Resensi
Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak
Oleh Dewi Erita
Cuplikan Memo yang
Tercecer adalah bab lampiran dalam buku Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak.
Tulisan pada bagian ini dapat mengundang senyum, tawa, haru, bangga, dan sedih
menjadi satu. Tergambar bagaimana pribadi peneliti menyikapi permasalahan yang
muncul dari masyarakat sekitar serta internalisasi pembelajaran kehidupan dalam
dirinya. Bukan, bukan kehidupan manusia biasa pada umumnya, tetapi sisi dunia
lain. Sekumpulan orang yang ingin diperlakukan seperti manusia.
“Jakarta, 22 Juli 2010. Lima belas tahun
sejak saya menyelesaikan penelitian di Kramat Tunggak. Selama ini sering saya
teringat pada lokasi bersejarah itu, pada banyak perempuan yang berjuang
mengukur malam demi malam lewat dandanan tebal dan tawa kepalsuan. Namun
ingatan itu tak pernah membuat kaki melangkah kembali ke tempat tersebut.”
Buku
ini merupakan hasil disertasi Bu Endang R. Sedyaningsih yang melakukan
penelitian pada tahun 1995 berjudul “Determinants
of the STD/AIDS-related behaviors of female commercial sex workers in Kramat
Tunggak, Jakarta, Indonesia”. Beliau yang saat itu telah menjabat Menteri
Kesehatan RI selama sembilan bulan meninjau Kramat Tunggak secara incognito (penyamaran). Islamic Center
menggantikan lokalisasi Kramat Tunggak yang ditutup tahun 1999.
“. . . berhenti tepat
di depan masjid. Saya turun dari mobil. Memandang dengan kagum ke bangunan
masjid yang megah. . . Saya berjalan berputar, perlahan, mengukur langkah demi
langkah mencoba meraba lewat imajinasi. Namun, saya sungguh tak mampu lagi mengenalinya.
Amat sulit memetakan ‘cetak bitu’ dalam ingatan ke dalam alam nyata yang kini
terbentang di hadapan saya.
Informan mengatakan, lokasi ini dulu bagian belakang yang disebut kompleks Kramat Tunggak baru. Saya mengeleng-gelengkan kepala, terheran-heran. Sungguh tidak sedikit pun bekas tersisa yang masih dapat saya kenali. Cukup banyak hari telah saya habiskan di tempat ini, keluar masuk kafe, bertemu dengan puluhan PSK, germo dan petugas, serta mewawancarai hingga mengenali setiap sudut Kramat Tunggak. Bahkan dengan segenap keberanian saya pernah menginap di salah satu rumah bordilnya! Namun tetap saja semua itu tak banyak membantu malam ini. . . ”
Kramat
Tunggak adalah tempat pelacuran berbasis bordil, di mana orang-orang yang
memenuhi persyaratan tertentu dapat menjalankan usaha bordil dengan
mempekerjakan beberapa perempuan pelacur alias menjadi germo. Status Kramat
Tunggak diperjelas dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/54/72 tanggal 17 Juli 1972
tentang Status dan Pengurusan Kompleks Lokalisasi Wanita Jakarta Utara. SK ini
diperbaiki dengan SK Gubernur bernomor 1491 tahun 1992.
“Semenjak kompleks
Kramat Tunggak resmi ditutup, tampaknya kafe-kafe tersebut bermunculan dan kian
marak. Selain itu, siapa dapat menyangka bila di seputar wilayah Kramat
Tunggak sendiri, tepat di seberang
Islamic Center yang megah dan agung, ketika waktu menunjuk pada pukul sepuluh
malam hingga dini hari, masih dapat dijumpai wanita-wanita bedandan menor duduk di samping gerobak minuman. Sesekali
mereka menggoda lelaki yang lalu lalang, menawarkan minuman sekaligus
‘kesenangan’ bila terjadi kesepakatan harga. . . Saya mengangguk-angguk,
berpikir: ‘Yah, ini mirip yang terjadi apabila sebuah pembuluh darah tersumbat.
Tubuh akan giat membentuk pembuluh-pembuluh darah baru (kolateral) agar aliran
darah dapat terus mengalir.”
Saat
ini lokalisasi Kramat Tunggak memang sudah tidak ada. Namun, aktivitas
transaksi seks masih berjalan. Melebarkan sayap tak terkendali. Menyatu dengan
masyarakat umum di rumah-rumah penduduk, warung dan kafe pinggir jalan, kolong
jembatan, tempat nelayan menyimpan peralatan menangkap ikan, bahkan di
tenda-tenda dadakan samping rel kereta yang hanya ada pada malam hari. Nama
tempat bisnis pun ada yang tersamarkan, misalnya panti pijat.
“ . . . estimasi
Kemenkes RI tahun 2009 bahwa jumlah pelanggan pekerja seks mencapai 3,17 juta
pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari 214.000 perempuan pekerja
seks, maka para laki-laki pelanggan itu sangat berpeluang menjadi penyebar
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan virus HIV ke dalam rumah tangga. Artinya satu
pekerja seks kemungkinan dikunjungi oleh 14-15 laki-laki pelanggan.
. . . berpotensi
menularkan penyakit kepada 1,97 juta orang perempuan yang menjadi istri atau
pasangan tetapnya . . . Bahkan, jika perempuan yang sudah menikah itu
digabungkan dengan jumlah pekerja seks, jumlahnya hanya 2.184.000 orang, tetap
lebih kecil dibanding laki-laki pembeli jasa seks . . . Berarti peran pelanggan
ini sangat besar dan potensial sebagai mata rantai penularan penyakit.”
Pekerja
Seks Komersial (PSK) sering dianggap sebagai kambing hitam penyebar penyakit
HIV/AIDS. Padahal sebenarnya laki-laki yang ‘jajan seks’ yang menularkan
HIV/AIDS kepada PSK. Siapakah sebenarnya pekerja seks (PS) itu? Apakah mereka
bahagia menjalani pekerjaan sebagai PS?
“Mereka yang menjadi
pelacur karena merasa terpaksa oleh keadaan sebanyak 16 orang (dari 30 orang
perempuan Kramat Tunggak yang diwawancarai secara mendalam).
Perempuan-perempuan ini tidak punya sumber penghasilan lain yang cukup, padahal
mereka harus menanggung biaya hidup
orangtua, anak, ataupun adik-adiknya. Sebagian besar dari mereka (11 orang)
berusia lebih dari 25 tahun, bahkan sekurangnya tiga orang baru mulai menjadi
pelacur setelah berumur lebih dari 30 tahun . . . Pada umumnya mereka punya
target yang jelas mengenai jangka waktu mereka akan meneruskan pekerjaannya.
Misalnya mereka akan bekerja di Kramat Tunggak sampai anak tertua mampu mencari
nafkah, atau sampai modalnya buat mendirikan toko sudah cukup.”
“Perempuan yang bekerja
di Kramat Tunggak karena ikut arus (6 diantara 30 partisipan), menjadi pelacur
dengan hati yang relatif tanpa beban. Menurut mereka kenapa mesti terbebani?
Teman-teman sedaerahnya banyak di situ,
bahkan banyak yang datang diantar oleh orangtua sendiri. Germonya pun sudah
dikenal lama. Dengan ringan mereka bisa menceritakan pengalaman di Kramat
Tunggak. Target mereka tidak senyata perempuan-perempuan yang dipaksa oleh
keadaan. Kebanyakan menjawab bahwa mereka di Kramat Tunggak tidak akan lama,
menunggu ‘insaf’ atau menunggu sampai ada orang yang mau ‘mengangkat’ mereka
dari situ, alias bertemu jodoh. Tidak masalah apakah mereka akan jadi istri
pertama, kedua, atau ketiga, asalkan istri tuanya setuju saja.
Sebagai perempuan muda,
mereka pun banyak yang terbawa arus, merokok dan minum alkohol untuk gaya. . .
Pengetahuan mereka mengenai masalah IMS, AIDS, dan kondom sangat kurang.”
“Golongan yang saya
sebutkan sebagai ‘terdorong frustasi’ berjumlah delapan orang dari partisipan
wawancara. Umumnya cerita mereka tentang bagaimana sampai masuk ke Kramat
Tunggak cukup membuat bulu kuduk berdiri. Seperti perempuan yang ikut arus,
semua partisipan berusia kurang dari 25 tahun. . .
Dalam hal kesehatan,
mereka paling tidak peduli. Hampir semuanya senang minum alkohol, beberapa
merokok, lima orang biasa minum obat terlarang dan tiga orang sering
mengiris-iris diri sendiri . . . bercerita bahwa ia selalu mengiris-iris lengan
atau paha dengan silet kalau sedang marah. ‘Pusing rasanya kalau lagi marah.
Musti lihat darah dulu, baru pusingnya ilang,’ katanya. . .
Kebanyakan dari
perempuan ini tidak bahagia dengan takdirnya sebagai pelacur. Mereka pada
umumnya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dengan jelas menyatakan bahwa
menjadi pelacur adalah dosa besar. Dalam hal ini ada perbedaan yang cukup
menonjol dengan perempuan yang merasa dipaksa oleh keadaan, yang dapat
membenarkan tindakan mereka dengan alasan
berkorban demi keluarga. Perempuan-perempuan yang terdorong frustasi hanya punya alasan bahwa mereka marah, sangat
marah kepada laki-laki dan dunia. . .”
“Beberapa perempuan di
antara 30 partisipan yang diwawancarai menunjukkan kecenderungan yang menarik.
Apapun alasan mereka ketika pertama datang ke Kramat Tunggak, sekarang mereka
berupaya agar dapat berbuat yang terbaik dalam kondisi yang ada. Mereka rajin
menabung, rajin menjaga kesehatannya, walaupun belum tentu sesuai dengan ilmu
kedokteran modern. Terutama, mereka tidak terlalu kejam menghakimi diri sendiri,
misalnya merasa diri melakukan pekerjaan kotor atau merasa diri sampah
masyarakat. Jumlah mereka tidak banyak hanya tiga orang.”
Saat
penelitian, sekitar dua ribu perempuan Kramat Tunggak bekerja sebagai PS.
Pekerjaan melacur seperti pekerjaan lainnya mengandung risiko, baik risiko yang
berhubungan dengan keuangan, keamanan, maupun kesehatan. Mereka tidak selalu
memperoleh pelanggan. Usia, penampilan wajah dan tubuh, tata cara pelayanan,
keberanian, lokasi dan suasana bordil mempengaruhi kunjungan pelanggan. Selama
tahun 1993-1995, pembunuhan terjadi tiga bulan sekali. Biasanya pengunjung terbunuh
akibat perkelahian antar mereka sendiri. Bisa juga korbannya perempuan PS
dengan motif merampok, cemburu, atau memaksa transaksi seks. Gaya hidup di
Kramat Tunggak juga kurang menunjang kesehatan. Kehidupan malam dengan suara
musik yang melebihi daya tahan kuping manusia, membuat germo dan PS memiliki
gejala ‘kurang dengar’. Darah mereka yang tadinya bersih dari desa, dengan
cepat bercampur dengan berbagai racun yang
berasal dari rokok, alkohol, serta obat-obatan terlarang.
“Selain sarat racun di
dalam tubuh, pikiran mereka sarat dengan kebingungan-kebingungan akan
nilai-nilai hidup. Tidak semuanya, tentu. Banyak di antara mereka yang tidak
berpengetahuan cukup, sekadar ikut arus, malahan dapat menjalani hidup kelam di
Kramat Tunggak dengan tenteram. Sebagian lain, karena yakin yang dilakoninya
itu pengorbanan untuk orang-orang tersayang, juga dapat dengan tabah melewati
hari-hari yang sulit. Namun, tidak sedikit jumlahnya yang didera perasaan
berdosa dan dipenuhi kecamuk berbagai pikiran yang saling bertentangan. Mereka
inilah yang terancam bahaya gangguan kejiwaan. Terungkap dari satu-dua
perempuan yang kelihatan seperti orang bingung. Mereka memakai seluruh perhiasannya,
dan menatap dengan mata kosong. . . Satu lagi ririko kesehatan bagi perempuan
pelacur.”
Pelacuran
adalah ‘profesi’ tertua di muka bumi. Zaman Hindia Belanda saat Nusantara masih
dijajah, tempat plesiran menjadi lokasi ‘jajan’ seks. Perempuan-perempuannya
berasal dari berbagai negara. Wanita Jepang adalah primadona dan mendapat
bayaran tertinggi karena kecantikannya. Penjajah Belanda dan pribumi yang
memegang jabatan biasanya memiliki gundik (selingkuhan) dari gadis-gadis desa
pribumi. Gadis malang ini dijual/ dipaksa dijual oleh orang tuanya sendiri
kemudian tinggal bersama pembelinya dalam satu rumah tertentu.
“Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi,
maka supply akan selalu
mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, maka lokasi
pelacuran pun pindah ke kafe-kafe di jalan besar (Jalan Enggano) yang tak jauh
dari Kramat Tunggak. Padahal di sepanjang jalan tadi, kafe-kafe semacam itu
tidak (boleh) ada pada masa Kramat Tunggak masih berjaya.
Suplai pekerja seks
atau praktik prostitusi mustahil berhenti jika hanya dibendung di hilir dengan
merazia para perempuan pekerja seks dan menutup lokalisasi pelacuran tanpa
digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan yang
menjadi pemasok para perempuan pekerja seks. Selama kemiskinan struktural masih
melilit sebagian (besar) warga masyarakat kita, jangan harap suplai PSK akan
berkurang.”
Kemiskinan
merupakan salah satu masalah pembangunan bangsa. Ukuran pencapaian hasil
pembangunan suatu negara adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Indikator IPM yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
“Perempuan Kramat
Tunggak banyak yang telah menyadari risiko pekerjaan mereka, yaitu tertular
IMS. Sayangnya, IMS pada perempuan sering tidak menimbulkan gejala dan
penderita perempuan tidak menyadari bahwa dirinya sakit. . . Biasanya, seorang
perempuan curiga dirinya sakit IMS bila ia keputihan, merasa nyeri, panas waktu
buang air kecil, atau merasa sakit pada perut bawah. Namun, gejala-gejala
seperti itu tidak selalu muncul pada setiap penderita IMS. Kalaupun ada, sangat
ringan sehingga tidak dikenali sebagai gejala IMS oleh si sakit. Memang sulit
mengenali gejala-gejala tersebut karena perempuan yang bukan pelacur pun sering
mengalami keputihan, misalnya sebelum atau sesudah datang bulan (haid), atau
karena jamur akibat kebersihan yang kurang terjaga. Sedangkan nyeri perut bawah
dapat terjadi pada saat ovulasi (‘bertelur’) yang juga dialami sebulan sekali
oleh setiap perempuan usia subur.”
Kesehatan
masyarakat melakukan pendekatan dengan cara mencegah infeksi. Salah satunya
yang bersumber dari hubungan seksual, IMS.
“Pemeriksaan berkala
untuk HIV pada kelompok berisiko tinggi, yaitu perempuan yang bekerja di bar,
pelaut, narapidana, dan juga pelacur di DKI Jakarta sudah dimulai tahun 1988,
namun baru pada 1993 mulai ditemukan adanya kasus HIV positif di Kramat
Tunggak.”
Penyakit menular sangat
penting pengaruhnya terhadap beban penyakit global. Tahun 2001, terhitung
sebanyak 40% beban penyakit berada di negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Per tahun, HIV/AIDS membunuh sekitar 1.8 juta manusia, TB 1.7 juta, diare 1.5 juta,
dan malaria 1 juta. (Skolnik, 2011)
IMS
mempermudah masuknya virus HIV ke dalam tubuh. Dalam penanggulangan penyakit
menular seksual, khususnya AIDS di Indonesia, ada tiga pendekatan yang
dilakukan. Pertama, supply reduction
untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks dilakukan dengan razia PSK
dan penutupan lokalisasi pelacuran serta razia terhadap
pembuat/pengedar/pengguna narkoba/napza (lewat jarum suntik). Kedua, demand reduction untuk menekan penularan
HIV lewat hubungan seks adalah kampanye ‘Jauhi Zinah’ atau ‘Say No to Free Sex’. Di kalangan
penyalahgunaan narkoba/napza dengan kampanye ‘Say No to Drugs’. Pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand
reduction) belum cukup. Ada pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction) yang melengkapi yaitu
pemakaian kondom.
Prinsip
penanggulangan AIDS menggunakan rumus
ABc. Abstinence dengan tidak
melakukan hubungan seks sebelum pernikahan. Be
Faithful dengan setia melakukan hubungan intim hanya dengan istri. Dan condom, memakai pelindung saat berhubungan
badan dengan PS bagi golongan laki-laki yang tetap suka ‘jajan’ seks dengan
berbagai kondisi permasalahan hidupnya.
Di
luar sana atau bahkan di sekitar kita, banyak laki-laki yang kebutuhan
biologisnya berlebih (tidak puas berhubungan intim dengan istrinya/ ingin
merasakan ‘daun muda’), tidak punya tempat menyalurkan ‘hajat’ karena istrinya
meninggal dan usianya kini tua renta, ingin mencoba pengalaman seks (bagi anak
muda) dengan alasan ingin membahagiakan istrinya kelak, dan berbagai alasan
lainnya. Tidak hanya masyarakat umum dengan penghasilan pas-pasan, pejabat berseragam
pun ada yang hobinya ‘jajan’. Mereka semua mengancam 1,6 juta perempuan yang
telah menikah.
Ibu
rumah tangga baik-baik dapat tertular dari suaminya yang suka selingkuh/
memiliki masa lalu dengan PS yang terinfeksi. Bayi dapat tertular virus
tersebut dari ibunya. Coba bayangkan, ibu dan bayi dengan HIV/AIDS akan dijauhi
masyarakat dengan stigma perempuan dan manusia kotor. Padahal mereka tidak
melakukan sesuatu yang menyimpang dalam hidupnya. Maka jangan heran apabila
saat ini tren HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga naik.
Harm reduction,
pendekatan kesehatan masyarakat dengan menggunakan kondom dalam setiap
transaksi seks dapat mengurangi peningkatan HIV/AIDS di Indonesia. Menekan
dampak buruk yang terjadi. Di sisi lain, sebagian masyarakat memandang bahwa
mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan
mempromosikan perzinahan dan seks bebas. Bagaimana pendapat Anda? Adakah solusi
lain yang lebih baik untuk saat ini?
Pemicu
penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa pembeli jasa seks
komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK.
(Dr. Nafsiah
Mboi, SpA, MPH)
Depok,
30 Juli 2015_14 Syawal 1436 H
Pustaka
Sedyaningsih, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan
Kramat Tunggak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Skolnik, Richard. 2011. Global Health
101 (Second Edition). USA: Jones & Bartlett Publishers.