Resensi
SURAT-SURAT
1943 - 1983
oleh Dewi Erita
Pertama kali mendengar nama H.B. Jassin (Hans Bague
Jassin) adalah saat membahas periodesasi sastra di FLP (Forum Lingkar Pena)
Bandung. Periodesasi Sastra terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Balai
Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. H.B. Jassin
(1917-2000) mengalami sendiri tiga masa itu, mulai dari Pujangga Baru sampai
Angkatan ’66.
Buku ini berisi 246
surat Jassin yang ditujukan kepada lebih dari seratus orang, baik dalam maupun
luar negeri. Beliau menulis dalam kedudukannya sebagai redaktur majalah, editor
buku, kritikus sastra, dokumentator sastra, dosen kesusastraan, sahabat, dan
kepala rumah tangga.
Sekilas buku ini berisi bacaan “berat”. Apa-apa yang
ditulis membuat pusing kepala di beberapa bagian. Namun, meski begitu
kata-katanya indah. Rumit tapi indah. Tidak terlalu mengerti tapi nyaman
dibaca.
“Kata-kata
kesusastraan ialah kata-kata yang indah, kata saya. Indah sebagai kata-kata
sepatah-sepatah, ataupun dalam rangkaian, tapi yang mesti, dalam hubungan
seluruhnya. Indah adalah soal perasaan, dapat menggetarkan perasaan.
Demikianlah mestinya kata dan rangkaian kata di dalam kesusastraan, beda dengan
di dalam ilmu pengetahuan. Di situ kata-kata menjalankan pikiran, tapi biasanya
tidak menggetarkan rasa. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan disebut hambar oleh
orang yang tidak semata-mata bisa hidup dengan pikiran.” (hal. 14)
Di sini penulis mengenal sosok Jassin sebagai seorang
yang rajin dan teliti, pandai beberapa bahasa. Lancar membaca buku berbahasa
Indonesia dan Belanda, namun buku berbahasa Inggris dan Jerman masih memakai
kamus. Tahun-tahun mendatang banyak lagi bahasa dari berbagai negara yang
dikuasainya. Suatu kemampuan berbahasa yang luar biasa pada masa itu.
H.B. Jassin adalah seorang kritikus kesusastraan yang
sangat hebat. Beliau bersama kawan sastrawan baik dalam maupun luar negeri mengasuh
sastra Indonesia sehingga dikenal dunia.
“Sejak 1940, jadi sudah sembilan tahun yang
lalu, perhatian saya terarah pada kesusastraan, khususnya kesusastraan Indonesia,
dan selama waktu itu saya mengumpulkan baik-baik buku-buku, majalah, guntingan
koran, dan segala apa yang bertalian dengan kesusastraan. Dan saya mempunyai
kebiasaan untuk menyimpan segalanya menurut subyeknya dalam map-map untuk
memudahkan penggunaannya. Dengan demikian, saya telah mengumpulkan hampir
lengkap semua sajak Chairil Anwar, juga naskah-naskah yang ditulis dengan
tangan. Map-map itu tambah membengkak setelah saya juga menyimpan buku-buku
pengarang. Saya hendak mengusahakan koleksi ini sekomplit mungkin, sehingga
terlahir semacam museum kesusastraan.” (hal. 53)
“Selanjutnya untuk jangka waktu
10-15 tahun ke depan ini saya merencanakan untuk mempelajari kebudayaan Barat
dan Timur, dimulai dengan kebudayaan orang Yunani kuno dan selanjutnya
kebudayaan Romawi sampai Abad Pertengahan, Renaissance sampai ke zaman modern
sekarang ini dan sekaligus sejajar dengan itu India kuno dan Tiongkok kuno
sampai sekarang, semua itu sebisa-bisanya berdasarkan hasil-hasil kesusastraan
dan filsafat dari zaman ke zaman. Sungguh bukan pekerjaan kecil. Sekarang saya
baru menerobos Homeros dan Socrates (via Plato), dan beberapa drama Yunani
dengan berpedomankan buku Jakob Burkhardt Kulturgeschichte
Griechenlands dan sekarang saya sedang membaca jilid ketiga Mahabharata yang terdiri dari sebelas
jilid, tiap jilid tebalnya 600-700 halaman. Dan saya rasa tidak akan selesai
dalam 15 tahun, kecuali jika saya membatasi diri pada bacaan karya-karya yang
paling penting. Mahabharata saya
anggap penting untuk menjelajahi seluruh alam pikiran dunia Timur. Mahabharata sekaligus pula merupakan
ensiklopedi alam pikiran India. Dan keuntungan akhir daripada studi ini ialah
kemungkinan bahwa pada suatu waktu saya akan menulis sejarah kesusastraan dunia
di masa depan yang jauh.” (hal. 47-48)
Berinteraksi dengan sastrawan asing terlebih dari
Belanda memang sangat tidak nyaman pada awalnya. Namun hal ini disikapinya
dengan bijak.
“Apakah sebabnya saya
bersikap begitu tertutup terhadap Saudara?—Saya ingin bersih di tengah segala
kesibukan politik itu, namun tetap memilih pihak di mana saya harus berdiri. Saudara
tahu sendiri bagaimana Saudara di dalam semangat Saudara yang menggebu-gebu
barangkali tanpa sadar berkali-kali membuktikan diri berlainan pendapat dengan
kami sebagai putera-putera Indonesia
yang sedang berjuang.” (hal. 43)
“Kolonialisme alhamdulillah sekarang
sudah mati berkat revolusi kami dan perjuangan kami. Kolonialisme yang barusan
kami hancurkan tidak boleh hidup kembali dalam hati kami sendiri terhadap orang
lain. Untuk mengusir kolonialisme dalam diri kita sendiri ini, kita saling
memerlukan. Inilah tugas humanisme … “ (hal.56)
H.B Jassin adalah sosok pembelajar
sejati. Dia bekerja, belajar, dan mengajar dengan hati yang lapang. Bahkan
pernah pula beraktifitas di lima tempat sekaligus.
“Saudara lihatlah, semua bisa dikerjakan
sekali jalan. Apa yang saya kerjakan untuk disertasi, termasuk tugas saya
sebagai pegawai LBB (Lembaga Bahasa dan Budaya), dan bisa pula dipergunakan untuk kuliah-kuliah yang saya
berikan pada Universitas Indonesia. Enak bukan? Ada harapan bahwa saya akan
dijadikan lektor penuh pada Fakultas Sastra UI, tapi dalam pada itu
diperbantukan pada bagian Kesusastraan LBB sebagai pemimpin bagian seperti
sekarang ini. Jadi tidak ke mana juga, tetap di lapangan kesusastraan. Rasanya
seperti ikan di dalam air, ke mana pun pergi dunianya juga.” (hal: 138)
“Saya bekerja di lima tempat sekaligus,
pertama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak juga mencukupi dan kedua
karena memang semuanya pekerjaan yang sesuai dengan kesenangan saya.” (hal.
247)
Dalam melakukan kritik
beliau sangat jujur.
“Mengenai cerita pendek Saudara, ‘Rosita’,
yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara, saya cuma punya satu
perkataan: jelek.” (hal. 97)
Masalah yang beliau hadapi memang banyak. Tetapi,
beliau tetap semangat bahkan saat dirumahkan karena diduga terlibat dalam upaya
sesuatu yang tidak baik.
“Saya sekarang kerja di rumah saja.
Menarik diri dari Fakultas Sastra UI dan berhenti dari LBK (Lembaga Bahasa dan
Kesusastraan), tapi tiap saat dipergunakan. Saya dalam lima bulan ini
mengerjakan terjemahan The Spirit of
Islam (Api Islam) … “ (hal. 253)
“… dan saya sangat berterima kasih atas
teguran Saudara yang merupakan stimulans baru bagi kegiatan dan semangat saya
yang kadang-kadang terasa mengendor.” (hal. 242)
Penulis sempat mengira keadaan ekonomi yang buruk dan
sistem yang kacau hanya ada di zaman sekarang. Ternyata tidak begitu.
“Nampaknya penerbitan tambah sukar,
sebab ongkos cetak naik terus. Penerbit-penerbit terancam bangkrut. Buku-buku
yang saya terjemahkan tempo hari dan yang saya perbaiki bahasanya sampai
sekarang, belum ada yang terbit. Dan saya sendiri tidak ada ketenangan karena
terus menerus dikejar oleh kebutuhan dapur. Untunglah saya masih terus dapat
pekerjaan terjemahan dari Kedutaan Belanda yang bisa meringankan sekadarnya
beban hidup.” (hal. 264)
“Perhatian orang terhadap majalah Sastra dingin lagi, disebabkan
kejadian-kejadian belakangan ini dan terutama karena ongkos cetak yang
melambung tidak terbayar lagi. Kita terpaksa bersabar lagi.” (hal. 265)
“Mengenai hak cipta ‘Gempa’ saya setuju
diselesaikan, supaya ada kejernihan hak pengarang. Tapi dengan melalui prosedur
gugatan hukum apakah tidak akan berlarut-larut dan banyak makan ongkos saja?
Sungguh terlalu banyak hal yang harus diluruskan dalam negara kita yang kacau
ini.” (hal. 277)
Masalah dalam urusan rumah
tangga juga ada.
“… karena terutama belakangan
ini saban hari mendengar keluhan naiknya harga-harga. Pagi ini istri saya
menjerit-jerit karena beras sudah naik 400 seliter dan semua harga lain
membubung.” (hal. 255)
“Hannibal duduk di kelas III STM dan
insya Allah tahun depan dapat masuk ITB, Mastinah duduk di kelas II SMP, tahun
ini tidak naik, karena terlalu banyak nonton televisi dan bermain dengan
teman-temannya.” (hal. 278)
H.B. Jassin tidak
berkutat dengan urusannya sendiri. Saat menjadi pembimbing skripsi, beliau juga
mencetak kader-kader sastra karena apa yang beliau cita-citakan butuh waktu dan
tenaga profesional yang handal. Tidak mudah melakukan itu semua sekaligus,
pasti ada saja orang-orang yang salah paham terhadap tindakan beliau.
“Tentang kebesaran dan kediktatoran
yang Saudara sebut-sebut, apakah yang harus saya jawab? Saya tidak pernah
merasa “besar” dan ingin jadi diktator; itu hanya orang lain saja yang
menganggap. Saya bicara dan muncul di depan umum saja tidak berani, karena
merasa tidak punya kemampuan dan apa yang telah saya berikan sungguh belum
berarti apa-apa. Karena itulah saya membentuk kader-kader yang saya harap akan
bisa melaksanakan apa yang saya inginkan lebih baik dan lebih sempurna. Sikap
seorang diktator tidak memungkinkan diktator-diktator lain di sampingnya. Sebab
kalau demikian, dia bukan diktator lagi. Saya bukan diktator dan tidak ingin
menciptakan diktator-diktator. Saya inginkan pribadi-pribadi yang
berperikemanusiaan. Bahwa Saudara melihat apa yang Saudara sebut
diktator-diktator, saya tidak merasa bertanggung jawab telah menciptakannya.”
(hal. 237)
Surat-Surat 1943-1983
karya H.B. Jassin menggambarkan seorang manusia yang hebat dan apa adanya. Membaca
buku ini sempat membuat hati merasa ciut. Dengan sesuatu yang secukupnya mampu
menciptakan hal yang luar biasa. Ketekunan adalah pupuk beliau. Ada rasa bangga
di hati. Kita, bangsa Indonesia, pernah memiliki sosok yang begitu berharga.
“Barusan saya terima kabar baik:
Prins Bernhard Fonds telah menetapkan H.B. Jassin sebagai pemenang Hadiah
Martinus Nijhoff untuk tahun 1973, buat terjemahan Max Havelaar karangan Multatuli. Pemenang yang lain ialah Peter
Verstegen. Upacara penyerahan hadiah akan diadakan di Balai Kota Den Haag
tanggal 26 Januari 1973. Besarnya hadiah
5000 gulden, tapi yang lebih penting bagi saya ialah kehormatan bagi
negeri kita….
Hadiah Martinus Nijhoff
diberikan oleh Prins Bernhard Fonds sejak tahun 1955 untuk terjemahan puisi,
drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya.” (hal.339)
Bagaimana beliau menjadi sosok yang begitu
berprestasi?
“Kita memang harus
memaksa diri untuk mengadakan waktu buat sesuatu yang kreatif, kalau tidak kita
tidak akan pernah bikin apa-apa. Tempat di mana kita berada sebenarnya tidak
penting. Yang perlu ialah self discipline.”
(hal. 291)
Siapa yang akan meneruskan jejak pendahulu-pendahulu
kita?
Kitakah?
Depok,
6 Februari 2015_17 Rabiul Akhir 1436 H
Pustaka
Jassin, H.B. 1984. Surat-Surat 1943 –
1983. Jakarta: PT Gramedia