Membaca Gay dalam Karya Sastra
Oleh Dewi Erita
melihat di balik sesuatu
mendengar yang tak terucap
menilai dari sisi yang tak selalu linear
(Salim A. Fillah)
Sebuah pengakuan
membuat jiwa lebih sehat, hati cenderung tenang, dan setengah solusi didapat.
Pernyataan yang terngiang-ngiang dalam benak. Sering disinggung dalam berbagai talk
show baik panggung maupun radio Mqfm Bandung. Namun, apa yang menempel dalam otak
tidak seindah realita lapangan. Maksudnya?
Ibu, dengarkan baik-baik, ya ibu,
Anakmu laki-laki ini seorang homoseks.
Aku seorang homoseks, Ibu!
Sudah kulawan naluriku selama ini
Tapi tak mampu aku!
Aku tetap seorang homoseks!
Maafkanlah aku, Ibu.
Atau yang ini,
“I’m a gay.”
“Cemooh gue, Zain. Bilang ke orang-orang. Gue nggak normal. Gue hombreng!”
Kalimat pengakuan yang mampu meluluhlantakkan ekspresi
orang yang mendengarnya. Bahkan, sebagian besar masyarakat merasa jijik
terhadap tipe orang seperti itu. Buktinya?
Pernah, ketika Amir iseng bertanya
Kepada guru mengaji
Tentang cinta yang tumbuh
Di antara dua orang laki-laki.
Sang Guru langsung berkobar,
Itu terkutuk, neraka, laknat,
Sampah yang dikucilkan
masyarakat!
Disemprotkannya segala sumpah-serapah.
Kata seorang wartawan:
“Mereka itu perusak. …”
“Penjahat kelamin yang
menyebarkan virus penyimpangan seks, …”
Dengan reaksi yang begitu dahsyat dari kebanyakan
orang, bagaimana mereka menjalani hari-harinya?
Rasa iba melecutnya –
Tangis tanpa suara
Membentur langit-langit
Berantakan jiwanya.
Enam bulan sudah ia berumah tangga
Tanpa gairah, tanpa bahagia.
Ketika ibunya dulu ketika sakit parah
Ia telah menyerah untuk menikah.
Dicobanya segala cara,
Ditempuhnya segala jalan,
Tetapi segalanya sia-sia.
Hidupnya bertambah celaka.
Ini memusingkan. Very… very memusingkan. Bas pun gelagapan
menganalisa kehendak hatinya. Dari mana dan mau ke mana?
Sekarang Bas
meletakkan dagunya di pagar balkon, wajahnya berkerut, seperti menahan sakit. Matanya
meleleh. Bukan bola mata, tapi cairan bening dari sudut-sudutnya.
Tidak ada yang harus dibela. Perasaan ini
sampah, dan harus enyah.
Semakin merah dua
mata bas. Tubuhnya loyo terduduk di kursi plastik yang ada di balkon kost itu.
Segera terulang di otak Bas perjalanan usianya yang morat marit. Jatuh, bangun,
dan jatuh.
Hari-hari yang melelahkan tentunya. Terus berjuang
melawan rasa suka yang bukan pada tempatnya. Mereka berusaha untuk normal,
berjuang untuk normal, bertahan untuk menjadi normal. Semua perlawanan jiwa itu
bukan hal yang gampang, sungguh tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Benarkah?
Amir tak pernah menyerah menjalankan ajaran agama.
Dicarinya Sarinah.
Ia hidup-hidupkan nyala api cintanya
Ia sangat ingin mencintai wanita.
Sarinah perempuan cerdas,
Gelagat itu semakin jelas ditangkapnya:
Amir ternyata hanya bisa ceria
Kalau Bambang ada di sampingnya.
Demikianlah maka hubungan
Antara Amir dan Sarinah semakin hambar;
Sarinah merasa tak nyaman
Akhirnya pergi juga meninggalkannya.
Amir berusaha menjadi laki-laki
Bagi Sarinah,
Tapi sia-sia:
Hatinya tak bisa direkayasa.
Lihatlah,
sekarang Bas tergugu bukan main. Jiwanya koyak habis-habisan. Isaknya kian
bersuara. Dulu, dia beranggapan semua telah selesai. Ketika dengan dada
membusung dia meninggalkan Lampung dan lelaki yang namanya terlupa itu.
Semangat menggebu untuk menjadi pribadi baru. Pribadi laki-laki. Tadinya, semua
berjalan lancar. Segar dan menyenangkan. Lingkungan kost Matahari juga membantunya lahir kembali. Terutama Zain yang tak
berhenti menyemangatinya untuk terus belajar segala sesuatu. Tapi semua
ketenangan itu buyar ketika Bhumi datang.
Harusnya
menyenangkan, tapi justru memusingkan. Bhumi pribadi yang mengasyikkan. Kecuali
profesinya sebagai wartawan yang tentu punya banyak cerita, pribadinya
betul-betul mengasyikkan. Bicara apa saja nyambung, main gitar jago, suara
merdu. Betul-betul mengasyikkan. Tapi kenapa justru kemudian Bas merasa
kepalanya berdenyut-denyut?
Sebab rasa yang
muncul dari dasar otaknya tak sekadar rasa senang punya sahabat hebat. Ada yang
menggeliat. Entah apa namanya. Hanya Bas kemudian merasa setiap hal yang
membuatnya teringat Bhumi sanggup membuat dadanya berdebur. Tak bertemu
beberapa hari memaksa gelisah.
Dia butuh
beberapa detik untuk betul-betul tenang dan bicara wajar, setiap berhadapan
dengan bumi. Setiap hari seperti itu tentu saja amat menyiksa. Dan sekarang
hampir lima tahun dia menekan rasa. Bersikap seolah tidak ada apa-apa.
Sebuah benteng
pertahanan yang tidak semua kaum gay mampu membangun dan mempertahankannya.
Jangankan membangun, ada pula yang justru memelihara rasa itu dan
mengabadikannya. Oh ya?
Sudah sebulan Amir mencari Bambang,
Aneka tempat sudah ia kunjungi.
Simpang-siur terdengar Bambang tak lagi di Indonesia.
Terdengar kabar angin Bambang kini aktivis gay internasional.
Akhirnya kabar pasti soal Bambang ia terima.
Bambang kini menetap di San Francisco
Menjadi warga negara Amerika Serikat,
Menikah resmi dengan sesama jenis asal Los Angeles – di gereja sana.
Manusia itu unik.
Mereka selalu memilih sikap yang menurutnya baik dan benar berdasar ilmu dan
pengalaman yang mereka dapat selama ini. Lalu apa alasannya mereka memilih
menjadi gay sempurna?
Ujar Leo, menjadi homoseks bisa
sejak bayi
Itu akibat kelainan genetis
sejak lahir.
Kondisi ini tidak diminta oleh
mereka.
Menjadi gay tak bisa disalahkan
secara moral
Alex bilang, menjadi homoseks
bukan kejahatan;
Dulu wanita dan kulit hitam juga
warga kelas dua,
Tapi kini mereka setara
Karena mereka berjuang.
Tengok di negeri Paman Sam,
kata Roi berapi-api,
Dulu kaum gay dikucilkan
Kini, di militer kaum gay
Tidak dianggap persoalan.
Di negeri itu, beberapa negara
bagian
Telah mensahkan pernikahan homoseks.
Presiden Obama pun membela
mereka
Resmi di sebuah jamuan makan
malam.
Martin meyakinkan, Mustahil
berjuang
Jika tak bangga dengan jati diri
kita selaku kaum gay;
Tanpa perjuangan itu, di
Indonesia
Kaum gay selalu dituding sebagai
penyimpangan!
Hendro pun menyambung, Langkah
pertama,
Mulailah terbuka kepada dunia
luar bahwa kita gay.
Yakinkan bahwa kita manusia
seperti yang lain juga,
Kita bisa merasa luka, sepi, dan
jatuh cinta;
Ajaklah mereka berdiskusi,
bujuklah mereka
Membaca buku, memperhatikan
berita, menonton film,
Jelaskan bahwa kita tak mau
lebih
Kecuali diakui sebagai manusia
saja – sama seperti manusia lainnya.
Aaah, begitu kompleksnya jiwa manusia. Dalam dan tak
bertepi. Luas dan penuh teka-teki. Lalu, bagaimana asal muasal mereka menjadi
gay?
“Nah, kan jadi cantik. Coba sekarang pakai lipstik,
biar lebih cantik.”
Bibir Bas menggigil. Dahsyat betul. Matanya memejam,
tangis semakin jadi. Punggungnya tersentak-sentak, disusul sedikit isak. Adegan
bertahun-tahun lampau seperti nyata di depan mata. Lebih dua puluh tahun lalu.
Mungkin ketika Bas tiga atau empat tahun umurnya.
Entah pagi entah malam. Bas hanya ingat bagaimana ibu
menyulapnya menjadi bocah aneh. Bocah laki-laki dengan baju peri, rok mekar,
berenda-renda. Juga bedak yang menempeli kulit pipinya yang tembem
menggemaskan. Juga pemerah yang membuat bibirnya menyala.
Setiap babak hidup Bas terpampang jelas. Mirip slide
film yang diputar cepat. Adegan-adegan ketika dia keluar rumah dan membaur
dengan lingkungan. Kebingungannya untuk menentukan identitas diri.
Tidak bolehkah
aku jadi laki-laki?
Rasa gamang menghebat. Benturan-benturan diri yang
tak terkatakan. Semakin tak terkendali ketika dia remaja, dan mulai ditabrakkan
pada kecenderungan alami untuk menyukai seseorang. Tapi jadi masalah besar
karena dia tak benar-benar tahu siapa yang mesti dia sukai.
Tari, teman sekelas ketika SMP, atau Joni tetangga
sebelah yang baru saja lulus SMA. Bingung bukan kepalang, dan Bas sama sekali
tak punya kawan berbagi. Ibunya dulu seperti lupa begitu saja terhadap apa-apa
yang ia alami di masa kecil. Seperti tak pernah ada cerita ketika dengan
hebatnya Bas diteror oleh mimpi-mimpi sang ibu untuk memiliki anak perempuan,
setelah empat kakak Bas, semuanya lahir dengan jenis kelamin laki-laki.
Aku ingin
normal. Sungguh!
Ketika kita mengetahui suatu perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh seseorang. Jangan terburu-buru menyalahkan orang tersebut.
Karena kita baru muncul dipertengahan cerita.
Ketika kita memahami sikap aneh seseorang. Jangan cepat-cepat
salahkan orang tersebut. Walaupun sahabat masa kecil, kita hanya seseorang yang
muncul sesekali.
Ketika kita mencermati perilaku abnormal seseorang. Hindari
langsung men-judge buruk orang
tersebut. Meskipun tahu masa kecilnya dan tinggal satu rumah dengannya, kita
tidak melihatnya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Ketika kita mengamati sifat menyebalkan seseorang. Tahan
untuk mencemooh orang tersebut. Meskipun kita melihatnya 24 jam sehari dan 7
hari seminggu, kita tidak tahu isi hatinya.
Siapa yang mengetahui isi hati setiap manusia? Bolehkah
kita berprasangka buruk terhadap seseorang meski hanya satu detik?
“Lu pikir Bas ancaman, Bhum?”
“Jelas.”
“Dia pernah ganggu lu?”
Bhumi diam lagi.
“Nggak, kan?”
“Sekarang, dia sangat mengganggu gue.”
“Dia cuma bilang suka!”
“Kalimat itu jauh lebih mengganggu dibanding seluruh
isi kost ini ngorok bareng-bareng, Zain!”
“Gue nggak ngerti jalan pikiran lu, Bhum.”
“Justru gue yang bingung, kenapa lu ngebela Bas
mati-matian.”
“Bukan ngebela. Gue cuma lu menggeser pola pikir elu.”
“Maksudnya, biar gue mau menerima perilaku
menyimpang? Mustahil!!!”
“Dia cuma bilang suka, Bhum!”
“Maksud lu apa, sih, Zain?”
“Soal takdir Tuhan, gue mau bilang Dia nggak pernah
iseng.”
“So?”
“Jadi semua ciptaannya, termasuk orang-orang yang
diberi bakat menyimpang itu tidak dilahirkan untuk menjadi manusia sampah.”
“Tapi mereka sampah.”
“Sekarang lu bilang Tuhan menciptakan sampah, Bhum.”
Bhumi tercekat. Kalimatnya terputus.
“Gue cuma mau bilang, setiap manusia itu diciptakan
dengan beban yang sama. Hak sama, kewajiban sama. Hanya bentuknya yang beda.”
“Maksud lu apa, Zain?”
“Apa bedanya homoseks dan heteroseks di mata Tuhan?
Mereka sama-sama akan dimintai tanggung jawab semua perilaku selama hidup, kan?”
Bhumi tak menyahut.
“Memangnya cuma homo saja yang harus menahan nafsu?
Hetero pun sama, kan? Memangnya cuma hetero yang disuruh menjauhi zina? Homo
juga sama. Yang membedakan kan objek pemancing nafsu dan hal yang menyebabkan
zina di antara keduanya.”
Tak tahu. Zain tiba-tiba bicara seperti seorang pemikir ulung.
“Selama seorang hetero bisa menahan nafsunya,
selamatlah dia. Kalau Tuhan adil, dan gue yakin Tuhan itu adil, aturan ini pun
berlaku dong buat seorang homo. Selama dia tak berzina, dia tak berdosa.”
“Jadi, lu mau bilang punya feeling homo tak masalah?”
“Gue nggak bilang gitu. Gue cuma pikir, orang-orang
seperti Bas harus berdamai dengan takdir. Bukan mengikuti rasanya untuk mencintai
sesama jenis, tapi menerima keadaan dirinya lebih dulu. Berpikir positif, lalu
berusaha membuat sebuah perubahan.”
“Perubahan. Maksud lu pacaran atau kawin ama cewek.”
“Nggak selalu gitu. Bukankah orang hetero pun tak
semua kawin. Yang penting kan sadar bahwa mereka lahir bukan untuk jadi sampah.
Boleh jadi feeling homo itu malah
jadi nilai plus di mata Tuhan.”
“Hah?”
“Yah, kalau mereka bisa bertahan untuk tak ikut arus feeling itu sampai ajal menjemput, itu
kan luar biasa. Orang hetero belum tentu bisa berbuat serupa.”
“Lu baca buku apa, sih, Zain?”
“Nggak, gue mikir aja. Kalau baca buku, isinya ya
neraka melulu.’
“Hah?”
“Kebanyakan kan orang-orang berilmu itu nggak adil.
Menilai sesuatu hanya dari sudut keilmuannya, tanpa mau tahu cara mencari
solusinya.”
“Maksud lu?”
“Lu cari deh buku tentang homoseksual. Isinya kan
neraka, siksaan tak berakhir, haram, hujatan.”
“Lu nggak sepakat, Zain?”
“Gue sepakat. Tapi kalau pendekatannya seperti itu,
berapa juta orang yang harus kita lenyapkan dari muka bumi ini, Bhum?”
“Lantas?”
“Yah, mereka yang tahu ilmu itu harusnya ngasih
solusi, dong. Oke, perilaku homo itu haram. So
How? Bagaimana orang-orang itu harus menjalani hidup? Apa mereka
seumur-umur harus mengutuki takdir? Salah juga, kan?
“Lu punya solusi?”
“Intinya kan pasrah. Jalani aja hidup. Tetap kreatif
tanpa terbebani feeling itu. Yang
terpenting kan nggak menuruti feeling
itu. Kalau kemudian ada keajaiban, mereka bisa tertarik ke lawan jenis, alhamdulillah.
Kalau nggak ya disyukuri. Barangkali saja itu cara Tuhan meningkatkan
derajatnya.”
“Segampang itu?”
“Itu elu tahu bahwa melakukan jelas tidak semudah
ngomong doang. Makanya, kalau seorang Bas cuma bilang suka, tanpa mengganggu
elu dalam tataran lebih jauh, elu harus hargai dong. Dia satu kost ama kita
udah lima tahun, dan nggak pernah membuat elu merasa nggak nyaman. Apa itu
bukan perjuangan?”
Bhumi diam. Berpikir dia.
Terakhir, mari kita pahami pernyataan Ustadz Salim, “Seorang
yang Rabbani, mencoba untuk melihat
apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai
dari berbagai sisi yang tak selalu linear. Seorang ‘Alim mungkin saja lahir
dari ruang berisi buku-buku, tapi seorang Faqih muncul di tengah orang ramai
yang menghadapi banyak persoalan.”
Sudahkah kita belajar menjadi orang yang Faqih?
Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!
(59:2)
Cimahi, 3 Juni 2013_25 Rajab 1434
Pustaka
JA, Denny.
2012. Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai. Jakarta: Renebook
(Genre Baru
Sastra Indonesia)
Tasaro.
2005. Wandu Berhentilah Menjadi
Pengecut!. Jakarta: Zikrul Remaja
(Pemenang pertama Sayembara Novel FLP 2005)