Wednesday 24 April 2013

Tentang Esai



Rangkuman Tentang Esai
Oleh Dewi Erita

Ilmu bercerita tentang objek
sajak bercerita tentang dirinya sendiri

Ilmu adalah penelitian dan pengkajian
sajak adalah nyanyian
esai adalah pergaulan

Ilmu adalah penemuan
puisi adalah penciptaan
esai adalah perjumpaan dan persahabatan

Jurnalisme menghasilkan laporan
ilmu memberikan analisa
esai hadir sebagai kesaksian

Membaca tulisan ilmiah
menghadapi teks
membaca sajak
menghadapi teks
membaca esai
menghadapi teks
sekaligus
penulisnya

Esai adalah catatan. Perwujudan percakapan dalam bentuk tulisan. Kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah obyek, sekaligus cerita tentang pengalaman interaksi yang penuh canda di antara keduanya. Keinginan berkata-kata yang (seolah) sulit diungkapkan secara lisan, namun begitu mengalir melalui goresan. Penjelmaan pribadi penulis dalam gagasannya sekaligus menjadi pemikiran yang seakan-akan dipersonifikasikan.

Esai menempati posisi yang unik. Dia membuka dirinya terhadap obyektivitas maupun terhadap subyektivitas. Subyektivitas dalam mengutarakan gagasan adalah watak khas esai. Esai menghidupkan subyektivitas dalam menceritakan keadaan suatu objek pengamatan sehingga yang menonjol adalah respon pengarang terhadap obyek pengamatan. Rasa senang, terpesona, bosan, kecewa, penting, patut dicontoh, atau ditinggalkan, semua ada dalam esai. Seorang esais tidak akan mengekang dirinya untuk mengatakan apakah dia suka atau benci terhadap apa yang sedang diamatinya.

Esai seorang sastrawan memberi efek yang sebaliknya dari laporan. Bukan berupa pokok-pokok tulisan yang diuraikan dengan baik dan rinci. Tidak pula penjelasan mengenai bagaimana keadaan dan sifat-sifat objek yang diteliti, mengapa objek tersebut penting untuk diselidiki, apa saja segi-segi yang harus masuk analisa, dan apa saja temuan-temuan yang diperoleh.

Esai menjadi tempat pertemuan antara sastrawan dan bukan sastrawan. Arena pergaulan antara para ahli dan kaum awam. Spontanitas, kejujuran, tingkah polah esais merebut simpati pembaca. Bukan dia menjadi menarik karena berada dan berlatih di suatu tempat, melainkan suatu tempat menjadi menarik karena esais tersebut berlatih dan berada di sana.
***

Menurut sejarahnya, esai adalah suatu bentuk penulisan yang ditemukan dan diperkenalkan pada abad ke 16 di Perancis oleh seorang sastrawan dan filosof yang bernama Michel Eyquem de Montaigne (1533-1592). Istilah “esai” berasal dari judul dua jilid bukunya yang ditulis semenjak 1571 dan diterbitkan pada 1580, berjudul Essais (yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Essays).

                Tulisan-tulisan Montaigne dalam Essais memang mengandung berbagai pemikiran yang menarik. Namun demikian, cara penulisnya mengemukakan buah pikiran dan perasaannya dianggap sesuatu yang unik dan kemudian berkembang menjadi suatu genre atau genus literarium tersendiri. Sifat utama yang dikehendaki oleh Montaigne dari tulisan-tulisannya ialah bahwa tulisannya itu, dirinya dan hidupnya, harus diperlakukan sebagai satu perkara yang sama, sehingga ketiga-tiganya ditanggapi dan dipahami sebagai consubstantial.

                Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah bagaimana gerangan caranya Montaigne mempersatukan tulisannya dan kehidupannya sendiri? Apakah tulisan-tulisannya hanya melukiskan kehidupan pribadinya atau juga sukaduka orang lain?

                Pertama, kata essai atau essais dalam bentuk jamaknya sengaja dipilih oleh Montaigne karena maksud utama tulisan dan renungan-renungannya adalah mencoba memahami manusia dan masyarakat secara lebih baik. Kata bahasa Perancis essai berarti percobaan (kata kerja essayer berarti mencoba-coba), karena dalam keyakinan Montaigne kita tak pernah bisa membusungkan dada bahwa kita dapat memahami manusia “seutuhnya”.

                Kedua, esai mencoba menghindari konsep-konsep abstrak, tetapi selalu bertolak dari pengalaman. Untuk itu jalan terbaik untuk belajar bukanlah melalui studi dan menekuni buku-buku, melainkan melalui percakapan dan pergaulan.

                Ketiga, pengetahuan sistematis memang berguna, tetapi belum mempunyai manfaat yang optimal kalau tidak membantu kita mendapatkan pengertian moral tentang apa yang baik dalam hidup, dan sanggup membentuk sikap kita terhadap hidup itu sendiri. Menurut Montaigne, terlalu banyak orang menyimpan pengetahuan dan ilmu dalam kantongnya, tetapi hanya sedikit menyerap ke dalam hati dan lebih sedikit lagi yang menjadikannya bahagian dari kepribadiannya. Itulah sebabnya, pendidikan intelektual saja tidak mencukupi tetapi harus disertai oleh pendidikan sosial dan dilengkapi dengan pendidikan jasmani.

                Jadi, esai tidak bergulat dengan ide-ide besar, tetapi bercanda dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan kecil yang dipungut dari kehidupan sehari-hari. Lebih penting mengumpulkan berbagai pengetahuan yang tidak sistematis, tetapi dapat mengilhami kita tentang suatu nilai kebaikan daripada berkutat dengan sistem pengetahuan yang rapi dan ketat tetapi tidak meningkatkan kepekaan kita terhadap kebaikan dan kejahatan.

Sumber:
Artikel majalah Horison-XXXVIII/1/2004 “Esai: Godaan Subyektivitas” Ignas Kleden

Cimahi, 24 April 2013_13 Jumadil Akhir 1434 H

Wednesday 10 April 2013

Untuk Bloemlezing Kuliah Kepenulisan II



BAHAGIA
Oleh Dewi Erita

 
I
Bahagia itu
“Wah, agak gemukan sekarang.”

Bahagia itu
selesai membersihkan uang
meski kotorannya sangat kau butuhkan

Bahagia itu
tuntas melahap buku
dan memuntahkannya kembali

Bahagia itu
menanti orang atau orang-orang
ketika dia atau mereka datang lewat masa

Bahagia itu
melangkah di tengah lebatnya air
memakai jas hujan paruh badan
merasakan dingin yang kental

Bahagia itu
naik bus ekonomi
melepas pandang
melihat kecipak ratusan manusia
menikmati sapuan angin laut

Bahagia itu
sampai di tempat tujuan
setelah berkendara 25 km nonstop
berebut jalan, berpanas ria, beribu kesal tambal sabar
“Maaf Teh, pda skit smua, jd hr ni tdk latihan dlu.”

Bahagia itu
jantung terburu-buru
tangan menggigil berkeringat
suara tergagap, tidak jelas, terlalu cepat
semua mata melumat setiap sudut tubuhmu

Bahagia itu
Izrail mendekap dari depan agar tidak terjatuh
menarik bahu dari belakang agar tidak terjungkal
memapah tangan kanan agar tidak oleng
mengapit lengan kiri agar tidak roboh
membisik pikiran agar tetap melangkah
menayangkan kelebat masa depan
menenangkan bronkus alveolus

Bahagia itu
saat berada di pinggir sungai
telapak tangan paruh jiwa terulur
“Ayo, Thian sudah menunggu.”

II
Hatimu membesar seluas kota Cimahi
mengangkasa perlahan
lintas kota
provinsi
pulau
negara
samudra
berkunjung ke Holiwuud
semakin tinggi menembus ozon
meninggalkan Bima Sakti
menjauhi semesta
singgah di kebun
melihat yang
tak terlihat
saat
ini. 

III
kucari remah-remah bahagia menyusuri jalan setapak tak peduli musim hujan atau musim air keringat atau musim air mata atau dua musim bersamaan atau ketiganya sekaligus meskipun lawan-lawan itu terus membuntuti ada prasangka menendang dari depan ada fitnah loncat dari atas ada lelah dari kanan kiri dan ada malas dari depan belakang samping kanan kiri atas bawah semua semua serangan semua semua ancaman semua semua semua itu kuhindari dengan jurus mengeja huruf setelah meraba esok sambil kujaga surat surat sembari memelihara jasad untuk mengukir abad.


Cimahi, 10 April 2013_29 Jumadil Ula 1434 H