara dalam membuat armada tidak diikuti oleh Tuban.
Kota itu sedang mengalami perang melawan perusuh yang dipimpin oleh Kiai
Benggala Sunan Rajeg. Sunan Rajeg sendiri adalah mantan Syahbandar Tuban, dia
berusaha membalaskan dendamnya pada Adipati yang telah memecatnya. Pengetahuannya
tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, seberang, dan Atas Angin membuatnya memiliki
banyak pengikut. Cemburunya yang besar terhadap Demak, kerakusan, dan sifat
kikir memberangus semua kelebihannya. Wiranggaleng yang saat itu menjadi
Senapati, berhasil mengalahkannya dengan kemenangan mutlak untuk Balatentara
Tuban.
Keserakahan terhadap kekuasaan mutlak, kebencian tehadap pesaing
non-ningrat, dan ketakutannya pada pergeseran kedudukan sebagai Adipati, membuat
Wiranggaleng terusir dari Tuban. Syahbandar Tuban, Sayid Habibullah Almasawa,
sebagai pengkhianat semakin membuka celah masuknya Peranggi menguasai Tuban. Ketakutan
Adipati Tuban pada perang dan lihainya Syahbandar dalam berbicara membuat
begundal Peranggi tersebut tetap aman tinggal disana, meskipun seluruh penduduk
Tuban membencinya.
***
Tahun 1521 Masehi, serpihan laras cetbang yang masih menancap membuat
Sultan Demak-II semakin sakit, kemudian wafat. Penggantinya adalah Trenggono,
adik Unus, setelah melangkahi bangkai abang-kandungnya, Pangeran Seda Lepen.
Sultan Demak-III tidak memiliki perhatian terhadap perdagangan, perkapalan,
perbandaran, apalagi Malaka. Nusantara berkabung sementara Peranggi berpesta
anggur karena penantang satu-satunya telah meninggal. Gusti Ratu Aisah, ibunda
Unus dan Trenggono, pergi menuju Jepara. Gusti Ratu berpihak pada sikap dan
pendirian Unus. Beliau kecewa terhadap anaknya yang tidak ada niat menyerang
Peranggi.
Ditengah-tengah kondisi itu terjadi persekutuan rahasia antara Ratu
Aisah, Aji Usup-pembantu utama Unus, dan Liem Mo Han. Mereka bermaksud
menghidupkan kembali armada gabungan Nusantara dan melakukan penyerangan kedua
ke Malaka. Liem Mo Han menyarankan Wiranggaleng sebagai pemimpin Gugusan dari
Jawa. Ajakan terhadap pembentukan armada gabungan hanya dibalas oleh Kerajaan
Aceh di Semenanjung dan Kerajaan Bugis-Makasar. Raja-raja dan para bupati sudah
tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap Demak yang dipimpin Trenggono. Mereka
merasa dikhianati.
Mampukah Wiranggaleng dan pasukannya mengalahkan Peranggi? Sementara
dia mengetahui, Adipati Tuban hanya mengirimnya untuk mati? Bisakah dia melawan
arus balik setelah runtuhnya Majapahit?
“Sang Adipati Tuban
dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin,
Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-pemeluknya punya
kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya,
punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa
perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin
mengerti mengapa banyak diantara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama
mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat
kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru
itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi
kelak?”
Cimahi, 15 Ramadhan 1433 H _ 4 Agustus 2012