Thursday 30 July 2015

Resensi Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak



Resensi
Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak
Oleh Dewi Erita


Cuplikan Memo yang Tercecer adalah bab lampiran dalam buku Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Tulisan pada bagian ini dapat mengundang senyum, tawa, haru, bangga, dan sedih menjadi satu. Tergambar bagaimana pribadi peneliti menyikapi permasalahan yang muncul dari masyarakat sekitar serta internalisasi pembelajaran kehidupan dalam dirinya. Bukan, bukan kehidupan manusia biasa pada umumnya, tetapi sisi dunia lain. Sekumpulan orang yang ingin diperlakukan seperti manusia.

“Jakarta, 22 Juli 2010. Lima belas tahun sejak saya menyelesaikan penelitian di Kramat Tunggak. Selama ini sering saya teringat pada lokasi bersejarah itu, pada banyak perempuan yang berjuang mengukur malam demi malam lewat dandanan tebal dan tawa kepalsuan. Namun ingatan itu tak pernah membuat kaki melangkah kembali ke tempat tersebut.”

Buku ini merupakan hasil disertasi Bu Endang R. Sedyaningsih yang melakukan penelitian pada tahun 1995 berjudul “Determinants of the STD/AIDS-related behaviors of female commercial sex workers in Kramat Tunggak, Jakarta, Indonesia”. Beliau yang saat itu telah menjabat Menteri Kesehatan RI selama sembilan bulan meninjau Kramat Tunggak secara incognito (penyamaran). Islamic Center menggantikan lokalisasi Kramat Tunggak yang ditutup tahun 1999.

 
“. . . berhenti tepat di depan masjid. Saya turun dari mobil. Memandang dengan kagum ke bangunan masjid yang megah. . . Saya berjalan berputar, perlahan, mengukur langkah demi langkah mencoba meraba lewat imajinasi. Namun, saya sungguh tak mampu lagi mengenalinya. Amat sulit memetakan ‘cetak bitu’ dalam ingatan ke dalam alam nyata yang kini terbentang di hadapan saya.

Informan mengatakan, lokasi ini dulu bagian belakang yang disebut kompleks Kramat Tunggak baru. Saya mengeleng-gelengkan kepala, terheran-heran. Sungguh tidak sedikit pun bekas tersisa yang masih dapat saya kenali. Cukup banyak hari telah saya habiskan di tempat ini, keluar masuk kafe, bertemu dengan puluhan PSK, germo dan petugas, serta mewawancarai  hingga mengenali setiap sudut Kramat Tunggak. Bahkan dengan segenap keberanian saya pernah menginap di salah satu rumah bordilnya! Namun tetap saja semua itu tak banyak membantu malam ini. . . ” 

Kramat Tunggak adalah tempat pelacuran berbasis bordil, di mana orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu dapat menjalankan usaha bordil dengan mempekerjakan beberapa perempuan pelacur alias menjadi germo. Status Kramat Tunggak diperjelas dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/54/72 tanggal 17 Juli 1972 tentang Status dan Pengurusan Kompleks Lokalisasi Wanita Jakarta Utara. SK ini diperbaiki dengan SK Gubernur bernomor 1491 tahun 1992.

“Semenjak kompleks Kramat Tunggak resmi ditutup, tampaknya kafe-kafe tersebut bermunculan dan kian marak. Selain itu, siapa dapat menyangka bila di seputar wilayah Kramat Tunggak  sendiri, tepat di seberang Islamic Center yang megah dan agung, ketika waktu menunjuk pada pukul sepuluh malam hingga dini hari, masih dapat dijumpai wanita-wanita bedandan menor  duduk di samping gerobak minuman. Sesekali mereka menggoda lelaki yang lalu lalang, menawarkan minuman sekaligus ‘kesenangan’ bila terjadi kesepakatan harga. . . Saya mengangguk-angguk, berpikir: ‘Yah, ini mirip yang terjadi apabila sebuah pembuluh darah tersumbat. Tubuh akan giat membentuk pembuluh-pembuluh darah baru (kolateral) agar aliran darah dapat terus mengalir.”

Saat ini lokalisasi Kramat Tunggak memang sudah tidak ada. Namun, aktivitas transaksi seks masih berjalan. Melebarkan sayap tak terkendali. Menyatu dengan masyarakat umum di rumah-rumah penduduk, warung dan kafe pinggir jalan, kolong jembatan, tempat nelayan menyimpan peralatan menangkap ikan, bahkan di tenda-tenda dadakan samping rel kereta yang hanya ada pada malam hari. Nama tempat bisnis pun ada yang tersamarkan, misalnya panti pijat.

“ . . . estimasi Kemenkes RI tahun 2009 bahwa jumlah pelanggan pekerja seks mencapai 3,17 juta pria dewasa yang membeli jasa seks komersial dari 214.000 perempuan pekerja seks, maka para laki-laki pelanggan itu sangat berpeluang menjadi penyebar Infeksi Menular Seksual (IMS) dan virus HIV ke dalam rumah tangga. Artinya satu pekerja seks kemungkinan dikunjungi oleh 14-15 laki-laki pelanggan.
. . . berpotensi menularkan penyakit kepada 1,97 juta orang perempuan yang menjadi istri atau pasangan tetapnya . . . Bahkan, jika perempuan yang sudah menikah itu digabungkan dengan jumlah pekerja seks, jumlahnya hanya 2.184.000 orang, tetap lebih kecil dibanding laki-laki pembeli jasa seks . . . Berarti peran pelanggan ini sangat besar dan potensial sebagai mata rantai penularan penyakit.”

Pekerja Seks Komersial (PSK) sering dianggap sebagai kambing hitam penyebar penyakit HIV/AIDS. Padahal sebenarnya laki-laki yang ‘jajan seks’ yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK. Siapakah sebenarnya pekerja seks (PS) itu? Apakah mereka bahagia menjalani pekerjaan sebagai PS?

“Mereka yang menjadi pelacur karena merasa terpaksa oleh keadaan sebanyak 16 orang (dari 30 orang perempuan Kramat Tunggak yang diwawancarai secara mendalam). Perempuan-perempuan ini tidak punya sumber penghasilan lain yang cukup, padahal mereka harus  menanggung biaya hidup orangtua, anak, ataupun adik-adiknya. Sebagian besar dari mereka (11 orang) berusia lebih dari 25 tahun, bahkan sekurangnya tiga orang baru mulai menjadi pelacur setelah berumur lebih dari 30 tahun . . . Pada umumnya mereka punya target yang jelas mengenai jangka waktu mereka akan meneruskan pekerjaannya. Misalnya mereka akan bekerja di Kramat Tunggak sampai anak tertua mampu mencari nafkah, atau sampai modalnya buat mendirikan toko sudah cukup.”

“Perempuan yang bekerja di Kramat Tunggak karena ikut arus (6 diantara 30 partisipan), menjadi pelacur dengan hati yang relatif tanpa beban. Menurut mereka kenapa mesti terbebani? Teman-teman sedaerahnya  banyak di situ, bahkan banyak yang datang diantar oleh orangtua sendiri. Germonya pun sudah dikenal lama. Dengan ringan mereka bisa menceritakan pengalaman di Kramat Tunggak. Target mereka tidak senyata perempuan-perempuan yang dipaksa oleh keadaan. Kebanyakan menjawab bahwa mereka di Kramat Tunggak tidak akan lama, menunggu ‘insaf’ atau menunggu sampai ada orang yang mau ‘mengangkat’ mereka dari situ, alias bertemu jodoh. Tidak masalah apakah mereka akan jadi istri pertama, kedua, atau ketiga, asalkan istri tuanya setuju saja.
Sebagai perempuan muda, mereka pun banyak yang terbawa arus, merokok dan minum alkohol untuk gaya. . . Pengetahuan mereka mengenai masalah IMS, AIDS, dan kondom sangat kurang.”

“Golongan yang saya sebutkan sebagai ‘terdorong frustasi’ berjumlah delapan orang dari partisipan wawancara. Umumnya cerita mereka tentang bagaimana sampai masuk ke Kramat Tunggak cukup membuat bulu kuduk berdiri. Seperti perempuan yang ikut arus, semua partisipan berusia kurang dari 25 tahun. . .
Dalam hal kesehatan, mereka paling tidak peduli. Hampir semuanya senang minum alkohol, beberapa merokok, lima orang biasa minum obat terlarang dan tiga orang sering mengiris-iris diri sendiri . . . bercerita bahwa ia selalu mengiris-iris lengan atau paha dengan silet kalau sedang marah. ‘Pusing rasanya kalau lagi marah. Musti lihat darah dulu, baru pusingnya ilang,’ katanya. . .
Kebanyakan dari perempuan ini tidak bahagia dengan takdirnya sebagai pelacur. Mereka pada umumnya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang dengan jelas menyatakan bahwa menjadi pelacur adalah dosa besar. Dalam hal ini ada perbedaan yang cukup menonjol dengan perempuan yang merasa dipaksa oleh keadaan, yang dapat membenarkan tindakan mereka  dengan alasan berkorban demi keluarga. Perempuan-perempuan yang terdorong frustasi  hanya punya alasan bahwa mereka marah, sangat marah kepada laki-laki dan dunia. . .”

“Beberapa perempuan di antara 30 partisipan yang diwawancarai menunjukkan kecenderungan yang menarik. Apapun alasan mereka ketika pertama datang ke Kramat Tunggak, sekarang mereka berupaya agar dapat berbuat yang terbaik dalam kondisi yang ada. Mereka rajin menabung, rajin menjaga kesehatannya, walaupun belum tentu sesuai dengan ilmu kedokteran modern. Terutama, mereka tidak terlalu kejam menghakimi diri sendiri, misalnya merasa diri melakukan pekerjaan kotor atau merasa diri sampah masyarakat. Jumlah mereka tidak banyak hanya tiga orang.”

Saat penelitian, sekitar dua ribu perempuan Kramat Tunggak bekerja sebagai PS. Pekerjaan melacur seperti pekerjaan lainnya mengandung risiko, baik risiko yang berhubungan dengan keuangan, keamanan, maupun kesehatan. Mereka tidak selalu memperoleh pelanggan. Usia, penampilan wajah dan tubuh, tata cara pelayanan, keberanian, lokasi dan suasana bordil mempengaruhi kunjungan pelanggan. Selama tahun 1993-1995, pembunuhan terjadi tiga bulan sekali. Biasanya pengunjung terbunuh akibat perkelahian antar mereka sendiri. Bisa juga korbannya perempuan PS dengan motif merampok, cemburu, atau memaksa transaksi seks. Gaya hidup di Kramat Tunggak juga kurang menunjang kesehatan. Kehidupan malam dengan suara musik yang melebihi daya tahan kuping manusia, membuat germo dan PS memiliki gejala ‘kurang dengar’. Darah mereka yang tadinya bersih dari desa, dengan cepat bercampur dengan berbagai racun yang  berasal dari rokok, alkohol, serta obat-obatan terlarang.

“Selain sarat racun di dalam tubuh, pikiran mereka sarat dengan kebingungan-kebingungan akan nilai-nilai hidup. Tidak semuanya, tentu. Banyak di antara mereka yang tidak berpengetahuan cukup, sekadar ikut arus, malahan dapat menjalani hidup kelam di Kramat Tunggak dengan tenteram. Sebagian lain, karena yakin yang dilakoninya itu pengorbanan untuk orang-orang tersayang, juga dapat dengan tabah melewati hari-hari yang sulit. Namun, tidak sedikit jumlahnya yang didera perasaan berdosa dan dipenuhi kecamuk berbagai pikiran yang saling bertentangan. Mereka inilah yang terancam bahaya gangguan kejiwaan. Terungkap dari satu-dua perempuan yang kelihatan seperti orang bingung. Mereka memakai seluruh perhiasannya, dan menatap dengan mata kosong. . . Satu lagi ririko kesehatan bagi perempuan pelacur.”

Pelacuran adalah ‘profesi’ tertua di muka bumi. Zaman Hindia Belanda saat Nusantara masih dijajah, tempat plesiran menjadi lokasi ‘jajan’ seks. Perempuan-perempuannya berasal dari berbagai negara. Wanita Jepang adalah primadona dan mendapat bayaran tertinggi karena kecantikannya. Penjajah Belanda dan pribumi yang memegang jabatan biasanya memiliki gundik (selingkuhan) dari gadis-gadis desa pribumi. Gadis malang ini dijual/ dipaksa dijual oleh orang tuanya sendiri kemudian tinggal bersama pembelinya dalam satu rumah tertentu.

“Selama demand hajat seks kaum pria masih tinggi, maka supply akan selalu mengimbanginya. Terbukti dengan ditutupnya Kramat Tunggak, maka lokasi pelacuran pun pindah ke kafe-kafe di jalan besar (Jalan Enggano) yang tak jauh dari Kramat Tunggak. Padahal di sepanjang jalan tadi, kafe-kafe semacam itu tidak (boleh) ada pada masa Kramat Tunggak masih berjaya.
Suplai pekerja seks atau praktik prostitusi mustahil berhenti jika hanya dibendung di hilir dengan merazia para perempuan pekerja seks dan menutup lokalisasi pelacuran tanpa digarap di hulunya, yaitu kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan yang menjadi pemasok para perempuan pekerja seks. Selama kemiskinan struktural masih melilit sebagian (besar) warga masyarakat kita, jangan harap suplai PSK akan berkurang.”

Kemiskinan merupakan salah satu masalah pembangunan bangsa. Ukuran pencapaian hasil pembangunan suatu negara adalah dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator IPM yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

“Perempuan Kramat Tunggak banyak yang telah menyadari risiko pekerjaan mereka, yaitu tertular IMS. Sayangnya, IMS pada perempuan sering tidak menimbulkan gejala dan penderita perempuan tidak menyadari bahwa dirinya sakit. . . Biasanya, seorang perempuan curiga dirinya sakit IMS bila ia keputihan, merasa nyeri, panas waktu buang air kecil, atau merasa sakit pada perut bawah. Namun, gejala-gejala seperti itu tidak selalu muncul pada setiap penderita IMS. Kalaupun ada, sangat ringan sehingga tidak dikenali sebagai gejala IMS oleh si sakit. Memang sulit mengenali gejala-gejala tersebut karena perempuan yang bukan pelacur pun sering mengalami keputihan, misalnya sebelum atau sesudah datang bulan (haid), atau karena jamur akibat kebersihan yang kurang terjaga. Sedangkan nyeri perut bawah dapat terjadi pada saat ovulasi (‘bertelur’) yang juga dialami sebulan sekali oleh setiap perempuan usia subur.”

Kesehatan masyarakat melakukan pendekatan dengan cara mencegah infeksi. Salah satunya yang bersumber dari hubungan seksual, IMS.

“Pemeriksaan berkala untuk HIV pada kelompok berisiko tinggi, yaitu perempuan yang bekerja di bar, pelaut, narapidana, dan juga pelacur di DKI Jakarta sudah dimulai tahun 1988, namun baru pada 1993 mulai ditemukan adanya kasus HIV positif di Kramat Tunggak.”

Penyakit menular sangat penting pengaruhnya terhadap beban penyakit global. Tahun 2001, terhitung sebanyak 40% beban penyakit berada di negara berpenghasilan menengah ke bawah. Per tahun, HIV/AIDS membunuh sekitar 1.8 juta manusia, TB 1.7 juta, diare 1.5 juta, dan malaria 1 juta. (Skolnik, 2011)

IMS mempermudah masuknya virus HIV ke dalam tubuh. Dalam penanggulangan penyakit menular seksual, khususnya AIDS di Indonesia, ada tiga pendekatan yang dilakukan. Pertama, supply reduction untuk membendung penularan HIV lewat hubungan seks dilakukan dengan razia PSK dan penutupan lokalisasi pelacuran serta razia terhadap pembuat/pengedar/pengguna narkoba/napza (lewat jarum suntik). Kedua, demand reduction untuk menekan penularan HIV lewat hubungan seks adalah kampanye ‘Jauhi Zinah’ atau ‘Say No to Free Sex’. Di kalangan penyalahgunaan narkoba/napza dengan kampanye ‘Say No to Drugs’. Pendekatan hukum (supply reduction) dan moral (demand reduction) belum cukup. Ada pendekatan kesehatan masyarakat (harm reduction) yang melengkapi yaitu pemakaian kondom.
Prinsip penanggulangan  AIDS menggunakan rumus ABc. Abstinence dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum pernikahan. Be Faithful dengan setia melakukan hubungan intim hanya dengan istri. Dan condom, memakai pelindung saat berhubungan badan dengan PS bagi golongan laki-laki yang tetap suka ‘jajan’ seks dengan berbagai kondisi permasalahan hidupnya.
Di luar sana atau bahkan di sekitar kita, banyak laki-laki yang kebutuhan biologisnya berlebih (tidak puas berhubungan intim dengan istrinya/ ingin merasakan ‘daun muda’), tidak punya tempat menyalurkan ‘hajat’ karena istrinya meninggal dan usianya kini tua renta, ingin mencoba pengalaman seks (bagi anak muda) dengan alasan ingin membahagiakan istrinya kelak, dan berbagai alasan lainnya. Tidak hanya masyarakat umum dengan penghasilan pas-pasan, pejabat berseragam pun ada yang hobinya ‘jajan’. Mereka semua mengancam 1,6 juta perempuan yang telah menikah.
Ibu rumah tangga baik-baik dapat tertular dari suaminya yang suka selingkuh/ memiliki masa lalu dengan PS yang terinfeksi. Bayi dapat tertular virus tersebut dari ibunya. Coba bayangkan, ibu dan bayi dengan HIV/AIDS akan dijauhi masyarakat dengan stigma perempuan dan manusia kotor. Padahal mereka tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dalam hidupnya. Maka jangan heran apabila saat ini tren HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga naik.
Harm reduction, pendekatan kesehatan masyarakat dengan menggunakan kondom dalam setiap transaksi seks dapat mengurangi peningkatan HIV/AIDS di Indonesia. Menekan dampak buruk yang terjadi. Di sisi lain, sebagian masyarakat memandang bahwa mempromosikan penggunaan kondom untuk pencegahan AIDS itu sama dengan mempromosikan perzinahan dan seks bebas. Bagaimana pendapat Anda? Adakah solusi lain yang lebih baik untuk saat ini?


Pemicu penularan HIV di Indonesia adalah 3,1 juta pria dewasa pembeli jasa seks komersial dari sekitar 230.000 perempuan PSK.
(Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH)

Depok, 30 Juli 2015_14 Syawal 1436 H

Pustaka
Sedyaningsih, Endang R. 2010. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Skolnik, Richard. 2011. Global Health 101 (Second Edition). USA: Jones & Bartlett Publishers.