Rangkuman Tentang Esai
Oleh Dewi Erita
Ilmu bercerita tentang objek
sajak bercerita tentang dirinya sendiri
Ilmu adalah penelitian dan pengkajian
sajak adalah nyanyian
esai adalah pergaulan
Ilmu adalah penemuan
puisi adalah penciptaan
esai adalah perjumpaan dan persahabatan
Jurnalisme menghasilkan laporan
ilmu memberikan analisa
esai hadir sebagai kesaksian
Membaca tulisan ilmiah
menghadapi teks
membaca sajak
menghadapi teks
membaca esai
menghadapi teks
sekaligus
penulisnya
Esai adalah catatan. Perwujudan percakapan
dalam bentuk tulisan. Kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah
obyek, sekaligus cerita tentang pengalaman interaksi yang penuh canda di antara
keduanya. Keinginan berkata-kata yang (seolah) sulit diungkapkan secara lisan,
namun begitu mengalir melalui goresan. Penjelmaan pribadi penulis dalam gagasannya
sekaligus menjadi pemikiran yang seakan-akan dipersonifikasikan.
Esai menempati posisi yang unik. Dia membuka dirinya terhadap
obyektivitas maupun terhadap subyektivitas. Subyektivitas dalam mengutarakan
gagasan adalah watak khas esai. Esai menghidupkan subyektivitas dalam
menceritakan keadaan suatu objek pengamatan sehingga yang menonjol adalah respon
pengarang terhadap obyek pengamatan. Rasa senang, terpesona, bosan, kecewa, penting,
patut dicontoh, atau ditinggalkan, semua ada dalam esai. Seorang esais tidak
akan mengekang dirinya untuk mengatakan apakah dia suka atau benci terhadap apa
yang sedang diamatinya.
Esai seorang sastrawan memberi efek yang
sebaliknya dari laporan. Bukan berupa pokok-pokok tulisan yang diuraikan dengan
baik dan rinci. Tidak pula penjelasan mengenai bagaimana keadaan dan
sifat-sifat objek yang diteliti, mengapa objek tersebut penting untuk
diselidiki, apa saja segi-segi yang harus masuk analisa, dan apa saja
temuan-temuan yang diperoleh.
Esai menjadi tempat pertemuan antara
sastrawan dan bukan sastrawan. Arena pergaulan antara para ahli dan kaum awam. Spontanitas,
kejujuran, tingkah polah esais merebut simpati pembaca. Bukan dia menjadi menarik
karena berada dan berlatih di suatu tempat, melainkan suatu tempat menjadi
menarik karena esais tersebut berlatih dan berada di sana.
***
Menurut sejarahnya,
esai adalah suatu bentuk penulisan yang ditemukan dan diperkenalkan pada abad
ke 16 di Perancis oleh seorang sastrawan dan filosof yang bernama Michel Eyquem
de Montaigne (1533-1592). Istilah “esai” berasal dari judul dua jilid bukunya
yang ditulis semenjak 1571 dan diterbitkan pada 1580, berjudul Essais (yang dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi Essays).
Tulisan-tulisan
Montaigne dalam Essais memang mengandung berbagai pemikiran yang menarik. Namun
demikian, cara penulisnya mengemukakan buah pikiran dan perasaannya dianggap
sesuatu yang unik dan kemudian berkembang menjadi suatu genre atau genus literarium
tersendiri. Sifat utama yang dikehendaki oleh Montaigne dari tulisan-tulisannya
ialah bahwa tulisannya itu, dirinya dan hidupnya, harus diperlakukan sebagai
satu perkara yang sama, sehingga ketiga-tiganya ditanggapi dan dipahami sebagai
consubstantial.
Pertanyaan yang
menarik bagi kita ialah bagaimana gerangan caranya Montaigne mempersatukan
tulisannya dan kehidupannya sendiri? Apakah tulisan-tulisannya hanya melukiskan
kehidupan pribadinya atau juga sukaduka orang lain?
Pertama, kata essai atau essais dalam bentuk jamaknya sengaja dipilih oleh Montaigne karena
maksud utama tulisan dan renungan-renungannya adalah mencoba memahami manusia
dan masyarakat secara lebih baik. Kata bahasa Perancis essai berarti percobaan (kata kerja essayer berarti mencoba-coba), karena dalam keyakinan Montaigne
kita tak pernah bisa membusungkan dada bahwa kita dapat memahami manusia
“seutuhnya”.
Kedua, esai
mencoba menghindari konsep-konsep abstrak, tetapi selalu bertolak dari
pengalaman. Untuk itu jalan terbaik untuk belajar bukanlah melalui studi dan
menekuni buku-buku, melainkan melalui percakapan dan pergaulan.
Ketiga, pengetahuan
sistematis memang berguna, tetapi belum mempunyai manfaat yang optimal kalau
tidak membantu kita mendapatkan pengertian moral tentang apa yang baik dalam
hidup, dan sanggup membentuk sikap kita terhadap hidup itu sendiri. Menurut
Montaigne, terlalu banyak orang menyimpan pengetahuan dan ilmu dalam
kantongnya, tetapi hanya sedikit menyerap ke dalam hati dan lebih sedikit lagi
yang menjadikannya bahagian dari kepribadiannya. Itulah sebabnya, pendidikan
intelektual saja tidak mencukupi tetapi harus disertai oleh pendidikan sosial
dan dilengkapi dengan pendidikan jasmani.
Jadi,
esai tidak bergulat dengan ide-ide besar, tetapi bercanda dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan kecil yang dipungut dari kehidupan sehari-hari.
Lebih penting mengumpulkan berbagai pengetahuan yang tidak sistematis, tetapi
dapat mengilhami kita tentang suatu nilai kebaikan daripada berkutat dengan
sistem pengetahuan yang rapi dan ketat tetapi tidak meningkatkan kepekaan kita
terhadap kebaikan dan kejahatan.
Sumber:
Artikel majalah
Horison-XXXVIII/1/2004 “Esai: Godaan Subyektivitas” Ignas Kleden
Cimahi, 24 April 2013_13 Jumadil Akhir 1434 H