Resensi
Di Serambi Makkah
Oleh Dewi Erita
Sebuah novel
tentang tanah rencong, , ,
aceh
kehilangan kapal,
dipenghujung
abad 20
aceh
kehilangan rasa
bumi
bergetar sunyi
kata silang
sengketa
nyawa tidak
bernilai
aceh
kehilangan nakhoda
ada
kepiluan terselip
dalam
kebisuan menggigit
dipenghujung
abad 20
ketakutan
menjelma dendam
aceh
kehilangan jiwa
memandang
aceh
terbayang
manusia
kehilangan
harga
(Din Saja, Banda Aceh, 1999)
Bermula
dari impian, dua orang anak asal Dusun Wono berbagi cerita harapan masa depan.
Tentang laut dan angin. Kehidupan berjalan, mereka terpisah, jauh dari kampung
halaman. Sebuah titik waktu tak terduga mempertemukan mereka kembali lewat
udara.
Maruta
seorang penulis sekaligus wartawan mencurahkan perhatiannya pada kondisi Aceh.
Fokusnya ini bermula sejak bangku perkuliahan. Awalnya pemikiran itu begitu
ekstrem menganggap bahwa sikap rakyat Aceh benar dan pemerintah salah. Roda
berputar. Dalam perjalanan waktu, kematangan pribadi dan keluasan pikiran
membuatnya semakin arif dalam menyikapi suatu permasalahan, termasuk tentang
Aceh. Dia berusaha berbuat sesuatu untuk negerinya melalui pembuatan novel
tentang tanah rencong dengan sudut pandang berbeda sebagai seorang pegiat
jurnalisme damai.
Samudra,
teman masa kanak-kanak Maruta, kini menjadi TNI yang ditempatkan di Aceh.
Marinir ini bertugas mengamankan Aceh dari cengkeraman GAM.
Tali udara terlempar jauh dari Sabang ke tempat Maruta berada di Pulau Jawa.
Sekawan ini bertemu lagi berwujud suara dan pesan singkat. Mulai dari obrolan-obrolan
manis dan hangat sampai diskusi pahit dan beku tumpah dalam bingkai persahabatan, mengalir
jernih lewat percakapan udara.
Banyak
yang bisa rekan-rekan dapat dari novel ini. Sinopsis bisa dilihat dalam lautan
blog di luar sana. Saya akan tuang sedikit di sini agar rekan-rekan bisa
mencicipi sedikit rasanya. Mariiiiii , , ,
1. Secara de jure ini adalah novel. Namun, de facto-nya seperti autobiografi dengan tambahan diari dan catatan
perjalanan. Semuanya dengan modifikasi sana sini (sok tahu, ho ho).
2. Bagi rekan-rekan yang mengambil
konsentrasi menulis tentang per-novel-an, ini adalah salah satu buku
rekomendasi. Di sini tergambar bagaimana membuat “ruh“ cerita panjang. Modal
utama seorang novelis sekaligus menentukan qualified
tidaknya sebuah novel (hanya sekedar berpendapat, mungkin lain lagi menurut
sastrawan ^_^).
3. Ciri khas dari dua novel yang saya
baca dari penulis yang sama adalah adanya percakapan bulu tangkis. Bayangkan
sebuah kok dilempar oleh atlet (Taufik Hidayat misalnya) dalam sebuah
kejuaraan. Kemudian di-smash oleh
pemain lawan dengan tenaga dan kecepatan penuh. Dan disambut lagi oleh raket
Taufik. Sesaat sebelum kok mendarat, dilempar lagi oleh pemain lawan. Tergambar
berapa kali kepala penonton tengok kanan kiri dengan mulut sedikit terbuka
saking terpesonanya melihat tak tok tak tok itu.
4. Ciri kedua yaitu permainan rasa
(emosi). Pandai nian meramu resepnya. Terkadang kita bisa berucap “oh“ dengan
panjang huruf “o“ beberapa sentimeter. Kemudian tersenyum beberapa detik. Lalu
tertawa beberapa kali. Terakhir, ber“hmm“ diakhir cerita.
5. Ciri ketiga adalah ending mirip pola komik Detective Conan.
Tidak terduga (dan penuh misteri tentang masa depan pelaku). Pembaca dipaksa membuat
cerita bersambungnya dengan pikiran masing-masing.
6. Ciri keempat, secara keseluruhan banyak
terselip pemikiran-pemikiran penulisnya yang disampaikan secara secara (sangat)
halus dan mudah dicerna otak. Kata perkata dibuat sesederhana mungkin. Namun,
pendalaman maknanya sangat dalam dan hakiki.
7. Ciri terakhir tentang posisi sebagai
diri, cara “melihat“, mengambil “rasa“, dan ber-act. Hampir semua kita (saya dan penulis, munkin juga rekan-rekan) sama.
Melihat
potret kehidupan di tanah para pejuang dalam buku ini (Lhokseumawe, Bireuen,
dan Muara Batu) membuat hati turut berempati. Kehidupan yang begitu kontradiktif
dengan masyarakat kebanyakan Pulau Jawa. Di sana, udara yang tercium adalah bau khawatir, harum takut, dan semerbak
ketidakpastian.
setiap hari
ada saja orang-orang memikul keranda
mengusungnya
ke dalam kuburan yang dangkal
dengan hati
yang cemas tanpa doa dan tabur bunga
karena
setiap nyawa sangat berharga
setiap
orang kini menyimpan dendam
untuk suatu
ketika tumpah menjadi darah
lalu apa
arti kehidupan berbangsa dan bernegara
lalu apa
arti kebersamaan dan kasih sayang
apabila doa
tidak lagi mampu meredam peperangan
apa artinya
jeritan dan teriakan yang dilontarkan
kata-kata
telah kehilangan makna
setiap
orang memandang penuh curiga
aceh yang
dibangun dengan doa dan peradaban
dengan
perjuangan jihad menumpas kebiadaban
kini telah
menjadi laut darah yang memilukan
setiap
orang dibantai sampai ke dalam rumahnya
hari-hari
berlalu dengan genangan air mata
setiap jiwa
gelisah dalam ketakutan
bencana,
bencana, bencana, dan bencana
duhai,
inikah peradaban yang dikatakan itu?
(Din Saja, Banda Aceh, 2000)
Perjuangan
menumpas kebiadaban pernah di ukir oleh Cut Nyak Dien pada akhir abad 19 sampai
awal abad 20. Kisah hidup beliau dalam menumpas kaphee Ulanda (kafir Belanda) mencapai puncak saat suaminya, Teuku
Umar, gugur tahun 1899. Pahlawan wanita berusia 51 tahun itu langsung memimpin
pasukan gerilya untuk berperang melawan kolonial pimpinan Joannes Benedictus
van Heutsz. Tahun-tahun awal perjuangan cukup membuat pasukan penjajah
kewalahan. Waktu bergulir. Penyakit usia tua (encok dan rabun), persedian
makanan yang menipis, adanya pengkhianat, dan prajurit musuh yang semakin beradaptasi
dengan alam Aceh membuat pasukan Cut Nyak Dien menipis. Rasa iba terhadap kondisi
pemimpinnya dan harapan agar kesehatannya membaik memicu pengkhianatan Pang
Laot (panglima perang pasukan gerilya) untuk menyerahkan Cut Nyak Dien. Sampai saat
penangkapan, dengan kondisi yang begitu memprihatinkan, beliau tetap melawan dengan
rencong ditangannya. Tahun 1905 di Beutong Lhee Sagoe menjadi akhir perjuangan
gerilya beliau. Sampai akhir hayatnya Cut Nyak Dien menolak apapun bantuan dari
pemerintah kolonial yang sudah
membakar masjid besar di Lampadang tahun 1873, tempat tinggalnya dahulu.
Tanggal 26 Maret 1873
Kerajaan Belanda memaklumkan perang
kepada Kerajaan Aceh.
Perang yang berkecamuk terus menerus
selama puluhan tahun
adalah perang terlama & terpanjang
dalam sejarah Kolonial Belanda.
(Tjoet Nja‘ Dhien, PT. Kanta Indah
Film, 1988)
Siapkan dirimu untuk membangun
negeri !
Dan
persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan
yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah,
musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi
Allah mengetahuinya . . .
(8:60)
Who’s next?
Cimahi, 17
Februari 2013_6 Rabiul Akhir 1434
Pustaka
Eros Djarot. 1988. Tjoet Nja‘ Dhien. PT. Kanta Indah Film
(Film terbaik Festival Film
Indonesia 1988 , film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes tahun 1989)
Manggeng, AA, dkk. 2003. Aceh dalam Puisi. Bandung: Syaamil
Tasaro. 2005. Di Serambi Makkah. Bandung: DAR! Mizan
(Buku terbaik Adikarya IKAPI 2006)